Oleh Asep Abdurrahman*
biem.co — Setiap anak lahir dalam kondisi fitrah. Dalam teori Ilmu Jiwa Agama, fitrah dikategorikan ke dalam fitrah ilahiyah (Qs Ar-Rum: 30) dan fitrah kemanusiaan (HR. Bukhari). Fitrah kemanusiaan inilah yang lebih tepat disebut “potensi” atau “inborn” meminjam teori pendidikan Progresivisme. Proses perkembangan potensi anak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal dimana pembentukan karakter dan kepribadian anak ditentukan oleh pola interaksi dengan keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Sedangkan faktor” bakat bawaan” (hereditas) hanya bagian kecil dari penentu proses pembentukan karakter dan kepribadiannya. (Zakiah Darajat, 1996).
Kini, lingkungan pengasuhan anak telah berubah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat modern. Saat ini, nyaris di semua lini kehidupan telah hadir teknologi yang memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola pikir dan gaya hidup masyarakat di era teknologi digital telah mempengaruhi pola pengasuhan terhadap anak. Remaja masa sekarang pasti berbeda dengan remaja masa lalu. Mereka tidak lagi kenal layar tancap. Mereka lebih kenal internet dan keseluruhan media sosial. Mereka dapat mencari, menikmati, melakukan apa pun via dunia maya tersebut. Kalau sudah demikian, satu sisi, kecerdasan dan kelincahan remaja seperti ini sangat mengagumkan.
Tapi, sisi lain, kerawanan moral juga menyedot perhatian, karena secara tidak sadar moralitas mereka juga tidak dibentuk oleh lingkungan sosialnya, melainkan oleh situs-situs yang mereka kunjungi setiap menitnya. Di sinilah tantangan berat orang tua untuk selalu mengetahui dan mengontrol remaja masa kini, yang digolongkan dalam Generasi Y dan Z.
Generasi Digital = Generasi Y dan Z
Dalam konteks kekinian ada yang disebut dengan Generasi Y (Gen-Y) yang lahir antara tahun 1981-1994 yang juga dikenal dengan sebutan generasi millenial atau milenium. Gen-Y banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instan messaging, dan media sosial seperti facebook dan twitter dan menyukai game online. Generasi ini, sekarang akan atau sudah memasuki dunia kerja. Di Indonesia, pada tahun 2010, terdapat lebih dari 80 juta Gen-Y dan akan meningkat menjadi 90 juta pada tahun 2030. Bahkan menurut pemerintah 60% penduduk Indonesia saat ini adalah anak-anak muda yang ketika lahir sudah bersentuhan dengan internet dan mereka adalah digital native, penduduk asli dunia digital.
Selanjutnya Generasi Z (Gen-Z) yang lahir antara tahun 1995-2010, disebut juga iGeneration: atau generasi internet. Mereka memiliki kesamaan dengan Gen-Y, tapi mereka mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset. Apa pun yang dilakukan oleh generasi ini, kebanyakan di antara mereka berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian mereka (Suara Muhammadiyah, edisi 07, 2017).
Baca juga: Fenomena Politik Hukum itu Bernama Ahok
William Strauss dan Neil Howe, sejarawan yang menekuni tentang generasi di Amerika, menulis beberapa buku yang berkaitan dengan tipe-tipe generasi. Dua di antara karya mereka adalah Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (1991), Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Dua buku ini mencoba menjelaskan tentang tipologi generasi di Amerika. Di antara yang dia teliti adalah Gen-Y dan Gen-Z. Meskipun cakupan riset mereka adalah Amerika, tapi hasil riset mereka menjadi referensi psikologi perkembangan di dunia berkembang, termasuk Indonesia. Tipologi yang mereka buat pun relatif memiliki kesesuaian dengan kondisi generasi di Indonesia. Tentu saja dengan beberapa pengecualian, seperti lingkup pergaulan dan di mana generasi ini tinggal.
