InspirasiOpini

Menuju Keseimbangan Hidup dengan Memaafkan

biem.co – Siapa sih di dunia ini yang luput dari kesalahan? Ya, sebagai manusia, sengaja ataupun tidak, kita kerap berbuat salah. Tanpa kita sadari, perkataan dan perbuatan kita mungkin melukai orang lain.

Kata orang, kepada boleh sama hitamnya, tetapi isinya pasti berbeda. Begitu juga dengan pemahaman orang, adakalanya orang lain menanggapi serius lelucon-kelucon yang kita lontarkan. Adakalanya kita yang terlalu baper, sehingga hati kita terlalu rapuh untuk disentuh.

Tapi, apa pun itu, percayalah, memaafkan adalah jalan terbaik yang harus kita ambil untuk menuju keseimbangan hidup yang kita idam-idamkan.

Hati yang terluka. Jiwa yang tersakiti… biarkan, lepaskan itu semua. Kini saatnya dirimu membuka pintu maaf, kalau kamu benar-benar mencintai dirimu sendiri.

Ya, maaf mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Memaafkan dengan tulus memerlukan kematangan pribadi. Bahkan, kemampuan memaafkan menjadi prasyarat kesehatan jiwa. 

Barangkali kisah Mita dan Adrian di bawah ini adalah cerminan hati kita saat ini. Mari kita belajar dari keduanya.

Adalah Mita (50), persahabatan yang telah terjalin lama dengan Susi terhenti di sebuah hari. Mita masih mengingatnya. Itu terjadi di tahun 2013. Saat Susi “berselingkuh” dengan kekasihnya.

“Hari itu Susi dengan terbata-bata bercerita pada saya bahwa dia dan pacar saya sebetulnya sudah lama saling naksir, tapi cuma dipendam karena mereka menghormati saya. Tapi lama-kelamaan mereka merasa tak enak menyimpan rahasia sehingga akhirnya memilih untuk berkata jujur. Wah sakitnya itu luar biasa. Kok teganya sahabat saya mengkhianati saya,” kata Mita.

Bagi Mita, Susi adalah “soul mate”, belahan jiwa, karena mereka berteman sejak Sekolah Dasar, dan bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Keduanya baru “berpisah” di saat kuliah, tapi tetap di kota yang sama sehingga setiap akhir pekan keduanya melewatkan waktu bersama. Mita lebih dulu memiliki pacar. Alhasil, mereka sering bepergian bertiga di akhir pekan.

“Semua persoalan yang saya hadapi selalu saya ceritakan kepada Susi, termasuk soal pacar. Jadi bisa dibayangkan sakit hatinya. Dia adalah orang yang saya percaya dalam hidup saya. Kalau pacar sih, bisa ganti,” kata Mita.

Sejak hari “bersejarah” itu, Mita tak pernah lagi berkomunikasi dengan Susi walaupun Susi telah meminta maaf berkali-kali dan mengaku menyesal. Rasa benci dan dendam itu disimpannya selama puluhan tahun.

“Sekitar lima tahun lalu, saya mendengar kalau Susi sakit berat. Saya sempat menimbang-nimbang apakah saya perlu menengok atau enggak. Masih ada rasa gengsi di hati saya. Juga ragu apa nanti dia masih ingat saya. Kalau ternyata kedatangan saya ditolak, kan saya akan lebih malu lagi,” kata Mita.

Namun, dugaan Mita salah. Begitu ia memutuskan menengok Susi, Susi menjerit terharu sambil merentangkan kedua tangannya. Mereka berpelukan dan bertangisan.

“Saya menyesal mengapa tidak memaafkan sejak dulu. Saya juga tidak mengerti apa yang membuat saya harus memelihara benci demikian lama,” kata Mita yang mengaku seperti dilepaskan dari beban berat ketika berbaikan kembali dengan Susi.

“Ternyata, diam-diam kami berdua sangat kehilangan satu sama lain,” kata Mita.

 

Refleksi diri

Menyimpan rasa marah selama bertahun-tahun juga dialami Adrian, yang begitu syok ketika mengetahui ayahnya diam-diam menikah lagi. Sang ayah baru memberi tahu keluarga ketika istri mudanya hamil.

“Runtuh semua rasa hormat saya pada ayah. Saya malu punya ayah seperti itu. Saya kasihan sama ibu yang selama ini begitu setia mengurus ayah dan membesarkan anak-anaknya,” kata Adrian yang memutus komunikasi dengan ayahnya.

