Cerita Bersambung Kholi Abas
Baca kisah sebelumnya: Pesan Cinta Dandelion (Bagian 5)
Dandelion yang Rapuh
“Lion, kalau ada banyak pilihan bunga yang menggambarkan karaktermu, kamu akan pilih bunga apa?,” tanyanya memecahkan hening.
“Dandelion,” jawabku mantap diiringi senyuman.
“Dandelion? Kenapa? Apa Dandelion itu menggambarkan karaktermu?,” dahinya mulai mengerut.
“Yaaa enggak tau juga, Dan. Aku suka aja sama Dandelion. Haha,” aku menjawab sekenanya. Tak menghiraukan wajah Dani yang semakin terlihat bingung.
“Hish… dasar bocil. Pertanyaannya apa, jawabnya apa,” wajah Dani kini terlihat kesal, tapi aku menyukai ekspresinya.
“Kenapa kamu menyukai Dandelion? Dandelion kan bunga yang rapuh, tertiup angin saja sudah berguguran,” ia melanjutkan pertanyaannya.
“Hmmh, apakah setiap rasa suka itu harus butuh alasan? Aku hanya menyukainya. Itu saja. Tak ada alasan lain,”
“Selain Dandelion, adakah bunga lain yang kamu suka, Lion?,” tanyanya lagi seolah belum puas.
“Bunga Lili,” jawabku mantap seperti sebelumnya.
“Lili? Jadi Lili itu nama bunga?,” tanya Dani lagi. Kali ini ekspresinya sedikit terkejut. Sepertinya ini pertama kalinya Dani mendengar bunga Lili.
“Iya, itu nama bunga,” jawabku singkat.
“Kalau begitu, aku minta maaf, Lion. Aku sering memanggilmu dengan sebutan Lili. Bukan maksudku memanggilmu dengan nama bunga itu. Aku hanya…,” kalimatnya terhenti. Ia kehabisan kata-kata. Sepertinya ia salah tingkah.
“Haha.. tenang saja, Dani. Aku enggak akan GR kok. Aku juga tau kalau maksudmu memanggilku dengan sebutan itu karena itu nama penaku kan?,“
Kini, kita berdua terdiam. Dani terdiam karena merasa malu sering memanggilku dengan sebutan Lili yang ternyata baru ia tahu kalau itu adalah nama bunga. Sedangkan aku terdiam memikirkan tentang dirimu, Dan. Sejujurnya aku ingin mengatakan kepadamu,
“Aku tidak butuh alasan untuk menyukai Dandelion, sama seperti aku menyukaimu. Aku tidak butuh alasan untuk menyukaimu, Dani,”
Satu hal lagi yang aku ingin kamu mengetahuinya, Dan. Tak perlu meminta maaf, karena sejujurnya aku sangat senang ketika kamu memanggilku dengan sebutan Lili. Tapi aku lebih senang saat kamu memanggil sepenggal namaku seperti biasanya, “Lion”.
***
Aku membuka mata ini, menikmati setiap sudut tempat yang menjadi saksi sejarah hijrahku. Tempat ini juga pernah merekam memori tentang aku dan Dani. Aku masih ingat betul bagaimana indah suaramu ketika mengaji, Dan. Saat itu kita akan rapat kordinasi, tapi ruangan yang digunakan untuk rapat masih terkunci. Hanya ada kamu di sana, tepat di depan pintu ruang rapat. Peserta rapat yang lain belum hadir. Aku tak berani mendekat dan hanya bisa menunggu di sisi ruangan yang lain. Tapi, tahukah kamu, Dani? Dari sisi ruangan ini aku masih bisa mendengar suaramu melantunkan ayat-ayat cinta Allah itu. Ini memang bukan yang pertama aku mendengarmu mengaji, tapi tetap saja aku merasakan sejuk ketika mendengarnya. Pertama kali mendengarmu mengaji adalah ketika kita melakukan perjalanan jelajah alam. Di malam yang dingin dengan suhu tujuh derajat celcius, ditambah dengan hujan dan badai, aku hampir mati kedinginan di dalam tenda. Tubuhku menggigil, dingin dan kaku. Aku pikir aku hampir terkena hypothermia saat itu. Aku berusaha agar tetap bisa terjaga dan tidak kehilangan kesadaran. Di tengah-tengah usahaku untuk bisa mengusir rasa dingin dalam tubuh, aku mendengar seseorang sedang mengaji. Suara itu berasal dari tenda sebelah tendaku. Aku yakin itu kamu, Dani. Suara itu, aku sangat mengenalinya. Itu memang suaramu, Dan. Terimakasih, ayat-ayat suci yang kamu lantunkan membuatku bisa terus terjaga sampai rasa dingin dalam tubuhku berhasil aku usir pergi.
