PANDEGLANG, biem.co – Di zaman modern ini, sebagian besar masyarakat sudah bertalian erat atau terikat dengan tenaga listrik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dari berbagai hal terutama pekerjaan.
Hal tersebut, sejalan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 bahwa penyediaan tenaga listrik dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Senada dengan hal itu, dalam UU no. 30 tahun 2009 pasal 2 ayat 1 dan pasal 29 ayat 1, disebutkan bahwa dibangunnya pembangkit tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Diketahui, Provinsi Banten memiliki empat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), di antaranya PLTU Suralaya, PLTGU Cilegon, PLTU Lontar, Tangerang, dan PLTU Labuan, Pandeglang. Namun demikian, sejumlah PLTU tersebut, tidak mampu menjamin stabilitas listrik atau memenuhi pasokan listrik untuk kebutuhan masyarakat, terutama di wilayah Cibaliung (zona 6), Kabupaten Pandeglang, yang mengalami krisis listrik.
“Kejadian mati listik sudah terjadi sejak 9 bulan yang lalu, tepatnya pada 9 Maret 2016 sampai saat ini. Bahkan, diperkirakan lebih dari itu sebelum dilakukan pencataan. Kejadian mati listrik tersebut sering terjadi baik saat siang ataupun malam, cuaca kurang baik ataupun sedang baik (cerah). Kejadian itu, sudah sangat meresahkan masyarakat Cibaliung dan sekitarnya. Bagaimana tidak? Dalam satu bulan kejadian mati listrik sering sekali terjadi, hampir setiap hari, akibatnya aktifitas masyarakat terganggu, terutama bidang yang berkaitan dengan tenaga listrik,” terang salah satu peserta aksi, Munawir, Rabu (09/11/2016).
Munawir menambahkan, padahal kalau kita melihat pada sejumlah PLTU yang ada di Provinsi Banten, rasa-rasanya tidak perlu harus terjadi listrik mati. Hal ini mengindiskasikan bahwa pasokan aliran listrik lebih besar dipergunakan untuk industri pabrik, perhotelan, dan sejumlah perusahaan yang bermodal besar, baik yang ada di Provinsi Banten ataupun luar Banten, dibandingkan dengan pasokan listrik untuk masyarakat. Kita bisa lihat buktinya, ketika rumah masyarakat gelap akibat mati listrik, akan tetapi pabrik-pabrik, hotel-hotel, perusahaan yang bersifat monopolistik, dan yang lainnya terang-benderang oleh sinar lampu listrik. Bukti lain, minimnya aliran listrik untuk wilayah Cibaliung dan sekitarnya adalah dengan ditemukannya beberapa gardu listrik yang tidak sesuai dengan kapasitas maksimumnya, seperti gardu listrik di Cibaliung yang hanya 200 Volt dan gardu listrik di Desa Waringin Kurung, yang hanya sampai pada angka 180 Volt. Padahal, pada masing-masing gardu tersebut harus memiliki kekuatan sampai 300 Volt. Tidak hanya minimnya pasokan listrik, fasilitas yang kurang baik juga mengakibatkan lemahnya kekuatan pasokan listrik, karena mudah terganggu apabila cuaca sedang buruk.
“Saat persoalan mati listrik di wilayah Cibaliung, Pandeglang dan sekitarnya hingga sampai saat ini, berdasarkan UU nomor 30 tahun 2009 pasal 46 ayat 1 tentang pembinaan dan pengawasan, disebutkan bahwa apabila terjadi pasokan listrik minim, tingkat mutu, dan keandalan penyediaan tenaga listrik kurang baik, maka pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Pandeglang berkewajiban untuk menyelesaikan masalahnya,” lanjutnya.
Atas persoalan tersebut, maka kami Keluarga Mahasiswa Cibaliung (Kumaung) menuntut:
1. Bupati Pandeglang harus turun tangan menyikapi persoalaan listrik mati di wilayah Cibaliung dan sekitarnya (zona 6) Kabupaten Pandeglang.
2. PT. PLN Persero harus memaksimalkan pasokan listrik di wilayah Cibaliung dan sekitarnya (zona 6) Kabupaten Pandeglang.
3. PT. PLN Persero harus memperbaiki fasilitas listrik yang kurang baik di wilayah Cibaliung dan sekitarnya (zona 6) Kabupaten Pandeglang.
4. PT. PLN Persero harus transparan mengenai alokasi listrik di wilayah Cibaliung dan sekitarnya (zona 6) Kabupaten Pandeglang.
5. Kurangi pasokan aliran listrik untuk industri dan tambahkan jumlah pasokan listrik untuk masyarakat di wilayah Cibaliung dan sekitarnya (zona 6) Kabupaten Pandeglang. (red)