Cerita Bersambung Kholi Abas
Baca kisah sebelumnya: Pesan Cinta Dandelion (Bagian 6)
Seperti Pelangi, Setelah Gerimis…
“Lion, kuatlah. Jadilah wanita yang tangguh”.
Suara itu, ringan dan lembut terdengar jelas membisiki telingaku. Membuatku perlahan-lahan membuka kedua mataku. Namun, suara itu sayup-sayup perlahan menjauh dan hilang seiring dengan terbukanya mata ini. Mimpi, ternyata itu semua hanya mimpi. Suara itu tidaklah nyata. Astaghfirullaah, aku memohon ampun dalam hati. Memohon ampun atas segala bayang-bayangnya yang masih terus hadir bahkan dalam mimpi.
Heuft… aku menghembuskan nafas panjang. Mengamati sekeliling ruangan ini. Kosong, sepi, hampa. Tak ada satu orangpun yang menemani di sini. Aku meraih android milikku, melihat apakah ada pesan yang masuk. Banyak notif pesan whatsapp yang masuk, hampir 300 percakapan. Heuh, terlalu ramai, aku malas membukanya. Lagipula tanganku masih lemas dan sakit akibat infusan yang kini menancap di tangan kanan.
Ruangan ini, memiliki luas 7 x 4 meter. Hanya dibatasi tirai panjang yang menjadi sekat antara aku dan sebuah ranjang kosong di sebelahku. Penghuninya telah lebih dulu pergi setelah satu hari aku sampai di ruangan ini. Ruangan ini, penuh dengan nuansa hijau. Sejuk memang jika dipandang, tapi udara dingin yang aku rasakan membuat dinding-dinding hijaunya menjadi semakin beku. Aku benci suasana seperti ini. Membuat pikiranku bermain-main lagi dengan kenangan tentangnya.
Aku memang masih terperangkap dalam kenangan bersama Dani. Semua hal yang berkaitan dengannya belum hilang dari memori ingatanku. Entah, apa aku yang belum benar-benar mengikhlaskannya atau memang aku sengaja untuk mengenang semua tentangnya. Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Hingga detik inipun, buku biru itu masih rajin aku baca. Aku masih rajin menuliskan kisah tentang Dani di sana. Walaupun kini, kisah itu seolah tak ada. Aku hanya berharap, suatu saat nanti aku bisa tersenyum melihat semua tulisan tentang kisah yang pernah terjadi. Seperti saat ini, di saat aku mulai memikirkannya lagi, aku akan membuka kembali kenangan yang pernah aku tuliskan di buku “All About You, Dandelion”. Buku ini, sengaja aku minta bawakan bersama dua novel lainnya kepada Ibu. Sekedar teman pengusir sepi, pikirku.
Aku mulai membukanya. Halaman demi halaman terlewati, hingga akhirnya aku terhenti pada sebuah halaman yang berjudul “You stolen my heart” lupa dengan kisah yang ada di dalamnya. Judulnya yang menggelitik membuatku ingin membacanya. Kisah apa yang terangkum di sana?
Tertulis, 02 Oktober 2015.
“Kita ini musuh, Lion. Musuh berat”
Itu yang sering kamu ucapkan padaku, Dan. Hampir di setiap akhir interaksi kita, kalimat itu seringkali kamu ucapkan. Ketika interaksi kita mulai mencair. Seolah-olah ingin meyakinkan dirimu sendiri. Aku tak pernah menganggapnya serius, walau kadang terpikirkan juga. Kenapa kita harus menajadi musuh? Katamu, itu hanya pura-pura unutk menutupi sesuatu yang ada. Tapi, lagi-lagi muncul pertanyaan baru. Apa yang sebenarnya sedang ditutupi??? Heuh, entahlah.
Hey, Dani si orang aneh. Iya, kamu orang aneh yang lebih aneh dibanding aku yang kata kebanyakan orang mahluk aneh. Kamu aneh, Dani. Sangat aneh. Seperti sore tadi. Setelah kamu membekukan percakapan kita sebelumnya dengan mantra “kita adalah musuh”, tiba-tiba saja kamu dengan gampangnya mengajakku ngobrol lagi dengan bahasan tidak penting tapi meninggalkan PR berat di hati ini.