Memikirkan dan mengenang tentangmu memang tiada habisnya, Dani. Tapi, aku harus tersadar. Aku tidak boleh larut terlalu lama dengan semua hal tentangmu. Aku segera beranjak, meninggalkan tempat yang penuh dengan rangkaian-rangkaian segitiga menghiasi atapnya. Segera ku kemas semua barang-barangku dan pergi menuruni anak tangga. Di lantai bawah ada Syifa yang sudah menungguku sejak 30 menit yang lalu. Wajahnya terlihat sedikit kesal, mungkin karena terlalu lama menunggu. Sepertinya Syifa belum menyadari kedatanganku. Pandangannya tertunduk pada layar hape Asus Zenfone Go miliknya.
“Hey, lama ya?,” sapaku memecahkan lamunannya.
“Iya, lama. Sampai-sampai nenek gayung aja udah ganti bawa tab,” tukas Syifa sangat kesal tapi terlihat menggemaskan.
“Hahaha, maaf ya maaf. Melepas rindu dulu Fa sebelum pulang dan entah kapan bisa ke tempat ini lagi,” jawabku membela diri.
“Kamu jadi pulang hari ini, Li?,”
“Iya,”
“Tumben cepat. Biasanya kamu selalu ingin berlama-lama kalau ke Bogor,” kata Syifa lagi merasa heran.
“Hehe, lagi ingin pulang secepatnya aja Fa. Rindu Ayah,”
Aku dan Syifa akhirnya beranjak menjauhi bangunan dengan desain atap segitiga terbalik itu. Kami melewati hamparan rumput yang menghijau, terlihat seperti karpet yang terbentang. Menyusuri jalanan yang teduh, menapaki batako-batako yang terangkai rapi. Di persimpangan langkah kaki ini berbelok ke kiri dan mulai memasuki koridor-koridor bangunan kampus yang seperti sarang lebah ini. Pandanganku terpaku ketika melihat salah satu tempat teramai di kampus hijau ini. Di bawah tangga koridor itu aku dan Dani pernah bertemu. Hanya sekedar mengembalikan buku yang pernah dipinjam. Tak lama, tapi sangat membekas. Pertemuan-pertemuan antara aku dan Dani yang lain juga memang tak pernah lama. Hanya sekedar berpapasan dan memberikan senyuman. Singkat, tapi bisa membuatku senyum-senyum sendiri seharian.
Setelah melalui koridor-koridor, perjalananku berujung pada sebuah pintu kecil yang menjadi jalan tikus bagi para mahasiswa yang akan pergi ke kampus. Pintu kecil itu dinamai Berlin. Tepat sesaat sebelum memasuki Berlin, aku merasakan hal yang aneh. Perasaan aneh yang selalu aku rasakan ketika akan bertemu dengan Dani. Aku seperti selalu dapat merasakan kehadirannya di sekitarku. Belum sempat aku mengusir prasangka aneh ini, tepat di depanku aku melihat sosok Dani berjalan ke arahku. Aku bingung, ingin rasanya berbalik arah dan menghindari bertemu dengannya tapi itu tidak mungkin. Dani sudah melihatku, ekspresinya terlihat sedikit terkejut melihatku tiba-tiba ada di kota hujan penuh kenangan ini. Aku hanya bisa menundukan kepala ini. Berpura-pura tidak melihatnya. Aku pun berharap Dani melakukan hal yang sama, berpura-puralah tidak melihatku. Acuhkan aku seperti yang kamu inginkan. Kaki ini terus melangkah maju, jarak kami semakin dekat.
Acuhkan aku. Acuhkan aku. Anggap saja kamu tidak melihatku, Dan. Anggap kita tidak pernah bertemu. Selayaknya orang asing yang tak saling mengenal, jangan sapa aku. Jangan kacaukan hati yang sudah kacau ini.
Aku terus bergumam dalam hati. Waktu terasa begitu lambat dan ku tundukkan kepalaku semakin dalam, berharap ini segera berlalu. Tiba-tiba saja semuanya terasa sunyi, sepi dan hening. Hingga akhirnya suaramu memecahkan semuanya.
