InspirasiOpini

Ali Faisal: Seba Baduy dan Selebrasi Hijau

Oleh : Ali Faisal

biem.co Sebagian orang memaknai Seba sebagai prosesi pemberian upeti. Upeti biasanya diserahkan dari kaum yang dijajah kepada kelompok penjajah. Benarkah Seba bermakna demikian?. Jika benar apa yang dilakukan masyarakat Baduy adalah bentuk wujud pengakuan terhadap penjajahan? Pertanyaan ini menarik diulas bertepatan dengan gelaran Seba Baduy tahun ini yang diikuti oleh sekitar 1700 orang.

Pisang galek, padi dan bermacam hasil bumi yang dibawa masyarakat Baduy dalam lawatan pasca ritual kawaluh ke Ibu Gede dan Bapak Gede, hemat saya tidak sebanding dengan jauhnya berjalan kaki yang mereka tempuh sepanjang 115 km Kanekes-Serang. Lagipula, tidak ada ketentuan yang ditetapkan oleh pihak Bupati dan Gubernur tentang jumlah, jenis dan kualitas hasil bumi yang menjadi babawaan pada pamarentah yang dipihormat itu. Namun, meski tanpa ketentuan demikian, masyarakat Baduy memastikan bahwa babawaan mereka merupakan hasil panen terbaik. Maka oleh karenanya, apa yang dilakukan dalam ritual Seba Baduy bukanlah proses pemberian upeti itu, karena jelas Baduy bukan daerah jajahan dan pemerintah atau kita diluar Baduy bukan penjajah. Seba barangkali lebih tepat disebut sebagai prosesi unjuk makna simbolik, bermakna lebih dari sekadar apa yang mereka bawa sebagai oleh-oleh hasil panen.

Hal penting selain soal deviasi makna Seba, jenis, jumlah dan kualitas babawaan, adalah amanat Pu’un, amanat yang jujur disampaikan yang merupakan aspirasi tentang harmoni dan keadilan, mereka tak henti menawarkan kedamaian. Keadilan-kedamaian yang terwujud manakala alam dan manusia mewujud.

Dapat dibayangkan, andai saja hari ini kita tidak memiliki urang Kanekes, andai tak ada tangtu dan panamping dengan segala larangan dan tradisi magisnya, dengan segala komitmen dan kezuhudannya, barangkali kita tak lagi mengenal buah kecapi, gandaria atau asam kuranji. Jika tanpa mereka tak mungkin dapat mendengar harmoni dari suara tonggeret, atau lumut-lumut hijau menjalar pada tanah basah, dan sungai jernih yang mengalir sampai jauh. Harapan kita terbentang pada tanah ulayat urang Kanekes seluas 5.101,8 hektar. Tanah yang melarang buldoser antagonis, jalan aspal dan toko cina berdiri disana.

Dalam pusaran materialisme dan masa eksploitasi seperti saat ini, sangat cocok karakter urang Kanekes yang tegas dan tak kompromi (euweuh jalan) demi mempertahankan apa yang diyakininya benar. Ya, bahwa setiap kita butuh makan dan kesenangan, benar bahwa alam disediakan Tuhan untuk manusia manfaatkan. Tetapi bukan dengan cara berlebihan. Alam merupakan sebuah entitas atau realitas empirik yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realita lain sampai pada realitas yang ghaib dan supraempirik. Alam sekaligus merupakan representasi atau manifestasi dari yang maha menciptakan alam dan yang maha benar yang melampauinya dan melingkupinya yang sekaligus merupakan sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidaksengajaan (kebetulan atau main-main) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu dan dengan benar.

Urang Kanekes telah berdiri gagah melawan pandangan Francis Bacon, Rene Descrates, Isac Newton dan John Locke, beberapa nama ini yang telah berhasil memberikan pengaruh terhadap perubahan cara pandang tehadap alam dari sesuatu yang organik menjadi mekanistik.

Francis Bacon (1561-1626) di Inggris merumuskan metode ilmu empiris, istilah-istilah yang digunakan Bacon dalam mengembangkan metode penelitian barunya penuh semangat, juga menggunakan istilah yang kejam, dalam pandangannya alam harus “diburu dalam pengembaraannya”, “diikat dalam pelayanan” dan “dijadikan budak”, “alam harus dimasukkan ke dalam kerangkeng”, dan tujuan ilmuwan adalah “mengambil rahasia alam secara paksa”, bagi Descrates alam semesta adalah sebuah mesin, tidak ada tujuan, kehidupan dan spiritualitas dalam alam materi. Alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik dan segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya.

