biem.co — Beberapa waktu lalu, buku-buku puisi kembali diminati setelah sejumlah orang beramai-ramai menyaksikan film Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC2) besutan sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana. Di beberapa adegannya, tokoh utama, Rangga, yang diperankan oleh Nicholas Saputra, membacakan puisi yang ditulisnya untuk Cinta, diperankan dengan apik oleh Dian Sastrowardoyo. Puisi-puisi yang dibacakannya itu tak lain adalah puisi karangan Aan Mansyur, penyair asal Makassar. Begitu pun seperti debut pertamanya, Film AADC menyisipkan puisi-puisi cinta khas remaja yang tengah dirundung kasmaran dan kegalauan.
Lantas, kedudukan puisi saat itu semakin tinggi dan banyak para remaja ter-influence untuk pula menuliskan dan membacakannya. Ada peran media di sana. Sebagai penghubung, media adalah sarana komunikasi yang paling tepat. Tentu saja hingga hari ini. Seperti adanya sisipan (mirip) puisi di akhir acara Mata Najwa yang dipandu oleh Najwa Shihab. Lalu acara Talkshow Indonesia Lawak Klub (ILK) yang sebelum penghujung acara dibacakan konklusi dari Kang Maman selaku notulen yang isinya seperti sebuah larik-larik puisi.
Dua contoh di atas baru satu peran media saja yang disebutkan, yakni media elektronik; televisi dan film layar lebar (bioskop). Belum lagi peran dari media cetak seperti surat kabar, majalah, buku, spanduk, pamflet dan sejenisnya; serta media-media online yang kian marak bermunculan.
Sebut saja nama semisal Sapardi Djoko Damono. Siapa yang tak mengenal beliau? Nama besarnya sebagai seorang penyair dan sastrawan bisa dikenal hingga hari ini tak lepas dari peran media. Seperti pengakuannya, dua judul puisi fenomenal yang melambungkan nama beliau, Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin, di suatu sore terbit di sebuah koran di Jogjakarta. Andai saja puisi itu tidak dimuat dan dinyanyikan oleh Ari Reda, aku Sapardi di salah satu wawancara, kita tidak mungkin tahu siapa itu Sapardi dan puisi-puisi tersebut sampai saat ini.
Sekali lagi, media punya andil besar untuk mengenalkan para penulis dalam keterkaitannya dengan dunia kesusastraan. Dan lagi, beberapa hal di atas baru satu bidang saja dalam dunia sastra. Masih ada karya lainnya berupa prosa (cerpen dan novel), naskah drama, teater dan segala macam. Akan tetapi, sekarang apakah masih sebesar itu peran media terhadap dunia sastra? Bagaimana kehidupan ekonomi-sosial para sastrawan yang seluruh hidupnya bergantung dari karya-karya yang dihasilkannya itu?
Baca juga: Api Kecil Itu Bernama biem.co
Barangkali, akan sangat panjang sekali bila mengurai dua pertanyaan tersebut. Namun, pertanyaan semacam itu sesekali memang perlu diajukan. Selain sebagai pemantik untuk para pelaku kesenian dan media itu sendiri, kami sebagai penikmat seni pun perlu mengetahui sekaligus turut andil bersuara.
Di provinsi Banten sendiri, kolom sastra dan budaya satu per satu berguguran dari berbagai media cetak. Seolah tidak ada lagi pembaca yang berminat pada puisi, cerpen maupun esai. Pembaca selalu disuguhi dengan berita-berita politik, ekonomi, entertainment dan iklan. Hal paling akhir disebutkan yang paling banyak mengambil bagian.
Apakah sudah tak perlu lagi adanya sastra hari-hari ini? Ataukah hanya sekadar sebagai hiburan dan sisipan semata, yang kalaupun tidak ada, tidak berdampak apa-apa. Padahal, kelas-kelas menulis, pelatihan-pelatihan jurnalistik dan segala macam kesenian masih terus berjalan dan bertumbuhan di provinsi Banten ini.
Meski media-media cetak nasional dan lokal di sejumlah daerah masih menyediakan ruang sastra dan budaya, lagi-lagi itu saja tidak cukup. Sebab ada tanggung jawab moral dari para pengajar ilmu sastra di Banten kepada anak didiknya. Bagaimana memberikan mereka motivasi sedang di daerahnya sendiri puisi dan cerpen tidak memiliki ruang untuk berekspresi dan eksistensi, misal.
Ya, memang, sastra diajarkan bukan hanya sebagai media eksistensi belaka; tetapi untuk mengajarkan pula tentang makna hidup, kehidupan dan penghidupan. Juga untuk menghaluskan budi serta kritis menanggapi sesuatu melalui suntikan virus gemar membaca dan menulis. Negara yang berbudaya adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan; semisal estetika berbahasa, beragama, bersosial dan menjaga adat istiadat yang sudah berkembang sejak dahulu.
Baca juga: Ade Ubaidil: Pemuda, Golput, dan Pilkada
Namun meski begitu, akan ada kepuasan tersendiri ketika karya kita tersiar di sebuah media cetak. Lebih-lebih di daerah sendiri. Potensi untuk dikenal dan dibaca sesama warga daerah pun sangat besar. Barangkali itu yang akan menjadi motivasi kita untuk terus menulis dan berkarya. Lain hal bila dimuat di media lokal dari luar daerah. Selain jangkauannya terbatas, kita juga tidak mudah untuk mengecek secara langsung. Kalaupun media cetak nasional memang masuk ke setiap daerah, sebagai penulis pemula, tentu saja hal demikian sukar adanya. Paling tidak kita ada patokan dan kesadaran diri akan kemampuan yang dimiliki. Menembus media nasional bukan perkara yang mudah.
Maka sekali lagi, hadirnya kolom sastra dan budaya di media cetak lokal adalah sebagai pembelajaran para pemula menuju kelas nasional. Akan sangat mengkhawatirkan bila pemula terus-menerus melahirkan karya berupa buku-buku yang dicetak sendiri setelah itu merasa puas sampai akhirnya terlenakan akan puji-pujian sesama pemula, tanpa lebih dahulu melewati proses seleksi, kuratorium, menerima kritik dan segala kemungkinan paling buruk atas karya yang dilahirkannya.
Saya pun menyayangkan soal adanya Dewan Kesenian Banten (DKB). Sebagai organisasi kesenian yang diakui atau bermitra dengan pemerintah, sudah selayaknya ada kegelisahan terkait hal ini. Kalau boleh urun saran, saya menginginkan DKB, entah bagaimana soal birokrasinya, bekerjasama dengan media cetak setempat untuk sama-sama menghadirkan kembali kolom sastra dan budaya. Akan lebih menggembirakan kalau sampai bermitra dengan media elektronik (terkhusus televisi) di Banten, yang tayang rutin atau terjadwal, membuat acara semacam bincang-bincang khusus buku-buku penulis Banten. Agar masyarakat sipil tahu akan keberadaan DKB juga kemaslahatannya untuk khalayak umum dan bukan hanya organisasi tertentu saja. Selain itu, buku memang sudah sepantasnya untuk diapresiasi sedemikian ramainya. (red)
Ade Ubaidil, lahir pada 02 April 1993. Ia pencerita asal Cilegon, Banten. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit berjudul, Mbah Sjukur (IBC, 2016). Aktif menulis di jurnal pribadinya: www.quadraterz.com. Alamat rumah : Jln. KH. Mabruk No.19 RT.07/RW.01 Gang 10 Cibeber, Cilegon, Banten 42423.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.