“Lion”
Suara itu. Apakah itu benar-benar kamu, Dan? Apakah baru saja kamu memanggilku? Aku ingin memastikannya. Ku angkat daguku, berusaha melihat ke arahmu. Ternyata memang benar. Itu memang suaramu, Dani Muhammad Firdaus. Aku masih melihatmu berdiri di sana, di depanku. Kamu melihat ke arahku dan tersenyum. Senyuman itu, masih tetap bisa menghiasi bibirmu. Setelah apa yang telah terjadi di antara kita, kamu masih bisa memberikan senyum itu padaku. Mungkin hatimu memang jauh lebih kuat dibandingkan aku, Dan. Walaupun memang senyuman itu terlihat sedikit kaku dari biasanya, tapi itu lebih baik daripada aku yang tak bisa tersenyum di hadapanmu.
Allah, sungguh rasanya sangat sesak di dada. Aku ingin menangis. Peluk aku ya Allah, rangkul aku, kuatkan aku. Aku tak bisa berhadapan denganmu lebih lama lagi, Dan. Rasanya terlalu sakit. Maaf aku tak bisa membalas senyummu. Aku harus pergi, segera pergi sebelum air mata ini jatuh di hadapanmu. Ku palingkan wajahku dan pergi meninggalkannya. Menjauh darinya. Bukannya aku membencimu, hanya saja aku terlalu takut untuk bertemu denganmu saat ini. Aku terlalu rapuh. Semoga kamu bisa mengerti kondisiku saat ini, Dani. Dulu, bertemu denganmu adalah hal yang paling aku tunggu-tunggu dan rasanya sangat menyenangkan. Kini, semuanya terasa berbeda. Sesak dan menyakitkan. Mungkin kamu benar, Dan. Aku masih belum bisa ikhlas menerima keputusanmu untuk melepaskanku.
Syifa yang sedari tadi beriringan denganku nampak terlihat bingung dengan perubahan sikapku yang begitu tiba-tiba. Aku menggenggam tangannya erat dan menariknya agar berjalan lebih cepat. Ia juga merasa heran dengan sikapku yang acuh terhadap Dani.
“Li, kamu disapa Dani tuh. Kenapa engga dibalas?,” tanya Syifa penuh dengan keheranan.
“Aku sedang buru-buru, harus pulang secepatnya khawatir hujan. Sapaan Dani sudah aku balas ko, Fa,” jawabku ngeles sambil terus mengajak Syifa berjalan cepat.
Sesampainya di ujung pintu Berlin aku segera berpamitan dengan Syifa. Menaiki angkot kampus dalam dan membawaku meninggalkan Syifa yang masih termangu bingung. Perjalanan kali ini terasa begitu lama, angkot yang kunaiki tak kunjung sampai di terminal bis Baranangsiang. Aku berusaha untuk tidur agar perjalanan ini terasa singkat, atau lebih tepatnya agar aku tak perlu memikirkan pertemuan singkat tadi. Tapi semua usahaku itu tak berhasil. Ingin rasanya aku menangis saat ini juga, tapi itu tak bisa aku lakukan. Mataku sudah terasa hangat, nafasku juga terasa berat. Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku ke kaca belakang angkot ini, berharap tak ada satu pun penumpang lain yang menyadarinya. Aku harus bisa menahan semua ini, menahan agar air mata ini tak lagi jatuh karena seseorang yang berarti bagiku.
Dua jam berlalu, aku pikir aku berhasil menahan tangis. Mengendalikan emosi dan melalui kecamuk yang ada. Angkot yang aku tumpangi akhirnya sampai di Terminal Baranangsiang. Bis Arimbi jurusan Merak langsung melaju cepat meninggalkan kota hujan yang romantis ini. Tepat setelah bis ini melewati pintu terminal, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Aku sangat menikmati suasana seperti ini. Tetesan-tetesan airnya perlahan membasahi kaca bis, menimbulkan embun di kaca bagian dalam. Dinginnya hujan mulai terasa hingga ke dalam bis, kuputuskan untuk segera memejamkan mata ini. Ketika aku mulai terpejam, aku teringat akan satu hal “banyak-banyaklah berdoa ketika hujan, karena saat itu waktu yang sangat baik untuk dikabulkannya doa,”. Ah, Dani lagi-lagi aku masih mengingat jelas semua tentangmu. Aku lelah, ingin segera terlelap. Sebelum benar-benar terlelap, aku sempatkan berdoa di tengah hujan yang turun. Nyatanya, dari semua doaku, masih ada namamu di sana. Aku masih terus mendoakan untuk segala kebaikanmu, Dani.