“Lion, coba perhatikan gambar anak kecil yang kamu kirim tadi. Kira-kira apa sebab anak kecil itu menangis?”
Aku bingung. Bukan karena memikirkan alasan anak kecil yang menangis di gambar. Aku bingung menerka maksud dan arah pembicaraanmu. Terkadang, kamu memang susah ditebak.
“Lihat tulisan di baju anak kecil itu, Lion”
You stolen my heart, tulisan yang ada di baju anak kecil itu. Aku hanya bisa terdiam. Apa maksudmu, Dani?
Aku tersenyum melihat tulisan dua tahun lalu itu. Perbincangan singkat namun sangat membekas. Lembaran selanjutnya, ada kisah yang begitu manis di kenang tapi menyesakkan jika diingat sekarang.
“Tentang si lelaki hujan”
Hujan, bersama siapakah kamu datang malam ini?Apakah bersama bayang-bayang masa lalu? Ataukah seseorang dari masa depan?
Hujan, apa yang kamu bawa kali ini?Apakah sebuah lagu sendu? Ataukah syair-syair indah yang melambungkan hati?
Hujan, malam ini kamu turun lagi. Rintikmu banyak, menderas. Hati siapa yang akan kamu usir sepinya melalui rintikanmu yang menjelma menjadi melodi indah? Atau, Kerinduan siapa yang kamu bawa untuk melengkapi hati yang kosong?
Hujan, malam ini kamu datang lagi. Kamu datang membawa si lelaki hujan.
Hujan, malam ini aku melihat seseorang dari masa depan. Mendengarkan syair indah melalui rintikanmu yang menjelma menjadi melodi indah. Hujan, terimakasih telah membawa si lelaki hujan.
Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum mengingat kisah itu. Senyum getir. Ada yang menyayat hati ketika mengenang kisah malam itu. Saat itu memang terasa indah. Pertemuan singkat di bawah rintik hujan yang hanya sekian detik itu begitu meninggalkan bekas di hati. Tapi, karena pertemuan malam itu pula akhirnya kini aku selalu merasa sendu ketika hujan. Huft, ini semua akan segera berlalu, Lion. Semuanya hanya butuh waktu untuk kembali seperti semula.
Satu kenangan lagi di halaman yang lain. Ketika aku membacanya, perihnya masih sangat bisa aku rasakan. Membayangkan posisi dan keadaanku saat itu. Benar-benar berada di titik kelemahan yang terbawah. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk dapat memulihkan semangatku lagi, untuk bisa beraktivitas seperti biasa.
Tertulis : Teguran dari Allaah di bulan Romadhon
“Kamu bilang, kamu suka hujan. Tapi apa??? Bohong! Kamu justru menghindar ketika hujan datang menghampiri membawa segenggam rindu”
Dani, untuk ke sekian kalinya kamu menyuruhku pergi lagi. Melepaskanku…
Dan, di sekian kalinya ini apakah aku benar-benar bisa menerima keputusanmu? Di sekian kalinya ini pula, apakah kamu benar-benar akan melepaskanku?Entahlah, Dan, rasanya masih sangat berat.
Dan, ini sudah kali ke sekian aku menangis, merasakan sakit. Karena kamu. Atau mungkin bukan? Ini karena ulahku sendiri yang menanam rasa itu terlalu dalam. Kali ini, rasanya benar-benar sakit. Mungkin karena memang ini keputusan akhirmu. Keputusan akhir yang telah disepakati oleh orang yang paling berhak atasmu, orangtuamu.