Dalam pandangan mekanis Newton, semua fenomena fisik direduksi menjadi gerak partikel benda yang disebabkan oleh kekuatan yang tarik menarik (gravitasi). Sedangkan menurut John Locke bahwa hukum-hukum alam mencakup kebebasan dan persamaan individu serta hak milik yang merupakan buah kerja seseorang, sebaran pandangan ilmiah inilah yang hingga sekarang mendapatkan legitimasi untuk manipulasi dan eksploitasi berlebihan yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup. Legitimasi yang juga berlaku di Indonesia dan Banten sebagai provinsinya urang Kanekes.

Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya  mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini, cara pandang dikotomis yang memandang alam sebagai bagian terpisah dari manusia dan paham antroposentris yang menganggap bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan.   Cara pandang antroposentris ini ternyata telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya.

Disamping itu paham materialisme, kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sain dan teknologi telah ikut pula mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal. Dan, sekali lagi Urang Kanekes berdiri sendirian diantara arus deras  paham-paham tersebut. Urang kanekes seakan sedang berkhutbah: mengutip bunyi  Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai pengganti dari Undang-undang  23 Tahun 1997 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Wahai saudara sekalian, ketahuilah bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya”.

Jika melihat pengertian yang demikaian, artinya adalah bahwa manusia hanya salah satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk lain termasuk binatang yang tidak merusak, mencemari, atau menguras lingkungan.

Menjelmakan Pikukuh 

Gunung teu meunang dilebur (gunung tak boleh dihancurkan)

Lebak teu meunang diruksak (lembah tak boleh dirusak)

Larangan teu meunang ditempak (larangan tak boleh dilanggar)

Buyut teu meunang dirobah (buyut tak boleh diubah)

Lojor teu meunang dipotong (panjang tak boleh dipotong)

Pondok teu meunang disambung (pendek tak boleh disambung)

Nu lain kudu dilainkeun (yang bukan harus ditiadakan)

Nu ulah kudu diulahkeun (yang dilarang harus dihindari)

Nu enya kudu dienyahkeun (yang benar harus dibela)

Mipit kudu amit (mengambil harus mendapat ijin)

Ngala kudu menta (mengambil harus meminta)

Nyaur kudu diukur (berbicara seperlunya)

Ulah ngomong sageto-geto (jangan bicara sembarangan)

Ulah maling papanjingan (jangan mencuri meskipun kekurangan)

Mencermati pikukuh urang Kanekes di atas, lalu dikaitkan dengan pola pikir, sikap dan tindak mereka terhadap dimensi yang mengelilinginya, baik hubungan dengan sang pencipta-Nya, sesama dan lingkungannya, saya meyakini disebabkan oleh faktor teologi yakni ketatatan menjalankan doktrin transendensinya. Karena harus disadari bahwa permasalahan pelestarian tanah ulayat masyarakat Baduy bukan hanya masalah teknis ekologi semata, akan tetapi juga menyangkut teologi tersebut.

Mengenai hal ini saya teringat dengan apa yang disampaikan oleh Mary Evelyn Tucker yang menyatakan agama/kepercayaan (teologi) mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan bumi: pertama, Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang dimiliki oleh masing-masing pemeluk agama, pikukuh atau ajaran Sunda Wiwitan dalam versi Baduy; kedua, Respect, penghargaan kepada semua mahluk hidup sebagai sesama mahluk Tuhan; ketiga,  Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaanya tidak mubadzir; keempat, Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah dermawan ; kelima, Responsibility, sikap bertanggung jawab dalam merawat lingkungan dan alam.

Bagi urang Kanekes penghargaan terhadap karuhun/reference itu sebuah keniscayaan, pikukuh Buyut teu meunang dirobah sebagai ungkapannya. Mereka sadar bahwa alam memberikan kehidupan maka jangan dirusak mereka Respect dengan kesadaran tingkat tinggi, dengan cara hidup sederhana dan bersahaja mereka sedang mengamalkan Restrain karena mereka punya takaran akan manfaat dan mudharat, berikutnya dengan cara merawat alam yang akan diwariskan kepada anak cucu generasi berikutnya, perbuatan inilah yang termasuk dalam kategori penyebaran kekayaan kegembiraan dan kebersamaan. Dan kita tentu tidak ragu terhadap komitmen Responsibility urang Kanekes yang setiap saat mereka selebrasikan diruang khalayak mengusung semangat hijau.

