Kolom

Menanti Pilkada Hijau

Oleh Ali Faisal*

biem.co — Perhelatan pemilihan kepala daerah gelombang ketiga yang akan dilaksanakan serentak pada 2018, boleh dibilang tinggal menghitung bulan, jika tidak ada aral melintang pilkada akan dilaksanakan pada 27 juni 2018, diikuti oleh 171 daerah di Indonesia, meliputi 17 Provinsi, 115 Kabupaten dan 39 Kota. Empat daerah di Provinsi Banten yaitu Kota Serang, Kota Tangerang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang termasuk dalam rombongan pilkada serentak pada 2018.

Euphoria permulaan, genderang menuju “peperangan” demokrasi  nampaknya telah ditabuh oleh beberapa orang, orang-orang yang memiliki keinginan meramaikan bursa kontestasi pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota mendatang, darimana penulis dapat menengarai pada orang-orang yang memiliki hasrat untuk maju dalam perhelatan khususnya pada empat daerah di Provinsi Banten? Sebagai salah seorang yang mengurus hal ihwal kepemiluan, tentu saja penulis memiliki banyak informasi dari berbagai relasi pribadi dan institusi tentang siapa dan menginginkan posisi apa. Meskipun masih terlalu dini untuk bisa disimpulkan sesiapa saja, partai apa berkoalisi dengan partai yang mana, pun juga siapa saja para calon yang hendak berangkat menggunakan kendaraan “partai KTP” (calon perseorangan), hal ini dikarenakan belum dimulainya tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, sampai pada tahapan pencalonan.

Siapapun kandidat yang hendak mewakafkan waktu, tenaga dan pikirannya, mengambil jalan ibadah melalui pilkada, dengan cara meyakinkan dan merebut hati rakyat, seluruhnya sangat dijamin oleh konstitusi sepanjang memenuhi persyaratan. Saat tulisan ini dibuat untuk sampai pada masa hari pencoblosan, terhitung masih tiga belas bulan ke depan, artinya memang benar, bagi siapapun para bakal calon harus mulai “tatalanja” memersiapkan dan memerkenalkan diri pada masyarakat  calon pemilihnya. Logis memang, setiap kehendak harus diikhtiarkan secara maksimal, sisa waktu yang tidak terlalu lama ini harus dioptimalkan melalui manajemen “ta’aruf” antara siapa yang  berkehendak menjadi Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota dengan yang memiliki kehendak memilihnya, yaitu rakyat.

Baca juga: Filosofi Snelhekter Abu-abu

Dalam beberapa hari ini, kita disuguhkan dengan gambar wajah yang dibentang pada pertiga-perempatan lampu merah, sebentuk wajah dengan senyum yang tertata, ada yang berpeci juga mengenakan toga, dilengkapi dengan tulisan nama dan slogan, dari yang masih samar-samar sesungguhnya ia berniat untuk apa, sampai tulisan yang terang benderang bahwa dia berkehendak untuk menjadi calon kepala daerah. Wajah-wajah itu berebut tempat menempel pada pohon-pohon, sebelahan atas-bawah dengan iklan perumahan, badut ulang tahun dan obat kuat pria dewasa.

Sosialisasi diri bagi setiap orang yang akan mengikuti kontestasi pilkada adalah sebuah keharusan, sosialisasi dapat dijadikan medium silaturrahmi dan komunikasi dua arah. Bagi para bakal calon, sosialisasi dapat digunakan untuk menyampaikan “nawaitu” terdalam, apa yang melatar belakangi ia mencalonkan diri, bagaimana visi, misi dan tujuan yang akan diperjuangkan. Lalu menguraikan indikator dan tolok ukur yang masuk akal, dengan usaha yang bagaimana mewujudkan visi, misi dan tujuan itu, yang pada ujungnya berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.

