Oleh: Munawir Syahidi
“Atu wios upami teu pendakmah, ja leungit nageh keur dianggo berkesenian, sakitu nu tiasa ku mamang lakukeun meh generasi muda terus berkesenian, ulahkeun gong, nyawa mamanggeh titipan Gusti Allah SWT, nu penting terus bae berkesenian, mere pesen kanu nonton.”
Suatu ketika dalam sebuah percakapan dengan salah satu tokoh ubrug, Mang Sarmani di rumahnya. Hari itu kami dari kawan-kawan Gesbica sengaja datang memberanikan diri untuk berterus terang tentang hilangnya gong milik Mang Sarmani, karena dipinjam sebagai properti pementasan teater Kain Hitam ‘Robohnya Surau Kami’ pada 2011. Kami sangat merasa takut, malu, sekaligus bimbang, tetapi keberanian untuk jujur harus ditumbuhkan. Dipaksa tumbuh dengan seribu lebih ketakutan.
Waktu itu jalan ke rumahnya melewati gang sempit daerah pinggiran industri, di rumahnya waktu itu ada tempat bengkel handpone dan mesin parutan kelapa sebagai usaha kesehariannya, mungkin.
Datang dengan sambutan yang begitu hangat, Mang Sarmani dan istrinya menyambut kami anak-anak yang masih ingusan dalam pergaulan hidup, belum banyak makan garam. Tapi kami merasa terhormat diterima sehangat itu oleh seniman Ubrug Mang Sarmani. Dengan basa basi yang panjang sekali, diawali dengan memberikan dua bungkus rokok yang dia sambut dengan senyuman. Kami dihidangkan kopi, susu, teh manis beserta kue-kue. Sungguh, ini bentuk penerimaan yang luar biasa.
Mang Sarmani bercerita tentang kesenian ubrug yang dari hari-kehari semakin sedikit peminatnya. Keluh kesahnya tentang generasi muda yang hilang daya dan upaya untuk berkesenian ubrug, atau kesenian yang lain yang tidak hanya mengedepankan hiburan, bukan sekadar tontonan namun juga tuntunan. Dia yang juga bekerja sebagai tukang gergaji kayu yang biasa dia bilang sebagai usaha untuk menyambung hidup. Walau sekarang sudah agak sedikit yang menyuruhnya menebang kayu di kebun. “Taneuhna jaradi gedong kabeh.” Namun, tidak ada keluhan apapun darinya tentang ekonomi atau pendapatan hidup sebagai seorang seniman. Dari awal dia hanya mengeluhkan tentang sedikitnya orang yang mau berkesenian ubrug.
Obrolan kami sesekali berubah-ubah bahasa, ketika dia bertanya tentang asal daearah kami yang berbeda-beda. Serang Tirtayasa daerah asal Arif Rahman, Mang Sarmani menggunakan bahasa Jawa Serang. Kalau bertanya tentang daerahku yang berasal dari Cibaliung, maka dia berbicara dalam bahasa Sunda. Mang Sarmani kemudain bercerita tentang daerah-daerah yang pernah dia kunjungi ketika bermain ubrug. Mulai dari Serang, Tangerang, Jakarta, Pandeglang, sampai Rangkas.
Istrinya yang sejak tadi mendengarkan kami mengobrol, sesekali menimpali cerita dari Mang Sarmani, hati kami masih takut was-was dan merasa tidak enak hati.
Perjalanan pertemuan yang berawal dari beberapa kali aksi demonstrasi menuntut adanya gedung kesenian di Banten yang memperkenalkan kami dengan seniman Ubrug ini. Sampai kami berani untuk meminjam gong miliknya yang sudah puluhan tahun menemani hidupnya sebagai pegiat ubrug di Banten.
Dia juga bercerita ke mana saja gong yang kami pinjam itu pernah pentas. Saat itu, ia belum tahu kalau kedatangan kami ke rumahnya untuk pengakuan dosa. Menghilangkan gong kesayangannya. Lebih dari itu, yang lebih membuat kami ketakutan adalah ketika kami tahu bahwa gong itu ada yang mau membeli seharga lima juta rupiah, namun Mang Sarmani tidak berniat untuk menjualnya. Sehingga kami tahu, harga gong yang telah hilang pada suatu pagi selepas latihan teater itu seharga lima juta rupiah..
Walau bagaimanapun, kami harus memberanikan diri untuk bicara. Maka mulailah kami bercerita jika gong yang kami pinjam darinya telah hilang. Sontak, Mang Sarmani terlihat mengernyitkan dahi, kemudain dia tersenyum dan bicara dengan sangat tenang.
“Atu wios upami teu pendakmah, ja leungit nageh keur dianggo berkesenian, sakitu nu tiasa ku mamang lakukeun meh generasi muda terus berkesenian, ulahkeun gong, nyawa mamanggeh titipan Gusti Allah SWT, nu penting terus bae berkesenian, mere pesen kanu nonton.”
Hati kami begitu sejuk mendengar kata-kata yang keluar dari manusia sederhana yang tahapan kesenimanannya telah sampai pada tahapan tinggi. Barang yang dicintainya telah kami hilangkan, namun tidak menghilangkan kesadarannya sebagai manusia.
Hari itu kami mendapatkan pelajaran yang sangat banyak tentang ikhlas dalam menghadapi kehilangan dan kerendahan hati. Lalu, kami memberikan amplop yang isinya sangat jauh dari harga gong yang sudah ditawar itu. Namun, mlagilagi ia masih tersenyum dalam sejuk dan bersahaja.
Selanjutnya, pertemuan-pertemuan dengannya masih berjalan di acara-acara kesenian dan terakhir melihat potretnya di Musik Rerageman Gesbica.
Saya menulis cerita ini sebagai salah atu cara untuk menuangkan kegelisahan dan mengurai kenangan tentang Mang Sarmani, saat mendengar kabar beliau telah kembali kerahmatullah, semoga Allah SWT menerima amal ibadahnya dan menempatkannya di tempat terindah.
Cibaliung, 26 November 2016
Munawir Syahidi, Ketua Umum Gesbica IAIN “SMH” Banten 2012.