Oleh Mahdiduri
Golput selalu menjadi momok menakutkan ditiap pemilu/pilkada, karena jumlah pemilih yang golput menjadi salah satu indikator sukses tidaknya suatu pemilihan. Setiap penyelenggara pemilu diberikan tanggung jawab besar untuk menghindarkan masyarakat dari golput, dan setiap periode senantiasa diberlakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Demikian juga periode ini, penyelenggara pemilu di daerah sudah dibekali formula untuk menurunkan jumlah pemilih yang golput, mulai dari gencarnya sosialisasi, jalinan kerjasama dengan lembaga pendidikan, disdukcapil, sampai rekrutmen tenaga pendukung.
Bagi penulis, saat ini penyebab golput sudah tidak lagi murni sebagai gerakan protes seperti pemilu 1971, tetapi karena disebabkan kendala teknis dan non teknis; menjadi golput atau memilih golput.
A. Menjadi golput
Adalah sebuah kondisi yang tidak direncanakan tetapi menyebabkan hak pilih tidak bisa digunakan, kondisi ini bersifat administratif. Tidak terdaftar dalam DPT, tidak memiliki e-KTP/Surat keterangan (suket) dari disdukcapil, pindah alamat, umur mencukupi pertanggal pemilihan, mendadak hilang akal, jatuh sakit bisa menyebabkan seseorang menjadi golput.
Tidak terdaftar dalam DPT, pemilih pindah alamat tentunya menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu untuk mengentaskannya. KPU sendiri sudah memetakan persoalan tersebut, sehingga pada pilkada serentak yang pertama, KPU sudah membangun infrastruktur untuk menangani kendala teknis, baik dari sisi regulasi, teknologi ataupun tenaga pendukung lapangan. Sedangkan umur mencukupi pertanggal pemilihan, mendadak hilang akal atau tidak memiliki e-KTP/suket menjadi tanggung jawab pemilih sendiri.
Dalam hal suket, KPU juga turut mensosialisasikan kepada masyarakat agar pemilih yang e-KTP belum terbit tapi sudah merekam data agar segera mengurusnya di disdukcapil setempat.
B. Memilih golput
Adalah sebuah kondisi yang direncanakan dan bersifat psikis, kecendrungannya pemilih kategori ini menyiapkan pelbagai alasan sehingga ia menyengaja tidak menggunakan hak pilihnya. Skeptis terhadap pasangan calon, skeptis terhadap partai politik, tidak percaya pada penyelenggara pemilu, jengah karena pelaksanaan pemilu yang berdekatan, kelas menengah ke atas, atau jual beli suara yang rupiahnya terlalu kecil, menggerogoti pikiran sehat dan dewasa pelakunya. Pemilih kategori ini, tidak melandasakan sikapnya pada orientasi ideology atau arah kebijakan (policy problem solving), mereka adalah pemilih-pemilih apatis yang memandang “siapapun yang menjadi pemenang dalam pemilu, hasilnya sama saja, tidak akan ada perubahan yang berarti”, atau “siapapun yang menang, saya tetap begini”.
Memilih golput adalah kondisi terberat untuk dicarikan solusinya, karena berkaitan dengan sebuah kondisi yang diciptakan dari pikiran apriori, dan skeptis.
Pilkada Banten dan Golput
Pada pilkada serentak 2015, ada sembilan provinsi yang menghelat pemilihan, tujuh diantaranya diikuti dua paslon yaitu Bengkulu, Jambi, Kalteng, Kaltara, Riau, Sulteng, dan Sumbar. Dari data tujuh provinsi tersebut yang saya olah, didapat rerata pengguna hak pilih sebesar 62%, golput sebesar 38% dengan range terbawah Prov Sulteng (24%) dan tertinggi Prov Kalteng (46%).