Sedangkan manfaat sosialisasi bagi rakyat, adalah forum dimana rakyat bisa mendengar-menyaksikan sekaligus “menguliti” dengan kritis tentang apa-apa yang menjadi gagasan calon pimpinannya. Pun, juga rakyat bisa memberikan masukan, sembari dengan leluasa mencatat janji-jani dalam sebentuk dokumen perjanjian kemaslahatan pemimpin-rakyat, dokumen ini penting dalam kerangka sebagai alat kendali untuk menagih janji kemasyarakatan yang berisi realisasi pembangunan berkelanjutan-kesejahteraan-kebahagiaan. Fungsi lainnya dari dokumen ini sebagai alat teguran sekaligus punishman bilamana kelak ia menjadi pemimpin melakukan perbuatan tercela berupa korupsi, kolusi, nepotisme maupun perbuatan pelanggaran hukum yang lainnya.

****

Menurut rencana, tahapan pilkada serentak gelombang ketiga akan dimulai pada bulan September 2017, tahapan yang mengatur beragam jenis program dan jadwal, mulai dari pengolahan daftar penduduk potensial pemilih pemilihan (DP4), pemutakhiran daftar pemilih, syarat dukungan calon perseorangan, pendaftaran pasangan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan, rekapitulasi hasil penghitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih, hingga sengketa perselisihan hasil pemilihan dan diakhiri dengan pelantikan calon kepala daerah terpilih.

Jadi, jika mengacu pada rencana jadwal dan tahapan pilkada, artinya sehimpunan wajah-wajah yang berserak diberbagai tempat, khususnya yang menempel pada pepohonan itu, belum dapat dijadikan objek penataan-penegakkan oleh penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Panwaslu. Namun demikian, apakah yang dilakukan oleh para bakal calon kepala daerah dengan memaku gambar diri pada pepohonan, dapat dibenarkan? Meskipun secara aturan main kepemiluan belum tersentuh karena belum sampai pada tahapan sebagaimana penjelasan di atas, mestinya oleh regulasi dan institusi lain dapat ditertibkan, atau selemah-lemahnya dapat sangsi oleh individu dan lembaga sosial berupa sangsi sosial.

Benar kiranya, bahwa sosialisasi diri penting, akan tetapi hendaknya dilakukan dengan model yang progresif, humanis dan cinta lingkungan. Misalnya dilakukan dengan cara-cara modern, display, kemasan maupun ragam bentuknya. Jikapun harus menggunakan alat peraga sosialisasi, hindari menyakiti sesama, siapa sesama itu? manusia, mahluk hidup lain dan lingkungannya.

Sejurus dengan upaya meminimalisir sampah pilkada yang tak terkendali, KPU bahkan memiliki kebijakan bahwa sebagian alat peraga kampanya diproduksi oleh KPU dengan menggunakan uang Negara, alat peraga tersebut baik dari jenis, model ukuran dan tempatnya ditentukan oleh KPU, hal ini dilakukan oleh karena pertimbangan keadilan kepada para calon dan terobosan ramah lingkungan. Nilai yang hendak disampaikan adalah, bahwa kontestan pilkada harus melakukan upaya lain dalam melakukan pendekatan ke masyarakat, yakni pendekatan hati ke hati, pendekatan amal ma’ruf yang berkemanusiaan, ketimbang jor-joran berlomba alat peraga dan politik uang.

Model terakhir ini tentu akan berefek lebih mesra, akan terjadi pertautan batin dan tentu saja hasil yang mengemuka adalah trust yang mengideologi, model ini harus terjadi secara alamiah dan dilakukan dalam rentang waktu yang agak lama, inilah yang oleh banyak pihak disebut sebagai investasi sosial. Bukan sebaliknya, proses instant sebagaimana sering kita menyaksikan dalam setiap perhelatan pilkada.

Sebenarnya, dalam segala aktivitas kehidupan diperlukan keseimbangan, sehingga siklus mata rantai kehidupan menjadi berjalan secara alamiah, yang satu mendukung yang lainnya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan yang didapatkan dari alam, maka agar alam terus menerus memberikan manfaatnya bagi kebutuhan manusia, manusia harus menjaga keberlangsungan alam secara simbiosis mutualisme.

