biem. co — Pilkada Banten 2017 adalah hajat besar masyarakat Banten, mulai dari kaum tani, nelayan, buruh sampai masyarakat biasa. Banyak dari mereka yang masih tidak peduli, sementara para pejabat sedang ambil strategi menentukan posisi untuk memertahankan atau mendapatkan promosi. Ada juga yang tiba-tiba membela salah satu pasangan calon, tidak hanya kesamaan ideologi tapi juga tentang berapa keuntungan dan kemungkinan kemenangan yang masih terbuka untuk diperjuangkan. Tentunya semua itu adalah sesuatu yang wajar dilakukan dalam perjuangan memenuhi kebutuhan keuangan. Seperti lirik lagi Iwan Fals yang berjudul politik uang;
Uang adalah bahasa kalbu
Santapan rohani para birokrat
Tentu saja tidak semuanya
Tapi yang pasti banyak yang suka
Hujan yang sudah beberapa bulan ini rutin turun di Cibaliung, memberi kesan tersendiri bagi para dewan guru, mulai dari guru honorer sampai guru berstatus Aparatur Sipil Negara, keduanya berjuang melakukan rutinitas yang atas nama “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Hal tersebut membuat honorer tidak bisa berteriak menyuarakan kelayakan hidup, berbeda dengan kaum buruh yang seolah mereka adalah kaum proletar yang tertindas, padahal jika dipandang dari kesejahteraan dan penghasilan tentu berbeda jauh dengan penghasilan guru honorer di pelosok. Semua berjuang untuk mendapatkan hidup yang layak, sesuatu yang gaungnya dirasa lebih mesra terdengar di telinga para calon gubernur dan timsesnya.
Di dunia maya, para simpatisan sedang mati-matian memerjuangkan kemenangan cagub dan cawagubnya, yang secara tidak langsung berarti juga memerjuangkan kelayakan hidupnya sendiri. Dalam menjalankan tugasnya, mereka merasa lebih asik dengan melakukan provokasi dan menonjolkan keburukan lawan, daripada menunjukan kelebihan dan program kerja cagub dan cawagub pilihannya.
Kenyataan di lapangan, 70 persen hidup masyarakat berada di masa peralihan teknologi ini lebih banyak dihabiskan di dunia maya, yang konsumsi informasinya bukan hanya lokal tapi sudah nasional bahkan internasional, menyebabkan pilkada Banten seperti anget-anget tahi ayam.
Orang Banten sendiri lebih sibuk membicarakan Pilkada Jakarta ketimbang Pilkada Banten, bahkan pengetahuan kredibilitas calon, masyarakat Banten lebih hafal kepada calon yang bertarung di Jakarta. Sebegitu tidak menariknya kah Pilkada Banten yang mudah dan menentukan itu?
Para nelayan punya ketakutan sendiri dalam menghadapi musim penghujan ini, tentu saja urusannya menjadi sangat jelas. Ketersediaan beras di rumah, uang jajan anak, tidak mengenal musim, bahkan di Pilkada Banten saat ini.
Nelayan dan guru honorer bukan orang yang penting setelah Pilkada, tetapi sangat penting pada musim pilkada ini, dan urusannya selalu uang. Semua profesi, aktifitas umumnya memang selalu berkaitan dengan uang dan kesejahteraan termasuk pekerjaan sosial yang bisa jadi sebagai umpan untuk mendapatkan keuntungan atau sekadar untuk mendapatkan pengakuan.
Para calon kepala daerah, apakah mereka juga sama seperti para pedagang di sebuah madrasah atau sekolah? Menjajakan diri kepada masyarakat agar dipilih? Apakah mereka berjuang untuk kesejahteraan masyarakatnya atau seperti pedagang cilok di luar gerbang madrasah yang rela hujan-hujanan menjajakan ciloknya dengan nada panggilan yang berbeda dengan panggilan tukang bakso atau tahu bulat, yang berjuang hanya untuk keuntungan pribadi dan keluarganya, sementara pembeli tidak tahu bahan dan ramuan apa saja yang disajikan pedagang?
Pilkada Banten, keterangan produknya sendiri belum beredar di masyarakat, kalaupun para calon menawarkan diskon, diskonnya sendiri tentu bukan memberikan uang kepada calon pemilih, tapi berupa visi misi dan langkah strategis pembangunan dan kesejahteraan. Itupun selalu dikaitkan dengan berapa banyak uang di kantong?
Seperti tukang cilok yang selalu mengundang pembelinya mengunakan alat berbunyi ngek-ngek-ngek, atau tukang bakso yang memuku-mukul mangkok, tukang tahu bulat yang lebih modern, bisa rukun dalam satu tempat yang sama karena jualannya yang berbeda
Lain halnya jika tukang bakso yang bersaing dengan tukang bakso dalam satu tempat, pasti ada yang saling menjelekan, menghasut pembeli dan lain sebagainya. Kalau dalam Pilkada Banten kelakuan tukang bakso itu ditiru, maka mereka bukan contoh yang baik dalam memajukan Banten.
Walaupun partisipasi masyarakat nampaknya akan menurun dalam pemilu ini karena ada istilah di kampung-kampung “sasahageh anu meunang buktinamah kula kuli macul keneh bae” atau dalam bahasa Indonesia “siapapun yang menang buktinya saya tetap saja jadi kuli mencangkul”. Maka berikutnya adalah masyarakat cenderung akan memilih yang memberikan uang dengan alasan jika setelah menang jarang pejabat yang perhatian.
Padahal logikanya adalah, jika ada timses yang merupakan kepanjangan tangan dari sang calon kepala daerah melakukan politik uang yang jelas melanggar undang-undang, diketahui penyelenggara atau tidak, calon tersebut sudah tidak layak untuk dipilih.
Semoga yang sekarang sedang berjuang untuk menang memang berjuang untuk rakyat, bukan untuk uang. Semoga pilkada dan para calon memang ada bedanya dengan pedagang di sebuah madrasah. Seperti kata Rendra, “masing-masing pihak punya cita-cita, masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata.”
Selamat berdagang! (Red)
Munawir Syahidi, Ketua Umum Gesbica IAIN “SMH” Banten 2012.