Oleh: Nakisul Ulum
biem.co — Akhir-akhir ini, kita disibukkan dengan isu-isu bernuansa SARA yang berhembus kencang seiring dengan Pilkada di Jakarta. Sebagian orang, mulai memainkan peran agamanya masuk dalam kontestasi pesta demokrasi. Suasana Pilkada sangat menegangkan dan mengkhawatirkan dengan adanya berbagai isu belakangan ini. Islam selaku agama mayoritas di Indonesia, mendapat sorotan publik karena dianggap memunculkan isu (SARA) tersebut. Dalam agama Islam memang disebutkan bahwa ada ayat yang mengatur soal memilih pemimpin.
Agama hadir memberikan kejelasan tuntunan hidup manusia, segala aspek kehidupan termasuk tata cara hidup manusia, agama sudah mengaturnya. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijalani di Indonesia adalah sesuai dengan tuntunan agamanya masing-masing. Pancasila sebagai ideologi bangsa menegaskan bahwa nilai-nilai ketuhanan ditempatkan pada posisi pertama. Itu artinya, negara telah bersepakat atas spirit ke-Esaan Tuhan, sehingga bangsa ini mampu berdiri kokoh dari berbagai kemajemukan.
Perbedaan agama yang melatari pandangan politik ialah menjadi suatu kewajaran, pilihan politik tidak mesti jatuh pada status agamanya. Demokrasi sudah mengatur bagaimana mekanisme dalam menjalankan proses politik seperti Pilkada, tinggal mengikuti aturan main dalam sistem demokrasi. Jika di mata hukum semua mempunyai hak sama, maka sudah selayaknya tidak ada lagi kata kaum minoritas dan mayoritas. Keberadaan Islam di Indonesia memiliki peranan penting dalam persatuan bangsa, mampu menciptakan kedamaian, serta memberikan rasa aman bagi umat agama lain. Konsep Islam sebagai Rahmatanllil ‘Alaimin benar-benar terasa, walaupun sebagai agama mayoritas, namun Islam tidak egois membentuk negara dengan syariat Islam, melainkan dengan bingkai Pancasila.
Namun, lagi dan lagi surat Al-Maidah sering menjadi perbincangan dalam pagelaran politik. Sampai pada akhirnya muncul pernyataan Presiden Jokowi bahwa agama dan politik harus dipisahkan. Pernyataan tersebut dilontarkan di sela kunjungan kerja di Kelurahan Pasar Baru Gerigis, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada Jumat (24/3/2017) lalu. Apa yang melatarbelakangi sampai Presiden mengeluarkan pernyataan demikian? Mungkin Presiden merasa ada gerakan radikal, atau juga tidak ingin mencampuradukan urusan politik dengan agama.
Bisakah politik dan agama dipisahkan? Dalam konteks Pemilu, agama boleh jadi hanya diperalat atau dipolitisasi untuk kepentingan politik sesaat. Agama disalahgunakan untuk meraih kekuasaan semata. Hal ini juga sependapat dengan ketua PBNU, Said Aqil, yang menjelaskan bahwa jika politik dan agama digabungkan, maka politik akan menjadi radikal. Ketika ada oposisi, maka akan disingkirkan atas nama kafir, murtad dan lain sebagainya. Peristiwa seperti ini terus terjadi sepanjang sejarah. Jika ada ulama yang kritis terhadap pemerintahnya langsung dituduh zindiq, murtad, dan lainnya. Celakanya, para elit melibatkan agama ke dalam politik bukan karena hendak menjalankan ajaran agama secara sungguh-sungguh, melainkan karena kekuasaan. Bila itu yang terjadi, mereka sama saja sekadar menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk meraih kekuasaan.
Di luar dari konteks Pemilu, relasi agama dan politik rasanya tidak bisa dipisahkan, atau bahkan dibuang salah satunya; agama tidak berpolitik atau politik tanpa beragama. Pasalnya, dalam kehidupan bernegara yang berlandaskan Pancasila, tentu agama menjadi dasar pijakan dalam berpolitik. Agama mengajarkan bagaimana berpolitik yang baik dan bijak. Berbagai aturan hukum dan perundang-undangan lainnya yang dibuat, banyak di adaptasi dari nilai-nilai agama yang dilegalisasi melalui proses politik. Melalui kekuasaan politik, agama dan penganut agama mendapat perlindungan dan jaminan kebebasan dalam kehidupan beragama. Agama hadir untuk mengawal dan menjaga politik dari penyimpangan dan penyelewengan karena syahwat kekuasaan yang besar cenderung menghalalkan segala cara. Di sisi yang lain, politik diperlukan untuk memfasilitasi ekspresi dan aktualisasi kehidupan beragama para penganutnya.
Sebetulnya, hubungan agama dan politik adalah sejajar, bukan saling mendominasi dan menguasai tetapi saling melengkapi bahkan menguntungkan satu sama lain. Meskipun dalam prakteknya tentu saja sering terjadi “perselingkuhan”. Agama atau politik mencoba “main mata” dengan pihak lain selain “komunitas/kelompok agama” (misalnya kelompok adat, kaum pengusaha dll). Atau bahkan secara diam-diam saling menjegal dan mendelegitimasi otoritas masing-masing. Dalam menghadapi hajat demokrasi, masyarakat harus lebih jeli dalam memahami isu yang berkembang. Apalagi sekarang banyak pemberitaan yang bersifat hoax. Masyarakat mudah terpancing dan cepat terbawa arus isu yang dimainkan oleh elit politik.
Terakhir, mari persatuan tetap dijaga dalam kebinekaan, merawat khazanah kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Berapa Raja dan Sultan yang merelakan dirinya untuk menjadi rakyat biasa, berapa pejuang yang gugur di medan perjuangan, semua mereka lakukan demi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nakisul Ulum, Mahasiswa di Universitas Serang Raya dan Sekjen BEM Serang 2016-2017, tinggal di Kramatwatu, Kabupaten Serang.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.