Tak apa, Dani. Aku menangis hanya sementara. Sakit ini pun hanya sesaat. Semuanya akan sembuh walaupun tidak bisa utuh seperti sedia kala. Tak usah mengkhawatirkanku seperti kemarin di telpon, Dan. Aku memang tak bisa berkata banyak, aku sedang menangis. Kamu bilang, “jangan menangis, Lion”. Maaf, aku tidak bisa menurutimu. Kamu juga bilang, “baik-baik ya, Lion”. Akan aku usahakan, Dan. Sekali lagi maaf, aku tidaka bisa berkata banyak. Hanya di akhir pembicaraan saat kamu bilang, “demi kebaikan bersama, Lion” aku menjawab langsung dengan satu kata, “ya”.
Ya Allah, masih teringat jelas saat itu. Aku sampai melalaikan urusan kantorku. Tubuhku sakit, terlebih batinku. Bukannya aku tak menerima dan tidak ikhlas dengan keputusanmu saat itu. Aku menerimanya, karena memang keputusann yang diambil saat itu haruslah diambil dari dulu, aku paham itu. Tapi hal yang wajar bukan kalau saat itu aku masih merasakan sakitnya? Bahkan mungkin hingga saat ini. Mungkin ini hukuman yang pantas aku terima. Hukuman karena aku telah berani mencintai orang yang belum pantas aku cintai. Bukannya aku membencimu dengan menghindar dan menghilang darimu, aku hanya ingin luka ini benar-benar sembuh.
Aku tutup buku bersampul biru itu, merasa sudah cukup mengenang tentangnya. Aku tersenyum, yah, kini aku bisa tersenyum mengenangnya walaupun senyum itu belum sempurna. Suatu hari nanti, aku yakin, aku bisa tersenyum lebar tanpa rasa sakit ketika mengingat semua hal tentangnya. Atau mungkin suatu saat nanti aku tak akan mengenangnya lagi. Perlahan, waktu itu akan tiba.
Aku melihat sekelilingku lagi, sepi, hanya sepi. Sudah hampir satu jam sejak aku tesadar dari mimpi. Ibu, Ibu dimana? Gumamku dalam hati. Ku raih ponselku, sekedar ingin menanyakan keberadaan Ibu. Deretan chatting pesan whatsapp begitu banyak, dan aku mencari chatting whatsapp dengan nama “Tiket Syurga” di sana. Aku scroll ke bawah, hingga akhirnya aku terhenti pada satu pesan pribadi dari seseorang. Seseorang yang selalu ku sebut namanya dalam doa, Dani. Entah ada keberanian dari mana sehingga aku langsung membuka pesan itu.
“Lion..”
Hanya itu. Yah, hanya satu kata itu yang disampaikan oleh Dani dalam pesannya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Hanya mencoba menerka-nerka segala kemungkinan. Aku mencoba berpikir, membayangkan berada di posisinya. Apa yang membuatku ingin memanggil sepenggal namanya? Hmmh, Dani. Biasanya aku akan memanggilmu seperti itu ketika aku merasa rindu. Atau ketika aku ingin menyampaikan begitu banyak hal padamu tapi aku bingung harus memulainya dari mana. Bahkan terkadang aku tak bisa menyampaikannya. Aku hanya ingin memanggil namamu, dan kamu akan merespon dengan berbagai macam cara yang kadang mebuatku tertawa. Namun kini, aku tak bisa melakukannya lagi. Walau hanya sekedar memanggil namamu. Aku terlalu takut, takut akan responmu yang tak lagi seperti dulu.
Aku masih terpaku menatap layar ponselku. Terpaku pada pesan yang dikirimmkannya. Pesan ini, adalah pesan kedua yang dikirimkan Dani setelah sekian lama tak ada komunikasi antara aku dan dia. Apakah aku harus membalasnya? Aku terus berdebat dalam hati. Mungkin aku harus mengacuhkannya lagi, seperti pesan sebelumnya. Tak berbalas. Tanpa kuduga sebelumnya, ponselku bergetar diiringi nada panggilan masuk. Nama Dani terpampang jelas di layar ponselku. Aku menarik nafas panjang, mengumpulkan keberanian untuk menjawab panggilan itu. Ku pejamkan mata ini, ku gigit bibir bawahku, dan nafasku sempat tertahan sebentar.
“Assalamu’alaikum, Lion”, suara di ujung telpon itu membuyarkan kosentrasiku.
