KabarTerkini

Bagaimana Nasib Fotojurnalis dari Masa ke Masa?

JAKARTA, biem.co – Pada Festival Fotografi Indonesia 2017, Hariyanto selaku Divisi Artistik dan Foto Harian Media serta Oscar Motuloh selaku Pewartafoto ANTARA juga berkesempatan untuk memberikan workshop mengenai fotojurnalistik dengan tema “Fotojurnalistik, Konvergensi atau Mati”. Pukul 19.00 WIB, di Panggung Utama Bentara Budaya Jakarta, Oscar dan Hariyanto memberikan suguhan ilmu mengenai fotojurnalistik dan nasib fotografer masa lalu hingga era sekarang ini.

Pekerjaan fotografer pada masa lalu adalah memotret dan selebihnya memberi deskripsi pada foto, tetapi ada juga fotografer yang hanya memotret dan deskripsinya diserahkan kepada reporter, berakibat banyak di antara fotografer dan media yang memberlakukan fotografernya sebagai warga kelas dua. Namun, seiring berkembangnya zaman dengan munculnya generasi muda serta fotografer baru yang sadar dengan profesinya, sedikit demi sedikit perlakuan tersebut mulai berkurang, kini banyak fotogafer yang menulis deskripsi dengan baik.

Hariyanto menjelaskan bahwa seorang fotografer harus memiliki kemampuan menulis. Jika kita bicara kondisi saat ini, jujur saja masih banyak di antara kita yang belum bisa menulis dengan baik dan benar, seperti contoh; masih banyak di antara kita yang menulis ‘antri’ daripada ‘antre’, dan sebagainya. Kesalahan-kesalahan seperti itu, masih banyak yang melekat di kalangan jurnalis juga jurnalis foto. Dalam konteks jurnalisme saat itu tidak boleh terjadi. Kemudian, tuntutan sekarang, seorang fotografer harus bisa membuat konten dalam bentuk video, bercerita dalam bentuk visual dan audio visual.

2013 yang lalu, ketika Hariyanto menjadi salah satu juri Pewarta Foto Indonesia, ada fotografer freelance yang cukup ternama di negeri ini, dia menyampaikan keluh kesahnya kepada Hariyanto bahwa, saat itu assignment yang diberikan sudah sangat turun secara signifikan. Itu terjadi karena munculnya fotografer-fotografer muda yang kualitasnya beda-beda tipis dan harganya jauh lebih murah, selain itu dilengkapi juga dengan kemampuan untuk membuat konten video.

Hariyanto melanjutkan tentang kegelisahan kawannya di Jogja bahwa saat ini lebih banyak media-media memberikan assignment dalam bentuk video atau multimedia, tidak lagi memberikan assignment foto saja. Oleh sebab itu, hal-hal seperti ini harus disikapi karena konvergensi adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, harus dimaknai secara kreatif.

Tahun 1940, radio diramalkan akan habis ketika munculnya televisi, tetapi faktanya hari ini radio masih adaptable dengan perubahan dan masih sehat wal’afiat. Koran juga akan diramalkan selesai pada 2043, namun jika kita mampu memaknai secara kreatif dan mampu beradaptasi dengan perubahan atau perkembangan zaman, koran pasti bisa survive seperti halnya radio.

Sedangkan mengenai jurnalistik, Hariyanto menjelaskan bahwa akurasi dan verifikasi itu mutlak,

“Setiap informasi yang kita sebarluaskan kepada publik, maka akurasi dan verifikasi harus mutlak. Itulah yang membedakan kaum jurnalis dengan pengisi konten yang lain. Jika itu kita abaikan maka tidak ada bedanya karena itu pertanggungjawaban profesionalisme seorang jurnalis kepada publik ketika menyiapkan konten,” ujarnya.

Seorang jurnalis diharuskan bisa menulis dalam bahasa yang paling benar, karena jika tidak akan ditertawakan oleh yang bukan jurnalis, karena sekarang ini semua bisa melakukan itu. Jurnalistik tidak sekadar menyampaikan informasi, tapi harus bisa memberikan hiburan juga mampu memberikan edukasi kepada publik, maka produk jurnalistik tersebut memiliki peluang untuk mempengaruhi publik seperti apa yang disampaikan oleh isi berita tersebut. Maka, khususnya media cetak, harus mengambil peluang besar ketika proses verifikasi dan akurasi itu tidak dilakukan oleh media daring.

Jika kita bicara profesi jurnalis foto pada umumnya, pada 2013 ada sebuah peristiwa yang cukup menjadi peringatan bagi para fotografer terutama jurnalis foto. Sebuah koran besar di Amerika, namanya Chicago Sun-Times, koran yang oplahnya cukup besar berkisar 400-500 ribu/hari, memecat 28 fotografernya, karena manajemen koran tersebut menggantikan peran fotografer dengan reporter yang dibekali iPhone 5 pada saat itu.

Sedangkan Oscar Motuloh menjelaskan mengenai citizen jurnalis, seandainya citizen jurnalis serius mengikuti kaedah-kaedah yang ada dan bertindak sebagai profesional, maka bukan tidak mungkin jika ia mampu melejit dari profesionalisme yang biasa-biasa saja—yang mengerjakan sesuatu hanya untuk bandrol kantornya.

“Kita juga harus melihat pengembangan dan pemikiran jurnalisme sesuai zamannya, itu yang akan dimanfaatkan oleh citizen jurnalis, mereka kemudian memilih jalan menjadi freelance dan sebagainya, kemudian kita bisa melihat intregitas, padahal yang kita lihat itu lebih banyak yang terkadang melampaui para tokoh-tokoh yang dipecat, seperti yang mas Hariyanto bilang tadi,” ujar Oscar.

Media-media bahkan kantor berita harus punya spesifikasinya sendiri, sehingga kita bisa melihat mengapa pada zaman korbis masih ada, mereka sangat ingin menguasai visual yang kemudian sekarang dimanfaatkan.

“Peluang itu adalah profesionalisme, jadi integritas yang kita bahas ini adalah jalan menuju pada persaingan itu,” lanjut Oscar. (uti)

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button