biem.co — MASIH butuh perjuangan dan usaha agar badan publik, khususnya di Banten, bisa terbuka atau transparansi soal informasi publik sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Kenapa demikian? Karena saat ini masih banyak badan publik menutup rapat informasi publik, sehingga warga kesulitan mengakses informasi tersebut.
Padahal dengan terbuka diharapkan pelayanan kepada masyarakat akan semakin baik. Saya berpikir sederhana saja, sedianya pejabat atau badan publik memahami UU KIP, menyamakan persepsi, tentu dengan melaksanakan UU tersebut. Indonesia yang menganut sistem negara demokrasi, suatu keniscayaan kalau rakyatnya harus berpartisipasi dalam pembangunan, baik memberi masukan dan saran, menikmati hasil pembangunan, mengetahui pemasukan dan pengeluaran dana yang dikelola, juga mengetahui rencana kerja pemerintahan. Amat sangat sederhana sekali.
Secara normatif, informasi publik yang harus diumumkan sesuai UU KIP yakni Pasal 9:
1) Setiap Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala.
2) Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau
d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
3) Kewajiban memberikan dan menyampaikan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali.
Kemudian Pasal 10 menyebutkan:
1) Badan Publik wajib mengumumkan secara serta ¬merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.
2) Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.
Pada Pasal 11 disebutkan:
1) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi:
a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan;
b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;
c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;
d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik;
e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga;
f. informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum;
g. prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat.
Sederhana kelihatannya, tapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Butuh waktu dan perjuangan dari semua pihak agar badan publik, paling tidak untuk menyediakan informasi tersebut. Saat ini yang paling sulit dipublikasikan adalah anggaran. Badan publik mau memberikan dokumen rincian anggaran bila ada permohonan informasi dari masyarakat. Sedangkan untuk kegiatan, program kerja, profil badan publik, saya kira hampir seluruh badan publik sudah memublikasikannya dengan baik. Kesadaran seperti inilah yang harus terus digelorakan. Ada ungkapan yang sering kita dengar: “Untuk apa menutup-nutupi anggaran. Justru kalau ditutup-tutupi malah masyarakat curiga dan menduga ada apa-apa dengan lembaga tersebut”.
Saatnya, badan publik dan pejabat untuk menginstruksikan kepada bawahannya agar memublikasikan informasi badan publik yang tidak dikecualikan. Ya tidak boleh semua informasi dipublikasikan, tetapi ada batasan. Dalam UU KIP jelas ada pengecualian sesuai dengan pasal 17. Misalnya terkait dengan keamanan negara, data intelijen, data pribadi, persaingan usaha tidak sehat dan lain-lain.
Saya kira tak perlu takut untuk membuka informasi publik. Harus dipahami dan disadari bahwa pejabat, pegawai negeri sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN) digaji oleh uang rakyat, sehingga harus dipertanggungjawabkan juga kepada rakyat. Sederhana memang. Untuk apa pegawai bekerja, kalau bukan untuk kepentingan rakyat dan melayani rakyatnya. Keberadaan pemerintah dan negara jelas harus bisa menyejahterakan rakyatnya. Negara harus hadir di tengah-tengah warganya. Dengan kesadaran dan pemahaman yang maksimal, penegakkan keterbukaan informasi bukanlah hal yang sulit. Namun untuk membentuk kesadaran inilah yang masih sulit.
Berbagai problem selalu ada dalam perjalanan penegakkan transparansi ini. Kerikil kecil menjadi alasan tersendiri badan publik masih enggan terbuka. Malah sebaliknya menutup rapat informasi tersebut. Misalnya, pejabat masih aman dan nyaman menyimpan informasi, rendahnya pemahaman aturan, dan kesadaran pertanggungjawaban masih minim. Pertanggungjawaban anggaran bukan semata-mata kepada wakil rakyat saja yang duduk di legisltif, melainkan kepada masyarakat secara keseluruhan, itu lebih penting.
Kemudian kebijakan pimpinan yang masih harus diperbaiki. Saya meyakini, bila ada kemauan tinggi dari pimpinan suatu instansi maka anak buah atau staf mau tidak mau akan ikut dan patuh. Disinilah perlunya kebijakan sang leadership. Contohnya kebijakan Ibu Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Apakah bawahannya ada yang menolak? Tentu tidak. Kebijakan Ibu Risma itu berjalan dengan baik, selama masuk akal dan benar-benar untuk kepentingan publik.
Menyamakan persespsi juga harus bersama-sama dengan masyarakat (pemohon informasi publik). Saya beberapa kali mendengar isu miring tentang pemohon dari badan publik. Tapi lagi-lagi badan publik tak mau membuka keluhan itu ketika bersidang ajudikasi di Komisi Informasi. Informasi itu liar tanpa bisa dipertanggungjawabkan. Inilah perlu disamakan persepsinya. Semoga. (*)
Ade Jahran, Komisioner Komisi Informasi Banten