Film & MusikHiburan

Film Istirahatlah Kata-kata, Kisah Perjuangan Wiji Thukul

JAKARTA, biem.co — Saya ingin mengulas sebuah film yang akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan. Film tersebut bercerita mengenai sosok yang kisahnya tidak asing bagi para sastrawan, khususnya penyair. Tidak hanya itu, beliau pun seorang aktivis 90’an yang menjadi buronan pada saat itu. Namun, apa yang menjadi sosok beliau hingga kisahnya diangkat ke layar lebar?

Film ini berjudul Istirahatlah Kata-kata, pasti sudah tidak asing siapa tokoh yang saya maksud tersebut. Benar sekali, Wiji Thukul, seorang aktivis dan penyair yang puisi-puisinya sempat menjadi kontra karena beberapa jenderal marah dan menuding isi puisinya telah menghasut para aktivis untuk melawan orde baru. Pemilik nama asli Wiji Widodo ini tidak muncul setelah peristiwa lengsernya Presiden Soeharto. Hingga kini ia tak jelas rimbanya, tak pernah ada mayat mengenai sosoknya atau keberadaan lainnya.

Film ini menjadi pengingat bahwa penyelesaian masalah hak asasi manusia belum tuntas, karena Wiji Thukul menjadi cerita orde baru yang tak patut diabaikan. Oh iya, nama Thukul sendiri diusulkan oleh gurunya yang memiliki arti tumbuh.


Pemeran Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) dan Sipon (Marissa Anita)
sumber: instagram.com.

Saya sarankan, sebelum anda berniat menonton film ini, lebih baik anda benar-benar mengetahui sosok Wiji Thukul. Film ini tidak menceritakan tentang awal lahirnya Wiji melainkan tentang pelariannya ke Pontianak, Kalimantan Barat. Di Pontianak, Wiji Thukul yang diperankan oleh Gunawan Maryanto ini aktingnya sangat out of the box! Bahkan saya sempat tidak mengenali apa benar ini mas Gunawan?

Next, di Pontianak, Thukul berpindah-pindah tempat, kadang tidur di rumah Thomas, kadang tidur di rumah Martin—para kerabatnya. Dalam pelariannya tersebut, Thukul sangat tidak tenang, ia takut karena telah menjadi kejaran para tentara terhadap aktivis demokrasi. Jauh dari situ, Thukul juga harus menahan rindu karena jarak yang sangat jauh memisahkan ia dengan istri dan anak-anaknya di Solo.

Tidak hanya Thukul yang merasakan ketakutan ketika pelariannya ke Pontianak, melainkan para penonton pun juga diberikan suguhan kecemasan karena alur yang sangat sunyi dengan dialog-dialog yang membuat saya merasa ada adegan perang-perangan atau kejar-kejaran dengan Thukul setelahnya, namun ternyata tidak ada.

Rasa mencengkam tersebut terobati dengan hadirnya orang gila yang bercita-cita menjadi polisi dan mencegat Thukul serta kawannya Thomas, dengan alih-alih menanyakan identitas Thukul serta meminta KTP-nya, namun setelah itu orang gila yang berpakaian polisi pergi sambil bernyanyi “aku punya pistol… aku punya pistol…”

Di film ini, Thukul membawa kita pada ketakutan, kecemasan dan kesunyian selama pelariannya ke Pontianak, ia pun mengganti identitasnya menjadi Paul, karena di Pontianak Thukul pun masih bertemu tentara-tentara yang berkeliaran. Saya tidak ingin terlalu banyak mengulas tentang pelariannya ke Pontianak, karena minim konflik dan hanya mengisahkan kesunyian serta keterasingan Thukul.

Thukul sempat menelepon Sipon—istrinya—untuk bertemu di hotel karena ingin melepas kerinduan mereka. Thukul pun membawa oleh-oleh celana pendek yang ia beli di Pontianak untuk Sipon. Di salah satu hotel di Solo, Sipon datang sendiri, tidak membawa anak-anaknya. Pertemuan mereka yang diam-diam ternyata terbongkar oleh tetangga Sipon yang mengikutinya hingga ke hotel. Namun, Sipon hanya dianggap pelacur karena tetangga tersebut tidak mengetahui kedatangan Thukul. Sipon menangis di depan Thukul karena ia telah dianggap pelacur. Hingga akhirnya, Sipon beranggapan, lebih baik Thukul tidak ada di sini bersamanya.

Film ini akan membuat kalian tercengang pada akhirnya. Saat saya menjadi penonton film ini, yang membuat saya terkejut adalah ketika endingnya disenyapkan oleh salah satu puisi Thukul yang berjudul Bunga dan Tembok. Setelahnya penonton di studio 2 Senayan XXI tersebut langsung bertepuk tangan serentak. Sejujurnya, saya belum pernah nonton bioskop hingga mendengar tepuk tangan para penonton ketika filmnya sudah habis.

Jadi intinya, kalian harus nonton film Istirahatlah Kata-kata. Film ini memang hanya ada di beberapa kota dan hanya beberapa bioskop di tanah air, namun sebelumnya film tersebut sudah berkeliling di berbagai festival film yang diselenggarakan di Rusia hingga Swiss. Jadi, tunggu apa lagi? Segera habiskan waktu kalian sejenak dengan mengingat bahwa hak asasi manusia belum tuntas. Wiji Thukul, belum diketahui nasibnya, hingga 2017 ini. (uti)

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button