Oleh Firda Rastia
Sebelumnya, hal ini tidak pernah terjadi. Kalau pun pernah, tidak seorang pun mengingat kejadian itu. Orang-orang yang hidupnya lebih lama dua puluh tahun, mungkin masih mengingatnya. Namun mustahil, lantaran ingatan mereka sudah luput termakan usia. Kalau anda berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir, anda akan terjebak antara dua dunia: fakta dan fiksi. Sebab, cerita ini melewati dua fase perkembangannya selama dua dasawarsa. Sulit menerima kebenaran cerita ini, lantaran tidak adanya saksi yang benar-benar “saksi” dalam peristiwa yang menimpa sebuah desa yang kini tidak boleh disebutkan namanya. Disatu sisi cerita ini tidak bisa dipungkiri begitu saja, sebab cerita ini memang benar-benar tersajikan dari mulut ke mulut dan berdasarkan versinya masing-masing.
Begini cerita yang pernah kudengar.
Suatu ketika di malam Jumat, di sebuah desa kecil tak bernama yang warganya hidup rukun, aman, dan sejahtera, namun menyimpan duka, nestapa, dan bencana masa lalu yang tak berkesudah, dikejutkan oleh teriakan seseorang yang berlari kalang-kabut seperti orang kesurupan.
“Bulan jatuh … Bulan jatuh!”
Demikian suara perempuan yang berteriak-teriak “bulan jatuh” itu terdengar ke seluruh penjuru desa dan bahkan sampai ke desa tetangga. Sontak, suara perempuan itu menghentikan seluruh kegiatan malam hari itu. Di antara teriakannya, terdengar bayi-bayi yang menangis karena tidak jadi disusui oleh ibunya. Ada juga yang terpaksa menghentikan “ritual malam jumat” lantaran suara bising perempuan itu terlampau mengejutkan dan seketika menghentikan selera birahi.
Malam itu adalah malam yang chaos dan tidak seorang pun mengerti apa yang terjadi pada perempuan bernama Ellie, yang terus menerus berteriak “bulan jatuh”. Tidak ada yang berani bertanya apa yang terjadi dan tidak ada yang berani mengehentikannya. Tidak seorang pun.
Keesokan paginya, orang-orang ramai membicarakan Ellie.
“Ellie itu sudah gila!” Hujat seseorang yang sedang berbelanja di warung
“Tapi, siapa tau itu sebuah petanda. Kamu gak ingat dia dilahirkan pada malam purnama.” Kata orang yang satunya
“Tapi, dia itu sudah keterlaluan.” Kata orang yang satunya lagi.
Demikianlah, sepanjang jalan, di warung-warung, di sawah, di kebun, bahkan di desa sebelah pun tak luput pembicaraan tentang Ellie. Masing-nasing dari mereka menanggapinya sedemikian rupa. Ada yang cemas, karena takut akan terjadi bencana besar. Ada yang naik pitam sambil menyumpah-nyumpahi ketika lewat di depan rumah Ellie. Sebagian ibu-bu yang sedang hamil mengusap-ngusap perut sambil merapal mantra amit-amit jabang bayi, ada juga yang terus-menerus berdoa siang-malam karena takut bulan benar-benar akan jatuh, dan meraka semua akan hancur. Ada juga yang biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.
Dua puluh tahun sudah kejadian ini terlupakan. Bahkan mereka yang belum lahir ketika itu pun menganggap Ellie hanyalah sekadar dongeng pengantar tidur. Barangkali bulan jatuh yang diteriakinya itu pernah terjadi atau tidak terjadi apa-apa. Entahlah. Tapi, suatu ketika sepulang aku dari bekerja, ada seorang laki-laki menceritakan hal yang aneh mengenai sebuah desa yang kini tidak boleh disebutkan namanya itu. Cerita yang kini hanya sekadar dongeng bagiku.
Sore itu, sepulangnya aku bekerja, di tepi jalanan yang hingar-bingar dengan sautan kendaraan zaman sekarang, aku mendengarkannya tanpa menolak. Begitu saja. Laki-laki itu bercerita betapa percayanya ia bahwa Ellie dan bulan jatuhnya itu ada. Bahkan sampai detik ini peristiwa dua puluh tahun lalu itu masih segar dalam ingatannya. Betapa lelaki ini tidak bisa lupa sedetik pun tentang Ellie. Betapa laki-laki ini ingin kembali ke masa lalu. Ah! Betapa pun semua itu bagiku, laki-laki ini berhasil menarik perhatianku untuk mendengarkan cerita yang entah nyata atau tidak. Entah.
Kira-kira seperti ini yang ia ceritakan.