Aku terlelap dan dalam lelapku cerita lama itu kembali hadir. Cerita tentang kelanjutan kisah aku dan Dani setelah mendiskusikan “persoalan hati” kepada orangtua kami masing-masing.
“Lion, apa kamu sudah menceritakan tentang kita ke Ayah dan Ibumu?,” tanyamu saat itu, Dan. Belum sempat aku menjawabnya, kamu meneruskan kalimatmu.
“Aku sudah ceritakan tentang aku dan seorang perempuan ke Ibuku. Akhirnya semua yang dipendam selama ini bisa aku luapkan,” kamu diam sejenak, aku pun demikian. Aku diam menerka kelanjutan kalimatmu.
“Maaf Lion, maaf,” kamu terdiam lagi. Kali ini sedikit lebih lama. Sepertinya sangat berat melanjutkan kalimatmu, Dan.
“Ada hal-hal yang menjadi targetan dari orangtuaku, dan aku harus menyelesaikannya terlebih dulu. Memenuhi segala hal yang menjadi harapan kedua orangtuaku,”
Kalimat itu terputus, ada jeda di sana. Dani seolah mempersiapkan kalimat selanjutnya, sedangkan aku masih diam membisu. Entah, aku tak tahu harus berkata apa, terlalu membingungkan. Aku biarkan Dani menyelesaikan semua kalimatnya.
“Aku tidak ingin memberikan harapan apapun padamu, Lion. Kita tidak tahu bagaimana rencana Allah nanti, jadi aku minta kamu jangan terlalu berharap dulu ya, Lion. Semakin berharap kepada makhluk akan semaikin menderita. Aku tidak ingin menyakiti hatimu, Lion. Lupakan saja semuanya. Kamu bebas dan tidak terikat denganku,”
Entah lah, rasanya semua begitu cepat sehingga terlalu membingungkan bagiku. Baru saja beberapa hari sebelumnya kamu yang memberiku pilihan yang akhirnya kita sepakati bersama untuk melanjutkan kisah ini, tapi saat ini kamu juga yang mengatakan agar aku tidak boleh berharap. Kamu meminta agar aku melupakan semuanya, setelah semua yang kamu katakan sebelumnya. Ah, Dani… semudah itukah bagimu? Aku bingung, tak ingin berkata apapun“
“Lion, kenapa kamu diam? Kamu baik-baik saja kan, Li?,”
Dani, kenapa kamu selalu berharap aku baik-baik saja? Setelah jelas-jelas kamu membuatku sakit. Bahkan kamu tak menanyakan lagi tentang bagaimana hasil diskusiku dengan Ayah dan Ibu, Dan. Kamu tak pernah tahu kan bagaimana senangnya Ayah ketika lelaki asing yang sering aku ceritakan kepada Ayah mengajaku melanjutkan kisah ini ke pernikahan? Kamu tak pernah tahu kan, Dan, antusiasnya Ibu setiap aku bercerita tentangmu? Bahkan aku sudah lebih dulu menceritakan semua tentang kamu kepada Ayah dan Ibu sebelum kamu memintanya, sebelum adanya sebuah pengakuan itu. Untungnya, Ayah dan Ibu sangat mengerti kondisi saat itu. Kamu tahu apa tanggapan mereka ketika aku menceritakan tentang keputusanmu itu? Ayah dan Ibu justru memintaku agar mengerti keadaanmu. Mereka memintaku untuk mengikuti apa yang kamu inginkan.
Huft… mengapa bayangan kisah itu sangat jelas terekam dalam memori ingatanku. Sesaknya masih sangat aku rasakan. Aku tak bisa benar-benar terlelap, bayangan masa lalu tentang Dani selalu saja muncul setiap kali aku berusaha memejamkan mata. Bahkan di saat aku sedang merasa lelah sekalipun, seperti saat ini. Rasanya ingin sekali menghapus semua memori tentang Dani jika memang ruang pemindai saraf itu benar-benar ada. Baru saja aku berhenti memikirkan tentang Dani, tiba-tiba ponselku bergetar menandakan adanya pesan WhatsApp yang masuk. Sangat jelas tertera di layar ponsel android milikku, di samping kanan icon Whatsapp itu ada nama yang sangat aku rindukan. Pesan dari Dani yang kunamai ‘Voldemort’ di kontaknya. Aku bergetar membuka isi pesannya, benarkah itu darimu? Sudah terlalu lama pesanmu tak menghampiri. Apa isi pesannya? Aku takut, takut kalau isinya membuatku harus menangis lagi. Bismillaah, akhirnya ku beranikan diri untuk membuka pesan darimu, Dan.
