InspirasiOpini

H.A. Suryana Sudrajat: Kemandirian Bukti Kekuatan Iman

 

Oleh H.A. Suryana Sudrajat*

“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, tentu Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaannmu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mahamengetahui perkara yang gaib dan perkara yang nyata, kemudian diberikannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah: 105).

Suatu hari seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Nabi Muhammad SAW seraya meminta sesuatu.

“Apakah kamu memiliki sesuatu di rumahmu?” tanya Rasulullah.

“Ya, kami memiliki kain tipis yang sebagian kami pakai dan sebagian lagi kami bentangkan, dan sebuah cangkir yang kami gunakan untuk minum,” jawab laki-laki itu.

“Bawalah ke sini kedua hartamu itu,” kata Rasulullah.

Orang itu pun pulang ke rumahnya dan kembali menghadap Rasulullah dengan kedua benda miliknya itu. “Siapakah yang bersedia membeli kedua benda ini,” tanya Rasulullah kepada orang-orang di sekitarnya.

“Saya siap membeli dengan harga satu dirham,” seorang laki-laki menyahut.

Rasulullah kembali menawarkan barang-barang itu hingga dua atau tiga kali. Lalu ada seorang laki-laki yang menjawab: “Saya bersedia membeli dua dirham.”

Kemudian, Nabi Muhammad SAW memberikan uang itu kepada laki-laki Anshar dan berata, “Belilah makanan dengan salah satu dirham ini, lalu berikanlah kepada keluargamu. Dan belilah kapak dengan dirham yang satunya lagi, lalu bawalah kepadaku.”

Orang itu pun mengerjaan apa yang diperintahkan. Nabi Muhammad SAW kemudian mengambil kapak itu, lalu mengikatkan tali, dan mengatakan, “Pergilah dan carilah kayu bakar. Aku tidak ingin  melihatmu selama 15 hari.”

Lelaki Anshar itu bergegas mencari kayu bakar dan kemudian menjualnya. Setelah bekerja 15 hari,  dia pun datang kembali menghadap Rasuullah SAW dengan membawa 10 dirham. “Belilah makanan dengan sebagian dirhammu, dan sebagian yang lain untuk beli baju,” kata Nabi. Beliau menambahkan, “Ini lebih baik bagimu daripada kamu datang untuk meminta-minta. Sebab meminta-minta itu akan menjadi setitik noda di wajahmu di hari kiamat nanti. Sesungguhnya meminta-minta itu tidak baik, kecuali bagi orang fakir yang tertimpa bencana, atau bagi orang yang banyak utang sehingga sangat berat bebannya, atau bagi orang yang harus membayar denda yang sangat memilukan.”

Hadis riwayat Ibn Majah di atas yang berasal dari Anas ibn Malik itu mengandung pesan, bahwa setiap Muslim dituntut untuk rajin bekerja, memiliki sumber penghidupan, dan tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain dengan cara meminta-minta. Menurut Nabi meminta-minta termasuk akhlak tercela. Dengan bekerja, hidup seorang muslim menjadi lebih terhormat, meskipun hanya menjadi seorang pengumpul kayu bakar ketimbang menjadi peminta-minta. Dengan bekerja keras pula, seseorang bisa meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat keak. Jadi, tidak ada lasan bagi seorang muslim untuk bermaslas-malasan, bertopang dagu mengharapkan belas kasih orang lain. Muslim yang sejati, selain rajin beribdah adalah seorang yang tekun dalam mencari rizki – tentunya yang halal.

Rasulullah SAW pernah mengambil janji setia dari para sahabatnya untuk tidak menyekutukan Allah, menjalankan shalat lima waktu sertan senantiasa menaati perintah-perintah-Nya, dan untuk tidak bergantung kepada orang lain, seperti dinyatakan dalam sebuah hadis: “Janganlah meminta-minta sesuatu kepada sesama manusia. Sungguh aku telah  melihat di antara orang-orang yang hadir ada seorang di antara mereka yang cemetinya jatuh, hingga dia tidak meminta tolong kepada orang untuk mengambilkannya.” Jadi, Rasulullah sangat mengharapkan umatnya untuk hidup mandiri, dan berkarya serta bekerja keras untuk mencukupi kehidupannya.

Kemandirian merupakan bukti kekuatan iman seseorang. Orang yang mandiri selalu menyerahkan urusannya kepda Allah disertai dengan ikhtiar, bukan dengan menggantungkan dirinya kepada orang lain. Orang yang suka meminta-minta, seperti dikemukakan Nabi SAW, kelak pada hari kiamat akan kehilangan muka di hadapan Allah SWT. Sebab Dia lebih menyukai hamba-hamba-Nya yang mandiri, rajin bekerja tanpa mengharap belas kasih orang lain.

 

Bekerja Pagi Hari

Rizki yang halal tentu hanya dapat diraih dengan cara-cara yang halal pula. Rizki Allah SWT memang tidak datang begitu saja; harus diraih dengan usaha dan kerja keras. Jika rizki itu seret, tidak lancar, maka seorang Muslim tidak boleh putus asa, lantas mencari jalan pintas, dengan menempuh cara-cara yang haram, atau menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Seorang Muslim yang senantiasa mengharapkan ridha atau keberkahan Allah SWT dalam setiap perbutannya, tentu saja tidak akan menempuh sesuatu dengan ara yang haram, atau yang tidak diridhai Allah SWT.

Seperti diungkapkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Allah SWT sangat mencintai hamba-Nya yang berkerja.

“Dan orang-orang yang bekerja keras untuk mencukupi kehidupan keluarganya ini disejajarkan dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah SWT. Untuk mereka, Allah SWT pun menyediakan pahala dan ampunan. Pahala yang diperolehnya sama dengan pahala orang yang berjihad di jalan Allah. Sedangkan ampunan yang diperolehnya sesuai dengan sabda beliau; “Sungguh sebagian dari dosa manusia ada yang tidak diampuni dengan melakuan salat, zakat, dan haji. Tetapi dosa itu terampuni dengan sulitnya mencari penghidupan.” (H.R. Ibn Baawaih dan Thabrani). 

Jadi, selain untuk beroleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, bekerja keras juga merupakan bagian dari penebus dosa. Maka, tidak mengherankan jika Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk segera mencari rizki begitu pagi tiba. Kita dianjurkan untuk tidak tidur kembali setelah salat subuh. Bekerja di waktu pagi, kata Nabi, akan mendatangkan keberkahan dan keberhasilan.

“Bergeralah dalam mencari rizki dan kebutuhan. Sesungguhnya bersegera itu adalah mengenadung keberkahan dan kesuksesan.” (H.R. Bazzar dan Ahmad).

Sekali lagi, bekerja keras merupakan bagian akhlak mulia yang harus dimiliki seorang Muslim. Sebab dengan bekerjakeraslah kita akan memperoleh keberhasilan dan rizki yang halal. Oleh karena itu, seorang Muslim dituntut untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Seorang Muslim yang kuat lebih baik dari seorang yang Muslim yang lemah. Yang dimaksud di sini bukan bukan dalam pengertian kuat dalam beribadah, tetapi kuat secara fisik dan tangguh secara ekonomi. (*)   


*Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ihsan, Anyer, Serang,Banten.

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button