Baca juga: Seba Baduy dan Selebrasi Hijau

Fungsi/peranan lingkungan yang utama adalah sebagai penunjang kehidupan (life support system) dengan menyediakan sumber daya alam sebagai bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi atau untuk langsung dikonsumsi, sebagai asimilator yang mengolah limbah secara alami dan sebagai sumber kesenangan (amenity), atau sedikitnya ada dua fungsi lingkungan hidup bagi manusia. Pertama, sebagai tata ruang bagi keberadaannya, yaitu mencakup estetika dan fisika yang terbentuk dalam diri manusia sebagai dimensi jasmani, rohani, dan kebudayaan, bentuk kesadaran itu tercermin dari perilaku manusia terhadap sifat alamiah lingkungan hidupnya. Kedua, lingkungan hidup berfungsi sebagai penyedia berbagai kebutuhan manusia, dalam hal ini manusia memanfaatkan segi produktivitas dari lingkungan secara eksploitatif.

Manusia hanya akan dapat hidup dan melanjutkan kehidpannya manakala adanya tumbuhan, makhluk hidup yang lain dan jasad perombak (decomposer). Sebaliknya alam dengan tumbuhan, makhluk hidup lain dan jasad perombak dapat hidup terus tanpa  tergantung dari adanya manusia, bahkan mungkin lebih kekal, karena sesungguhnya manusialah yang melakukan perusakan lingkungan.

Barangkali bagi sebagian pembaca bertanya, apa urgensinya tulisan ini, timbang menyoal wajah bakal calon yang terpaku dipepohonan. Marilah kita merenung sejenak tentang aneka bencana alam yang terus menerus terjadi saat ini, seperti banjir, tanah longsor, gelombang panas, kebakaran hutan, tumpukan sampah, polusi (air, tanah suara dan udara), berkurangnya kesuburan tanah serta hilangnya keberagaman ekosistem alam yang disebabkan oleh ulah manusia dalam  mengeksploitasi alam untuk secara tidak seimbang dan berlebihan, pengelolaan alam tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi, lebih jauh dari itu eksploitasi dijadikan alat pemuas manusia dengan menimbulkan kerusakan. Manusia perusak itu sebagian adalah kita, tetapi yang lebih bertanggungjawab dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah pemerintah eksekutif-legislatif yang telah membiarkan terjadinya kerusakan dan memberikan ijin atas eksploitasi alam yang berlebihan atas dasar alasan ekonomi, dan syahwat ekonomi.

Wajah-wajah dipepohonan itu, siapa kelak yang ditakdirkan, salah satunya akan menjadi pemimpin, pemimpin dengan berbagai otoritas regulasi, termasuk regulasi tentang eksploitasi alam, nah! Disinilah persoalannya, persoalan yang sangat terkait dengan mindset pemimpin kita, patut diduga, sekali lagi patut diduga. Bahwa pemimpin yang ketika proses mendapatkan kepemimpinannya dilakukan dengan cara tidak sayang pada lingkungan, kelak akan menjadi pemimpin yang acuh terhadap alam lingkungan, dengan konsep pembangunan tak berkelanjutan. Semoga hal ini tidak terjadi, semoga tancapan paku pada pohon tersebut hanya semata bentuk kekhilafan, penulis berharap wajah-wajah yang kadung tertancap dipepohonan tersebut, untuk segera dialihkan, dicarikan persinggahannya yang paling layak.

Terakhir. Pilkada ini adalah toko ide, warung program dan sejenis “perang suci”, untuk mendapatkan legitimasi yang tidak hanya berdimensi horizontal, tetapi juga memiliki legitimasi vertikal, kita harus menghadirkan Tuhan dalam dinamika pembangunan, politik dan kenegaraan. Pemilu dan demokrasi Indonesia, Banten beserta Kabupaten Kota yang akan melakukan pilkada harus semakin maju, progresif, santun pada sesama lagi beradab. Kemajuan, progresifitas, kesantunan, dan keberadaban yang harus dimulai dengan model pilkada hijau, pilkada yang menghormati alam lingkungan, menuju pembangunan berkelanjutan, sebagaimana yang juga diajarkan oleh konstitusi hijau (green constitution), yaitu konsep menegakkan kedaulatan lingkungan atau ecocracy dimana lingkungan bukan lagi menjadi objek yang dapat sembarangan diotak-atik oleh manusia, akan tetapi lingkungan adalah subjek yang mempunyai hak-hak tersendiri untuk dilestarikan dan dilindungi dari kerusakan sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945.

Mari kita berpilkada dengan gembira ria. Wallahu’alam



*Penulis
, adalah Anggota KPU Kota Serang.

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button