Kamu, Kemarilah.
Aku tau kamu masih di sini.
Tidak beranjak sedikitpun sejak aku mempersilahkan dirimu terbang menjauh.
Aku melihatmu.
Keluarlah. Tidak perlu bersembunyi lagi
Aku tau kamu masih di sini.
Maafkan kata-kataku sebelumnya
Aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu
Aku hanya sedang ketakutan waktu itu
Aku tau, sebawel apapun aku memintamu untuk pergi, kamu tak kan pergi.
Kamu akan tetap berdiri, atau mungkin bersembunyi di balik lembayung ingatanku. Seperti saat ini.
Terisak perih karena mungkin aku yang terlalu keras kepala dengan rasa ini.
Dan kamu selalu mengintip di waktu-waktu istirahat yg aku miliki. Menyergap pikiranku.
Kalaupun kamu memang benar-benar pergi, itu pasti karena kamu berhasil membawa separuh hatiku pergi bersamamu
Ya.. Apa boleh buat kalau itu memang maumu
Akan kutuliskan nama mu di sampul kehidupanku. Agar setiap waktu aku bisa tersenyum karenamu
Maaf karena aku tidak berani berkirim pesan denganmu. Aku kalut. Mungkin kamu juga begitu. Karena kata-kataku waktu itu.
Allah, kuatkan aku. Apakah ini ujian dari-Mu? Ujian apakah aku benar-benar bisa melepaskan Dani? Haruskah terulang lagi? Seperti saat itu, ketika Dani memintaku agar tak berharap banyak padanya tapi justru dia yang terus menerus menumbuhkan benih-benih harapan itu melalui kata-kata indahnya. Kini, saat aku sedang berusaha keras mengihlaskannya, ia datang lagi. Apakah ini ujian dari-Mu ya Allah? Ingin sekali aku membalas pesannya dan mengatakan bahwa aku tidak pergi kemanapun. Mungkin aku memang bersembunyi, bersembunyi dari semua hal yang berkaitan denganmu, Dan. Tapi, nyatanya aku tidk bisa benar-benar pergi, aku masih di sini, di tempat yang sama. Aku memilih bertahan di posisi awalku, mencintai dan menunggumu.
Aku baca berulang kali pesan itu, sungguh menyesakkan dada. Mataku terasa hangat kembali, buliran beningnya kembali membasahi pipiku. Aku ingin membalasnya, menanyakan keadaannya, hatinya, semuanya. Aku ingin mengetahuinya. Tapi itu semua aku urungkan, aku masih terlalu takut. Aku takut kalau akhirnya kamu datang untuk meninggalkan luka lagi, Dani. Aku memilih untuk membiarkan pesan itu tanpa balasan. Biarlah semua pesan yang ingin aku sampaikan padamu ku titipkan kepada Sang Pemilik hatimu, Dan.Biarlah Allah yang akan menyampaikannya langsung. Untuk saat ini, aku hanya ingin memeluk semua kenangan tentangmu. Dani, mengapa cinta tak pernah sesederhana seperti yang aku bayangkan? Mengapa cinta begitu rumit bagi kita, Dan?
Hujan di luar masih turun dengan derasnya. Seolah mewakili bagaimana perasaanku saat ini. Ingin rasanya aku berabung dengan rintikan hujan itu, agar tak ada satu orang pun yang dapat melihatku menangis. Aku ingin segera sampai. Bertemu Ayah dan Ibu. Berada di pelukan mereka itulah yang ingin aku rasakan saat ini. Seperti yang sudah-sudah, merekalah yang selalu menguatkanku. Ayah, Lion harus bagaimana? Ingin rasanya Lion pergi sejauh mungkin, menghilang sempurna dari kehidupannya. Lion ingin mengasingkan diri Ayah, ke satu tempat yang tak ada satu pun orang mengenal Lion. Lion ingin terlahir kembali menjadi pribadi yang baru, yang lebih kuat. Bantu Lion, Ayah, Ibu.
Kholi Abas adalah nama pena dari Kholiyah. Kelahiran 18 Oktober 1993 ini gemar menulis. Cerita-ceritanya terangkum dalam antologi Gilalova 2, Gilalova 3, dan Toga di Tepi Jendela. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran Radar Banten. Saat ini bergiat di lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa cabang Banten.