“Wa’alaikumussalam warohmatullaah”, jawabku singkat.
“Apa kabar, Lion?” Suaranya masih terdengar santai dan tenang, berbeda denganku yang sudah gugup setengah mati.
“Tidak baik”, jawabku lagi dengan ketus.
“Hmmh, iya. Aku sudah tau. Kalau sekarang kamu sedang sakit, Li”. Aku mengernyitkan dahi, darimana dia tau kalau aku sakit?
“Darimana kamu tau?”
“Banyak teman-teman yang memeberitahukan di grup WA”. Dani diam sejenak, sebelum melanjutkan perkataannya.
“Lion..”, ia berhenti lagi. Ada jeda di sana. Aku masih belum merespon.
“Lion, kenapa setiap kali aku mendengar kabar tentangmu selalu saja sedang sakit? Apa yang sebenarnya terjadi, Lion? Kamu kenapa? Apakah karena aku?”
Oh, Allah.. ingin rasanya aku jawab ‘ya, memang kamu penyebabnya’. Tapi itu tidak adil, ini karena kesalahanku sendiri. Walau memang masih ada kaitan dengannya.
“Heuh, bukan. Bukan karena kamu. Mungkin memang waktunya sakit saja, Dan. Aku terlalu memforsir tenagaku di kantor akhir-akhir ini”, kilahku mengingkari.
“Baiklah, aku harap kamu selalu sehat dan baik-baik saja, Li”. Kamu terdiam lagi, Dan. Seperti sedang memikirkan sesuatu, atau mugkin mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu?
“Li..”
“Ya?”
“Aku ingin memperjuangkanmu lagi”, ucap Dani, singkat, jelas, dan, ah… entahlah.
Allah, ujian apa lagi ini??? Apa yang sedang Engkau rencanakan ya Allah? Kenapa Engkau menghadapkanku pada situasi dan kondisi seperti ini lagi? Aku takut tersakiti lagi ya Allah. Luka yang dulu saja belum sembuh…
Mataku terasa hangat. Nafasku berat, sesak. Buliran bening itu sudah terkumpul di ujung kedua mata ini. Aku berusaha menahan tangisnya dengan mencoba melihat ke langit-langit atap. Tapi, tetap saja buliran bening itu tak terbendung. Jatuh mengaliri pipi ini. Jujur, aku terkejut dengan pengakuanmu itu, Dani. Ada rasa senang sekaligus takut dan ragu. Seketika saja aku terbayang kembali akan percakapan terakhir kita secara langsung saat kamu memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Entah karena sikapku yang tetap ingin bertahan tapi kamu ingin melepaskan sehingga kamu mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan saat itu. Atau mungkin itu hanya alasan-alasan yang kau buat untuk meyakinkan keputusanmu saat itu. Entahlah, Dan. Apakah kamu masih mengingatnya, Dan? Aku masih sangat mengingat detil setiap apa yang kamu katakan saat itu. Ingatkah kamu, Dani? Saat itu kamu bilang kalau aku bukanlah tipikal perempuan yang kamu cari sebagai istri. Aku tidak memenuhi kriteriamu. Kamu bilang, aku tak pandai memasak. Aku lemah, sering sakit. Aku juga tidak memiliki hobi yang sama denganmu. Tak tahukah kamu, Dani, jauh sebelum itu aku sudah mempersiapkannya. Mempersiapkan diri agar pantas untukmu. Kamu juga mengatakan kalau aku adalah sebab dari turunnya keimananmu. Ya Allah, Dani, sampai seperti itukah? Aku sakit, Dani. Sakit mendengar semua perkataanmu saat itu. Aku mengenal betul bagaimana karaktermu, dan aku tahu kalau kamu sedang berbohong saat itu. Aku yakin, semua itu hanya alasan-alasan yang kamu buat bukan? Agar aku mau melepaskanmu. Tapi, walaupun aku yakin saat itu kamu berbohong, tetap saja semuanya masih membekas dengan jelas.