Mari kita tengok data golput di Banten. Pilkada 2015 yang dihelat di empat Kab/kota di Banten, jumlah pemilih golput cukup variatif, Kab. Serang 49%, Kab. Pandeglang 43%, Kota Tangsel 42% dan Kota Cilegon 38%. Dari data tersebut nilai rerata keseluruhan jumlah golput adalah 44%. Artinya, nilai partisipasi pemilih di Banten masih di atas ambang batas kewajaran, dan ini merupakan indikasi yang baik untuk pilkada Banten 2017. Meski begitu, tentunya menjadi tanggung jawab bersama agar kita bisa menekan jumlah pemilih golput di pilkada 2017 ini. Yang harus didalami adalah dari prosentase golput di atas, berapa persenkah yang tergolong “Menjadi Golput” dan “Memilih Golput”.
Golput; Pilihan Tak Dewasa
Upaya perbaikan demokrasi bisa dilakukan didalam sistem ataupun diluar sistem, tetapi dua hal tersebut memerlukan keterlibatan aktif kita sebagai warga Negara. Pemilu sebagai produk demokrasi telah kita pilih sebagai cara menentukan tampuk kepemimpinan Negara/daerah kita, suka atau tidak, pemilu jadi tanggung jawab kita bersama. Pemilu membutuhkan orang-orang yang berpikiran dewasa, karena dari kedewasaanlah akan terpilih pemimpin yang kompeten, komitmen sekaligus konsisten dalam menyejahterakan rakyatnya.
Begitu pentingnya sikap dewasa dalam memilih sehingga menjadi prasyarat yang dituangkan lewat UU dan peraturan kepemiluan, seperti diatur dalam pasal 3 PKPU No 4 Tahun 2015 yang berbunyi “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara pada pemilihan genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah menikah mempunyai hak pilih”, begitu juga pada pasal 4 ayat 2 huruf a yang berbunyi “Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi syarat: a. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”. Kedewasaan seseorang nampak dari capaian umur kronologis dan mental ege-nya, usia 17 tahun bukan hanya sebatas seseorang berhak untuk mendapatkan kartu identitas (KTP), tetapi suatu titik balik dari masa ketergantungan kemasa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan pilihan, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis. Hal ini termasuk dalam tugas perkembangan dewasa.
Sementara keterangan seseorang yang meskipun belum berumur 17 tetapi sudah/pernah menikah berhak memilih, menegaskan bahwa yang memiliki hak pilih adalah seseorang yang sudah terbukti mampu bertanggung jawab dan memiliki kematangan emosional. Karena bagaimanapun, membina rumah tangga memerlukan kecerdasan emosi diatas rata-rata. “Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”, mengindikasikan hak pilih hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kewarasan, jauh dari halusinasi atau delusi.
R.J. Havighurst (1953) mengurai tugas perkembangan orang dewasa sebagai warga Negara seperti (1) mengurus dan memiliki surat-surat kewarganegaraan (KTP, akta kelahiran, surat paspor/visa bagi yang akan pergi ke luar negeri), (2) membayar pajak (pajak televisi, telepon, listrik, air. pajak kendaraan bermotor, pajak penghasilan), (3) menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengendalikan diri agar tidak tercela di mata masyarakat, dan (4) mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial di masyarakat (ikut terlibat dalam kegiatan gotong royong, kerja bakti membersihkan selokan, memperbaiki jalan, dan sebagainya). Dalam konteks kepemiluan, maka terlibat dalam pemilu secara aktif sebagai pemilih juga merupakan bagian dari tugas perkembangan orang dewasa sebagai warga negara, karena kita hidup dalam sebuah Negara berdasar konstitusi. Jadi apapun yang tertuang secara konstitusional, maka sebagai warga Negara tentunya kita harus mematuhinya, termasuk diberi tanggungjawab untuk menentukan pemimpin bangsa/negara/daerah kita.
Berdasarkan hal itu, tidaklah berlebihan jika para pemilih golput adalah pemilih yang tak dewasa, karena orang dewasa tidak akan lari dari tanggung jawab individu, sosial ataupun konstitusi dan tidak cengeng saat diberi tanggung jawab. Mari kita jadi pemilih yang dewasa agar mendapatkan pemimpin yang juga dewasa, Selamat memilih!
Penulis adalah Relawan Demokrasi KPU Kota Serang dan pimpinan usaha biem.co