Tantangan Generasi Y dan Z
Melihat hal demikian, kita setidaknya tahu seperti apa tantangan yang dihadapi dua generasi ini, baik untuk dirinya sendiri maupun keterlibatan emosinya pada kehidupan sosial. Kondisi generasi ini tidak dapat ditampik apalagi dihindari. Menurut Jamaludin Ahmad (2010), generasi seperti ini sedikit banyak sedang mengalami “Problem psikologis dan kedekatan emosi.” Mereka cenderung ingin mandiri, ingin merdeka, ingin bebas dari ikatan-ikatan, lebih dari itu, karena “kedekatan” pada gadget yang demikian kuat, ikatan emosional dengan keluarga (termasuk orang tua) menjadi renggang.
Ditambah lagi, pertama: akses internet tanpa filter rentan terhadap konten-konten yang tidak sesuai dengan usia anak (pornografi, kekerasan, pergaulan bebas, dan lain sebagainya). Kedua: prefrontal cortex dalam otak anak belum matang sehingga informasi yang diterima akan langsung masuk ke pusat perasaan membuat anak melakukan sesuatu tanpa mengerti akibatya. Ketiga: anak cendrung menutup diri dari dunia luar karena lebih asyik berkomunikasi melalui media sosial. Keempat: anak menjadi anti sosial, tidak suka bergaul dengan teman, keluarga dan lingkungan tempat tinggal (Suara Muhammadiyah, edisi 03, 2016).
Oleh karena ketergantungan pada dunia maya, pengetahuan dan standar moralitas dan agama mereka sering kali didasarkan pada pencarian sendiri tanpa pendamping. Bahkan tidak tertarik lagi pada pencarian pengetahuan agama dan moral. Mereka lebih asyik dengan dunianya sendiri. Kelincahan dan kecerdasannya akhirnya kurang diimbangi dengan pengetahuan agama. Pada titik inilah, celah rawan Gen-Y dan Gen-Z. Tidak ingin mengatakan semuanya, tapi sebagian besar mereka menjadi kurang perhatian terhadap agama dan moral. Mereka goyah secara spiritual dan moral, tapi kreatif di bidang-bidang lainnya.
Menghadapi Generasi Y dan Z
Menghadapi hal demikian memang tidak berarti meninggalkan mereka. Bagaimana pun, mereka ini adalah generasi emas. Generasi yang dengan beragam kreativitasnya akan memberi warna pada masa depannya. Untuk memberikan arahan kepada mereka, maka orang tua tidak boleh begitu saja melarang generasi ini berinteraksi dengan internet. Orang tua mesti mencoba memahami makna dan nilai internet bagi anak. Perlu memahami bahwa ketika anak duduk di depan komputer, mereka bukannya tidak melakukan apa-apa atau membuang waktu. Tapi mereka sedang belajar, bermain, mengeksplorasi atau memenuhi rasa keingintahuan, melakukan kreativitas atau percobaan, berkomunikasi dan bersosialisasi. Yang perlu dilakukan orang tua adalah mengamati lebih dekat dan membatasi penggunaan internet.
Baca juga: Potret Pengamen
Oleh karena itu, model komunikasi orang tua dengan anak mesti diubah. Frekuensi komunikasi perlu ditingkatkan, orang tua mesti selalu mendekatkan diri dengan bersedia mendengarkan anak. Ini sangat penting karena di samping boleh jadi banyak sekali pikiran anak yang tidak tersalur ke orang tua, tapi juga seringnya komunikasi akan menambah kedekatan emosi antara anak dan orang tua. Selain itu, generasi ini harus diberi tanggung jawab. Mereka diberi kepercayaan untuk melakukan sesuatu hal. Dengan cara ini akan berkembang sensor motorik dan sosialnya.
Dan yang tak kalah penting adalah remaja perlu dilibatkan dalam berbagai aktivitas. Mereka harus dijaga dan dirawat, memang menghadapi tantangan dan dilema. Akan tetapi, dengan keterlibatan orang tua yang lebih dalam akan memberi pertimbangan kepada generasi ini untuk tidak lupa pada agama dan moral. Melibatkan mereka dalam banyak kegiatan adalah salah satu cara agar mereka lebih selektif dalam penggunaan internet. Apalagi dengan memberikan tanggung jawab dan kepercayaan, mereka akan memanfaatkan internet hanya untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat. (red)]
*Penulis, adalah Dosen FAI UMT dan Pengajar SMP Daarul Qur’an Internasional Ketapang.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.