Namun, kebencian itu mulai surut ketika Adrian memiliki anak. Ia mulai sering melakukan refleksi, berdialog dengan diri sendiri, seperti apa rasanya jika ia berada di posisi ayahnya dan dibenci oleh anaknya. “Sungguh saya tidak akan sanggup dibenci oleh anak sendiri,” kata Adrian.

Ia kemudian memberanikan diri untuk menghubungi ayahnya. Mula-mula hanya bertegur sapa dengan telepon, lalu dengan pesan-pesan singkat, dan akhirnya mereka bertemu.

“Awalnya sih kaku. Sayanya yang kaku. Tapi ayah kelihatan mencoba mengerti mengapa saya dulu membencinya. Sampai sekarang kami tetap berhubungan meskipun hubungan dengan anggota keluarga lainnya masih belum pulih,” kata Adrian yang mengaku lega karena sudah bisa memaafkan ayahnya.

Kesehatan jiwa

Psikolog GM Susetyo dari GMS HRD Consultant menengarai, pengaruh memaafkan terhadap kesehatan jiwa seseorang sangat besar. Bahkan, kemampuan memaafkan tersebut berdampak terhadap perkembangan kepribadian seseorang.

“Ketika dalam diri kita ada luka batin yang disimpan, dan karena kesombongan kita untuk tidak memaafkan, rasa marah itu akan tertanam dalam dan menggerogoti tubuh,” kata Susetyo yang biasa dipanggil Yoyok, seperti yang Redaksi kutip dari sebuah sumber.

Mengapa seseorang sulit memaafkan, menurut Yoyok, karena salah satu penghalang jiwa yang terbesar adalah mengampuni orang lain.

“Secara lisan mengaku sudah memaafkan itu mudah. Namun, untuk mengetahui apakah maaf itu datang dari hati yang terdalam, tandanya sangat mudah. Ketika mendengar nama orang yang bersalah disebut saja ada rasa “greng”, masih panas, itu tandanya kita belum memaafkan. Di bawah sadar kebencian itu masih ada,” lanjut Yoyok.

Selain kesombongan, faktor lain yang membuat seseorang sulit memaafkan adalah adanya persepsi yang keliru.

“Misalnya, ketika seseorang mengatakan ‘ngapain saya memaafkan, sementara dia enak-enak melenggang. Wong dia yang salah’….” 

Menurut Yoyok, sakit hati itu adalah beban kita karena pihak yang membuat sakit hati bisa saja tidak merasa berbuat salah, bisa saja lupa, atau tidak sengaja melakukannya sehingga tidak sadar kalau sudah membuat orang sakit hati.

“Jadi, perkara memaafkan itu adalah perkara kita, agar beban terangkat. Memaafkan akan sangat therapeutic (menyembuhkan),” lanjutnya.
Luka batin yang dikarenakan ulah orang-orang terdekat seperti pasangan, orangtua, sahabat, umumnya lebih sulit disembuhkan dan lebih sulit dimaafkan.

“Karena kita punya harapan besar pada mereka. ‘Mestinya, kan, dia ngerti saya’, itu biasanya yang kita ucapkan,” kata Yoyok.

Setelah berlalunya waktu, ada orang-orang yang mencoba meneliti kembali sumber kemarahannya. “Misalnya dia bertanya pada dirinya, sebenarnya perkataan apa sih yang membuat saya sakit hati saat itu? Atau, kenapa ya saya sensitif sekali waktu itu? Nah, ketika kita melihat momen itu dengan pandangan yang lebih obyektif, ada upaya untuk mencoba mengerti, mencoba berpikir jernih, sampai akhirnya kita bisa memaklumi. Setelah tahap ini, akan muncul toleransi dan berikutnya pintu maaf pun terbuka,” urai Yoyok.

Ketika kita sudah bisa memaafkan suatu hal yang berat, proses memaafkan berikutnya akan semakin mudah dan ringan. Cobalah dimulai dengan kembali menyapa, melempar senyum, atau mengingat-ingat sedikit kebaikan yang pernah diberikan seseorang yang pernah menyakiti kita. Benarkah, saat satu kesalahan (yang kita anggap besar) yang seseorang lakukan hingga melukai kita, membuat semua kebaikan yang pernah dia lakukan menjadi lenyap begitu saja? Tanpa bekas? Cobalah untuk menjadi lebih sabar, lebih memahami, dengan hati yang lebih longgar. Dengan demikian, semoga hidup kita menjadi lebih seimbang menuju titik yang bernama bahagia. Semoga. (red)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button