Aku tetap berbaik sangka saat itu. Berbaik sangka atas semua takdir Allah. Aku manusia, tugasku hanya berbaik sangka dan menghamba kepada-Nya bukan? Mungkin itu cara Allah menegurku untuk ke sekian kalinya. Niatku salah, Dan. Allah ingin aku meluruskan kembali niat ini. Memantaskan diri bukan untuk dirimu, juga bukan untuk mahluk-Nya. Melainkan memantaskan diri hanya untuk meraih cinta-Nya, ridho-Nya, dan bentuk penghambaan kepada-Nya yang maha esa.
“Lion..”, suaranya memecahkan semua lamunanku. Suaraku tercekat, menahan isak tangis agar tak terdengar olehnya.
“Dani..”, kalimatku tersendat. Aku coba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan apa yang aku rasa.
“Apa kamu masih ingat apa yang kamu katakan di percakapan kita terakhir kali?”. Tak ada jawaban darinya. Mungkin ia sedang mencoba mengingat kembali.
“Iya. Aku ingat”, ia berhenti lagi. Memberikan jeda di sana. “Maaf, Lion. Aku berbohong saat itu, semuanya hanya alasan yang aku buat agar bisa meyakinkan diri … “
“Iya, paham”, aku memotong kalimatmu yang masih menggantung. “Aku butuh waktu sendiri, Dan”.
“Hmmh, iya. Terakhir, aku serius, Lion. Wassalamu’alaikum”
Obrolan kami pun terputus. Aku membenamkan wajah ini ke dalam kedua telapak tanganku. Tangisku pecah. Aku masih terlalu bingung dengan ini semua. Apa yang sedang Engkau rencanakan lagi ya, Allah? Apakah ini ujian atau memang jawaban atas segala doa dan harapku selama ini? Allah, aku lelah.
Di tengah tangis dan kesendirianku, malaikat penyelamat itu akhirnya datang. Ibu langsung menghampiriku, memeluku yang sedang menangis. Ia cemas. Tangannya yang lembut mengusap punggungku. Bibirnya terus menerus mencium kepalaku. Aku terbenam dalam pelukannya. Ia membiarkanku menangis, hingga aku merasa sedikit tenang.
“Ada apa, Lion? Kenapa sejak kamu kembali dari Bogor selalu terlihat murung? Apa ini semua karena Dani?”
Aku masih menangis. Isryarat pun tak bisa kuberikan sebagai jawaban. Aku tak bisa menceritakan semuanya kepada siapapun. Meledak begitu saja lewat tangisku.
“Lion, Ibu mohon kembalilah seperti dulu. Kembali menjadi putri kecil Ibu yang ceria dan selalu gembira. Bahagialah, Nak. Jangan kamu rusak dirimu seperti ini”
Ibu benar. Banyak hal yang telah aku lewatkan begitu saja karena terlalu fokus pada sosok satu orang. Kebimbangan ini, biarlah sekarang hanya aku yang rasa. Hingga waktunya tiba, aku akan menceritakan semuanya pada Ibu.
Untuk kamu yang membuatku tersenyum juga menangis, dengan atau tanpa hadirnya kamu, aku harus tetap bahagia. Masih banyak hak-hak orang lain yang belum aku tunaikan.
Pergilah.. mulai saat ini aku akan melepaskan siapa saja yang ingin pergi. Dan aku juga akan menahan siapa saja yang ingin tetap tinggal, bertahan.
Jika ucapanmu benar, kali ini kamu pasti tidak akan menyia-nyiakan aku lagi, Dan. Kamu lelaki yang baik dan selalu menepati janji, jika kamu sungguh-sungguh memperjuangkanku, kamu tidak akan membiarkanku terlalu lama dalam kesendirian ini.
Kholi Abas adalah nama pena dari Kholiyah. Kelahiran 18 Oktober 1993 ini gemar menulis. Cerita-ceritanya terangkum dalam antologi Gilalova 2, Gilalova 3, dan Toga di Tepi Jendela. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran Radar Banten. Saat ini bergiat di lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa cabang Banten.