Oleh Nur Rafahmi
Kenangan
dia membaca buku tentang mawar
dan selalu, setiap mengingat sang bunga
dia memikirkan duri-durinya
merindukan torehan di kulit
dan kucuran darah
dia berbicara tentang kayu bakar
dan selalu, setiap mengenang benda itu
dia merenungkan api
mendambakan dirinya menjadi abu
dan bertebaran bersama debu
dia berhenti mengeja
bahasa menjelma tikungan-tikungan
membuat cabang-cabang pohon bungur
tumbuh di dalam hatinya dan
untaian kembang membusuk sebelum gugur
dia menolak mendengar
seluruh gaung menjadi kesunyian
yang berkejaran di belantara pikiran
memaksa tubuh bersauh
kemudian tumbang sebelum perang
2017
Elegi Penyendiri
ingin kusembunyikan diri
dalam kuali puisi terperih
hujan deras meluap
dari mataku
tak mampu kutemu
ceceran bayangku
setiap lagu cinta
mengingatkanku pada maut
aku menunggu yang tak pernah ada
di jantung malam
menggigil sendiri menyerukan lolongan
bulan berdarah
pohon-pohon cedera
kutanam tiap keping borok yang kuperoleh
kemarin di dalam pot-pot elegan
mereka tak tahu
bahwa setiap luka adalah sebuah pintu
yang menuntun dirimu pada ruang kelabu
2017
Memberi Makan Kucing
kau lempar ikan kering
di depan si kucing
daging tipis itu dikoyaknya lahap
kau berharap dia lekas lenyap
dengan perut pengap
esok hari dia datang lagi
mengeong pelan
kau memberinya remah roti
berharap dia cepat pergi
dengan hati berisi
tapi dia datang kembali
dia terus membuntuti
meminta, meraung
menggaruk pintu
menjadi hantu
kau jadi kesal, habis bekal
ingin mengusirnya
tapi tak tahu caranya
kucing itu tak mengerti
bahasa manusia
2017
Ekstase
1.
kau tak mengenal Maria, semua orang membicarakannya
mereka bilang perempuan itu tetap perawan setelah melahirkan
dan Musa, katanya lelaki itu bisa membelah samudera
setiap keajaiban menurutku perlu banyak jawaban
kau percaya laut memiliki denyut dan merasakan sepi
ketika ingin ditemani, ia bisa menenggelamkan banyak kapal
lalu menyimpan bangkainya sebagai tumbal
saat ingin diperhatikan, ia memuntahkan sebagian dirinya
ke daratan, menghancurkan hutan dan perkampungan
2.
pernahkah kau meminta maaf pada orang tuamu
karena memelihara kaktus di dalam lemari
mereka membenci darah, namun ingin tetap bergairah
adakah perbedaan antara tertusuk duri
dan sengaja menyakiti diri sendiri
di kebun belakang kau sering diserang perasaan berang
ingin menggali lumpur, mengubur segala yang gugur
setiap pagi pintu dibanting, segenggam belatung di atas piring
ada papan menindih secarik pesan; “sayatlah pergelangan tangan”
3.
petang adalah waktu untuk mendesiskan kepedihan
ke batang yang berlubang, tapi daun-daun hendak
memisah gelisah dari rengkuh ranting, angin memilin
percakapanmu dengan seekor kupu-kupu
kamar gelap dengan isinya yang berantakan memanggil
kau terpaksa kembali, menghanyutkan mimpi ke dalam gigil
tak usah peduli bayang-bayang di dalam kuali
bercermin akan membuat dadamu makin dingin; “katakan
siapa kurcaci paling dengki di bumi”
4.
banci merupakan nama panggilanmu ketika bayi
ayah berteriak; “lebih baik merokok daripada berkokok”
kanker adalah lambang lain keperkasaan bagi dirinya
ibu lebih suka menatah batu dan menelan serpihannya
seperti kuman, kau dilahirkan untuk menjadi beban
bertuhan sama sekali tak ada urusan dengan bertahan
hanya malaikat yang berhak menolak jenis kelamin
kehidupan akan memecah dirimu, jadi kayu jadi abu
jiwa mudah terbakar jika tak pintar menyibak belukar
kitab suci mengajari variasi doa sebelum gantung diri
2016
Baca juga: Sajak-sajak Muhammad Asqalani eNeSTe
Alegori Luka
lupakan cara mencintai seseorang
kau bisa melontarkan diri dari puncak tangga
berkhayal tentang sayap
kemampuan menggapai ujung tiang listrik
tubuh yang seringan bulu tupai
penerbangan jarak jauh
dahan-dahan merindukan pijakanmu
seorang penyihir bersila di sisi telaga
menjaga sebatang lilin tetap menyala
menanti kau turun untuk memadamkannya
jangan berharap pada bintang jatuh
mimpikan lengan-lengan yang berani
menebas sulur, mengalungkan tali ke leher
tubuh-tubuh yang menikmati sakit
cacat dan mati hanyalah taman rekreasi
kita bisa mengunjunginya sejenak kemudian
pergi, belajar kembali cara memejamkan diri
menjadi layang-layang yang dikhianati angin
terombang-ambing, antara perih dan letih
mengiba pada yang tiada, menangisi halusinasi
2016
Nur Rafahmi lahir di Blitar, Jawa Timur, 24 Februari 1988, lulus dari Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang, saat ini tinggal dan bekerja di kota kelahirannya. Menulis prosa dan puisi. Buku prosanya yang telah terbit; Malaikat Penjaga (Stiletto Indie Book, 2016).
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.