***
Masih segar ingatanku tentangmu Ellie dan segala sesuatunya yang menyangkut dirimu. Masih segar ingatanku menangkap bau sore di hamparan padi-padi dan ladang-ladang jagung itu. Masih jelas ingatanku tentang lukisan langit sore yang menampilkan sisa-sisa matahari di Barat dan sepotong bulan menyerupai bibirmu yang mulai nongol di langit Timur. Ellie, masih bisa kudengar suaramu yang parau dan matamu yang sedikit sayu, ketika kau bercerita tentang mimpi-mimpimu. Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri untuk menafsirkannya. Ellie, andai waktu milikku dan tidak ada satu pun yang punya kuasa untuk mencampurinya, maka aku ingin kembali ke masa itu—masa di mana kau begitu bebas dan aku begitu bahagia.
Aku tahu itu hal bodoh yang terjadi sepanjang hidupku. Mengenalmu seperti halnya mengenal tiap jengkal tubuhku. Mendengarkan mimpi-mimpimu sama halnya dengan mendengar tawaku, tangisku, bahkan sendawaku. Memutuskan untuk meninggalkanmu sama halnya dengan membuang sebagian dari diriku. Sesungguhnya aku manusia paling jahat di jagat ini. Tanpa kau sadari, aku telah memperalatmu, Ellie. Aku sendiri sebenarnya tidak menyadarinya. Aku menggunakanmu untuk sebuah cerita yang tak masuk akal dan kelak cerita ini akan kita sampaikan pada anak-cucu yang berkembang biak di desa ini. Tapi, dari bagian tubuhku yang lain, aku tidak sepenuhnya memperalatmu. Aku justru menaruh perhatian padamu dan memberikan keuntungan bagimu. Sebagai penafsir mimpimu, aku menyelamatkanmu dari segala ejekan orang tentangmu. Aku perisaimu!
Ellie, andai waktu itu kau tidak memberitahuku soal bulan jatuh. Barangkali aku tidak segan untuk merayumu saat itu juga. Tapi, sekali lagi kau ceritakan soal mimpimu, dan itu membuatku sekali lagi untuk menafasirkannya.
Lihat! bulan itu akan jatuh.
Begitulah katamu, dan aku percaya padamu. Selalu, Ellie. Tapi satu hal yang tidak bisa aku jelaskan saat itu. Saat kau menunjuk ke arah bulan yang menggantung begitu indahnya, ingin aku memberitahumu; bulan itu seperti dirimu, dan tidak akan pernah ke mana-mana. Tidak pernah akan jatuh, Ellie, Bagaimana aku menjelaskan padamu bahwa semua yang kau lihat tidak sepenuhnya seperti yang kulihat. Aku tahu semua itu hanya di kepalamu. Tapi, matamu menjelaskan semuanya. Matamu menjelaskan kalau kau tidak sedang bergurau. Matamu seolah berkata: percayalah padaku, bang!
Bukan bulan yang kulihat, Ellie. Tapi nun jauh di sana ada benda yang sangat kecil yang melintas di depannya. Dan saat itu aku tidak lagi mendengar suaramu. Suaramu jauh mengawang ke dalam bising yang diciptakan benda itu. Bukan kau, Ellie. Bukan.
O, Ellie! Aku sangat percaya padamu melebihi kepercayaanku pada angin, pada hujan, pada awan-awan itu, bahkan pada bulan itu. Tapi, aku sudah putuskan untuk keluar darimu. Aku ingin terbang, Ellie. Aku ingin menembus awan-awan itu dan pergi melintasi bulan itu, dan kau tidak akan apa-apa di sini. Tidak akan apa-apa tanpa penafsir mimpimu.
Ellie, bulan itu tidak pernah akan jatuh dan sampai kapan pun tetap di sana, di tempatnya. O, Ellie, kau hanya di kepalaku. Kepalaku! Seperti seorang pengarang pernah mengatakan; ada yang lahir untuk kesedihan, ada yang lahir untuk kebahagiaan, tapi kau lahir untuk malam yang tiada akhir.
***
Demikianlah, tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian. Laki-laki penafsir mimpi itu mengakhiri ceritanya dengan sepucuk surat yang diam-diam ia tanggalkan di pintu lemari Ellie dua puluh tahun lalu. Tepat saat Ellie meneriaki bulan jatuh-bulan jatuh, ia hilang bersama malam. Bagaimana Ellie selanjutnya, tidak ada yang tahu. Bagaimana si penafsir mimpi itu pun tidak ada yang tahu. Di tepi sawah itu Tuhan lebih tahu—seperti yang diungkapkan penyair-penyair.
Dan jika anda mengunjungi desa yang kini tak boleh disebutkan namanya itu, jangan berharap anda akan melihat apa yang diceritakan laki-laki itu. Sebab, lima tahun setelah kejadian itu, semuanya berubah. Tidak ada lagi sawah-sawah, tidak ada lagi ladang-ladang jagung, tidak ada lagi cerita tentang Ellie, tidak ada lagi penafsir mimpi. Entah.
O, Ellie yang malang. Ellie yang kesepian.
Firda Rastia, tinggal di Komp. Bumi Serang Timur Blok C-1 no. 8 RT/RW: 02/14, Kel. Panancangan, Kec. Cipocok Jaya, Serang-Banten. 42124. Emai: tiarastia12@gmail.com. Penulis sangat menggemari cerita-cerita Agatha Christie.
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.