Semesum di Neraka
: Arthur Rimbaud
“Cinta ternyata ular besar di selangkangan” katamu pada Varline
di tempat umum tanpa malu-malu seperti orang putus kemaluan.
Varline memelukmu enggan dan memejamkan matamu pada detik
sepersekian.
Kenangan di kepalaku menjadi gumpalan-gumpalan hitam
milik Sishypus, sesuatu bergerak bagai kerak-kerak jelaga
di malam yang aus.
Pada halaman sekian buku bergambar Iblis dengan bunga lili
di telinga kanannya, aku seperti mengucak Drona dalam kelilipan
mata yang payah.
“Demikiankah surat-surat itu menyiratkan kegagalan?
Demikiankah cara melepas kekanak-kanakan dengan keberanian?”
Kataku tanpa tabu seperti membuka surat Varline dengan menggesa
tunggu.
“Oh cinta yang murtad di jelas tegang urat malu” demikian serapahku
seperti memaksa lidah Tuhan kelu.
Kemudian Varline menggelapkan kelambu Bayi Birunya
tanpa gelayut haru, perempuan menjadi janda oleh selingkuh
tak tahu tipu.
Kebebasan milikmu Arthur, kebebasan milikmu melulu. Aku menanam
pucuk-pucuk pilu di undak makammu (dalam tidurku).
“Cinta adalah pertempuran pertama setelah orgasme tak memiliki
darah dusta” katamu Arthur, kali ini dengan memeluk benci sebundar hati.
Varline menjadi penyair yang menyihir hidupmu segegabah peluru,
peluru yang hampir menembus tangan Izrail.
Lalu tak ada lagi puisi menyala, orang-orang yang dulu menyela
kini telah tergoda.
“Gedung-gedung neraka sebesar abu kelamin siapa?” Kata mereka
sambil memainkan teka-teki doa.
Jauh dari apa yang mampu dijangkau dunia, aku sedang menciptakan
akhirat dengan akhiran dengus dosamu.
2015
Manasturbo
Pada ujung sepi
Kelamin waktu berdiri
Kemudian lunglai sebagai yang terlantar
Seperti kau di trotoar
;tanpa kebahagiaan, perempuan, dan kehidupan
2016
Berselindung
: Bang Harfan Febryan
Konon!
tanganmu yang kokoh menggenggam bara
menggedam masalalu dengan sedelik mata
memecah potret ibu yang basah,
membongkar dompet ayah yang payah.
lalu mengembara di udara bertuba,
di lantai berdisko dan meja mabuk sembrono,
bersyukur tak kau cucup ganja seludup.
Ketidaksengajaan!
membuat kita saling silang rupa.
melempar senyum serba hambar,
dan sedikit berkatakata
“adakah yang lebih ajaib dari riang saudara?”
aku melangkahkan kaki, sembari melempar kartu nama.
di sana ada nomor rumah, dan ukuran celana. sangat aneh.
tapi kutahu, apa pedulimu. ini tak lebih ucapan perpisahan.
sebagai calon penyair, aku masih merujuk buku sajak,
sesekali ingin menulis puisi tentangmu,
atau memaksa imaji memuji bayangmu, siasia,
di sana,
kau mungkin tak lagi ke diskotik,
atau bahkan kian karib ke diskotik,
aku tak benarbenar memikirkanmu,
seperti kau yang selalu pura pura tak kenal saat kucekal,
seperti kepalsuan.
2013
Rekapitulasi Mimpi
: Riza Multazam Luthfy
mendongak langit:
kita mendakinya dengan tangga doa
yang terbuat dari bangunan dada
ru(ma)h yang kita kunjungi
adalah sabda asa di pintu takdir
ada tangan bunda yang mengutus amin
menuntun keringat kita di jalan licin
pada sonder jam yang sepertiga hening
tak hentihenti mendaras batang purnama
bagi tuhan yang mengerti segala cahaya
Replace 2013
Pekebun
cangkul
umur yang masygul
di tanah yang gundul
takdir jahat menyacak umbul
bunga api sebentar timbul
sabit
rumput akut
seperti gulma maut
yang disiangi petani
di liang tangisnya sendiri
tanah
diangkutnya ke dalam tong berlumut
tanah tampak tua dan berbagai hara
sayang yang ditanamnya bunga api
kelak besar membakar tangan si pemetik
2015
Voltase Kepala
kepalaku meregang jelang mobius puisi terang, membiusku untuk pulang
ke dalam cangkang, cangkang sekeras lengang. kata-kata kuhamburkan,
berharap dapat memikat puisi yang sedang membangkang, meninggalkanku
sendu sendirian, menekuri kata yang sudah tak seindah lidah kaujuntaikan.
kemarilah, dekatkan bahasa ke kamus yang pernah cantik dan ayu, cantik
dan ayu bagi lentik jemariku sekaligus kaku. akan kutulis hening tentang rindu
di bekas kecupan yang memudar di kening HF kekasihku.
Tuhan, o Tuhan, dia yang kuingat kala pikiranku berkeringat siasati mampat,
kemarilah, utus burung kenarimu untuk menari dan mematuki isi kepalaku,
hingga burai bilur diksi, hingga aku moksa sebagai sudi puisi.
dekap aku HF kekasihku, eratkan liat belikatku dengan tanganmu yang liar lindu,
dalam pelukan, dalam kecipak cipokan, biarkan ikan-ikan kebahagiaanku tenggelam
di dasar puisi. di mana mata lesi setiap orang, mengambang heran di atasnya,
merasa pernah berkali-kali disetubuhi pangeran pengerat, dari dengus nafas
yang amis di balik agamis.
2015
Katup Hening
puisi itu serupa lampu di matamu
bila padam, kau ‘kan bertemu aku
dalam mimpi seluas padang batu
2013
Muhammad Asqalani eNeSTe. Kelahiran Paringgonan, 25 Mei 1988. Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris – Universitas Islam Riau (UIR). Pengajar English Conversation for Airline Staff di Smart Fast Education – Pekanbaru. Menulis sejak 2006. Puisi-puisinya dijadikan skripsi “Lisensia Puitika Puisi-puisi Muhammad Asqalani; Sebuah kajian stilistika” disusun oleh Raka Faeri (NPM: 086210631. Pernah menjadi Redaktur Sastra Majalah Frasa. Meraih gelar “Penulis & Pembaca Puisi Muda Terpuji Riau 2011”. Puisi-puisinya dimuat di: Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Suara NTB, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Riau Pos, Batam Pos, Tanjung Pinang Pos. Sumut Pos, Pos Bali, Lombok Post, Sastra Sumbar, Padang Ekspres, Medan Bisnis, Buletin Jejak, Tribun Sumsel, Waspada, Posmetro Prabu, Metro Riau, Haluan Padang, Haluan Riau, Koran Riau, Koran Madura, Inilah Koran, Dinamika News, Ruang Rekonstruksi, Majalah Kandaga, Majalah Sabili, Majalah Frasa, Majalah Noormuslima (Hongkong), Majalah Sagang, Koran Cyber, KOMPAS.com, Kuflet.com, Detak UNSYIAH, AKLaMASI, Bahana Mahasiswa, dan lain sebagainya.
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.