InspirasiSosok

KH Hasyim Muzadi

Oleh Prie GS

 

biem.co – Walau hanya sekali, saya bersyukur kepada Allah pernah dipertemukan dengan tokoh ini di rumahnya, yang sekaligus di pesantrennya di Depok. Menjelang Ramadhan lalu, saya bersama teman-teman MetroTV menyiapkan acara menjelang Ibadah Sahur “Pelita Hati”. Agaknya Ramadhan itu adalah puasa terakhir bagi KH Hasyim Muzadi.

Saat kami datang beliau masih belum sepenuhnya sehat. Ia menemui kami dengan langkah pelan dan sapaannya nyaris tak terdengar. Sebuah operasi besar baru saja beliau jalani. Butuh waktu untuk menata set, mengatur lampu dan properti syuting yang membuat waktu syuting mundur. Saya mulai cemas pada keadaan beliau. Membayangkan merampungkan 10 episode seperti yang telah direncanakan adalah harapan berlebihan.

Selain soal kesehatan, hal lain yang tak boleh diremehkan adalah juga soal mood (suasana hati, red). Sebuah perubahan mood bisa mengubah seluruh program termasuk membatalkan program, apalagi jika mood itu menyangkut tokoh sekaliber beliau. Hanya dengan frasa pendek: “Ditunda!” kami bisa menggulung kembali seluruh peralatan dan angkat kaki. Saya sudah menyiapkan hati dan meminta teman-teman untuk menerima risiko ini. Ketika beliau keluar lagi dari ruang pribadinya untuk kembali menengok persiapan kami yang ternyata belum juga siap saya bergegas mendekati:

“Mohon maaf Rama Kiai..” sederat panjang kata saya ucapkan, agak kurang bermutu dan sok akrab sebetulnya, sambil saya pegang tangan beliau. Usaha ini walaupun butuh keberanian dan agak spekulatif, tapi membantu. Beliau mungkin mulai jenuh pada persiapan yang lama, tetapi saya usahakan agar beliau tak tega melihat wajah saya. Pengalaman saya sebagai moderator diskusi dan host acara TV (yang rentan molor waktu itu) sangat membutuhkan keterampilan menahan diri. Menjaga mood pihak lain harus di atas lebih tinggi dibanding mood diri saya sendiri. Sadar diri adalah bekal penting untuk kerja kolektif. Dan spekulasi ini sampai dengan baik. Saya merasa sorot mata beliau mulai menatap kami sebagai santri-santrinya sendiri.

Saat syuting benar-benar siap, Kiai Hasyim Muzadi kami daulat untuk memulai. Keluar dengan pakaian serba putih, menurut saya tiba-tiba beliau terlihat anggun sekali. Diam, tajam, tegas, tetapi sejuk dan tenang. Sebelum kamera on, saya sok akrab lagi;

“Sekuatnya saja Rama Kiai. Begitu Rama tak enak badan, langsung berhenti saja,” kata saya seolah-olah sayalah pemilik televisi. Tenteram saya melihat reaksi beliau. Inilah keuntungan sebagai santri, di hadapan kiai rasanya ingin menjdi pihak yang sok disayangi.

Mudah sekali ternyata merampungkan episode demi episode bersama KH Hasyim. Saat kami on jejak sakitnya tak terbaca. Yang ada adalah narasinya yang lancar, runtut dan jernih. Sebagai tema, kepada beliau saya menyodorkan satu kata misalnya “marah” dan Kiai Hasyim akan bernarasi panjang dan indah. Sebagai host saya benar-benar hanya menjadi pembuka dan penutup. Terlalu banyak memotong agar saya kelihatan tampil dan pintar hanya akan mengotori kejernihan narasinya. Memantik sebuah konsep besar hanya lewat satu kata hanya membuktikan keluasan ilmu kiai ini. Saat ia harus mengutip ayat dilemparlah pada para santri yang meriung di depannya yang rata-rata adalah para hafidz.

“Santri harus hafal. Kiainya tidak,” humornya tetap deras khas para pendekar NU. Saat kami break ia melihat kami makan nasi kotak bersama-sama dan beliau menatap saya:

“Lhoh menu host juga sama dengan kru?” selorohnya.

“Tapi porsinya lebih banyak mereka. Malah ada yang lauknya ganda,” jawab saya tentu bercanda. Syuting itu, yang paling berharga ialah kami diberi kesempatan merekam sejumah nasihat berharga tentang negara, tentang politik, budaya dan tentang manusia. Tetapi paling berharga dari itu semua ialah kami melihat langsung nasihat itu langsung dengan peraganya.

Sugeng tindak KH Hasyim. Semoga Allah memuliakan. 

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button