Mencari Islam dalam Lingkungan

Jadi? Bagi urang Kanekes teori Mary Evelyn Tucker telah tunai terbayar, bukan sekadar slide powerpoint diruang seminar, atau himbauan di layar televisi. Sejurus dengan itu, dalam ajaran Islam misalnya dinyatakan bahwa perilaku manusia terhadap alam lingkungannya merupakan cerminan dari akhlak dan keimanan seseorang. Islam mengajarkan, memelihara lingkungan merupakan kewajiban yang setara dengan kewajiban ibadah-ibadah sosial yang lain, bahkan setara dengan kewajiban mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa dibulan ramadhan dan berhaji. Sebaliknya, perbuatan merusak lingkungan atau perbuatan yang bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan setara dengan perbuatan dosa besar seperti pengingkaran terhadap Maha Kasih dan Pemelihara (al-rabb), atau pembunuhan dan perampokan.

Jika diterapkan, ajaran Islam soal pengelolaan lingkungan bisa menjadi dasar pijakan moral dan spiritual (moral and spiritual base) sebagai akar teologis pengelolaan lingkungan. Islam mengatakan dengan tegas bahwa orang yang mengabaikan, menyia-nyiakan dan merusak tatanan ekosistem di muka bumi dapat dikatakan sebagai orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman dalam QS. Al-Maidah:33, banyak juga ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan setiap manusia untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan kehidupan mahluk lain di bumi. Konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi lingkungan (alam) menyatu tak terpisahkan dengan konsep ke-Esaan Tuhan (tauhid), syari’ah, dan akhlak.

Masalahnya, mengapa pemerintah, kalian dan kita belum sampai pada pemahaman-kesadaran sebagaimana layaknya cara urang Kanekes terhadap lingkungannya? Padahal, krisis lingkungan adalah refleksi krisis spiritual paling dalam umat manusia, berarti jika kita semua abai terhadap persoalan pengelolaan lingkungan terlebih pemerintah yang mengeluarkan kebijakan eksplotasi alam. Secara sporadis dapat disimpulkan kita ini adalah orang-orang dengan krisis Iman. Bukan Islam yang salah sebagai ajaran, tapi kita yang mencari sandaran lain selain dari-Nya.

Akhirnya, parade kolosal Seba Baduy yang beberapa hari kemarin berlangsung jangan coba dimaknai sederhana sebagai ritual tahunan tanpa tanda makna, arak-arakan ribuan orang berjalan itu bukan tanpa tujuan, mereka bukan tontonan yang seenaknya kita ajak wefie lalu diupload di facebook, twitter dan lain sebagainya, sambil mempertegas perbedaan cara berpakaian mereka dengan kita yang berupa-rupa.

Sejatinya, beribu orang berjalan kaki menemui Ibu Gede dan bapak Gede untuk melakukan demonstrasi, demonstrasi yang teramat halus, demonstrasi kesadaran, menggugat kecongkakan dan ketidakadilan. Bagi mereka tak penting apakah yang mereka lakukan dicatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) atau bahkan menarik minat wisatawan, baginya yang terpenting menyampaikan amanat Pu’un yang terus mengingatkan Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak dan Larangan teu meunang ditempak agar kesejahteraan dapat terpenuhi dengan istilah “Leuweung Hejo. Ngejo”

Terakhir. Melalui Seba Baduy kita sedang diingatkan, sedang dicaramahi sekaligus dicontohkan oleh cara pikir-sikap-tindak yang harmonis melalui selebrasi hijau. Sebagaimana kita patuh pada guru yang mengajarkan pada muridnya, semestinya kita patuh dan hormat pada mereka, bukan malah sebaliknya. Ditonton dan disuguhi dangdutan, apalagi jika jika kita dan pemerintah kita yang terus menerus memproduksi kebijakan yang mengijinkan ekploitasi alam berlebihan, bahkan merebut tanah ulayat dari Urang Kanekes. Barangkali benar pendapat sebagian orang sebagaimana kalimat pembuka tulisan ini, jika babawaan Seba itu sebentuk Upeti kepada penjajah. Dan penjajah itu adalah kita.

Wallahu’alam **

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button