Cerpen Helena Vector
“Kenapa harus di Jakarta? Aku nggak yakin bisa jalani ini.”
“Kita pasti bisa. Percaya padaku, Nana. Kamu harus bisa mengisi celengan rindu agar kau bisa menabung rasa rindu di setiap harinya, aku pun begitu. Dan suatu saat kita bertemu, kita pecahkan bersama.”
Secangkir kopi luwak di hadapanku mulai mendingin suhunya. Aku meraih cermin dan melihat bayang wajahku. Mencoba mengingat-ingat bahwa itu adalah percakapan dengan Afaf setelah lulus dari bangku SMA 5 tahun lalu—tentang celengan rindu.
Akhir Januari 2016
Ujung Januari adalah hari yang amat kunanti kala itu. Kami akan bertemu di Alun-alun kota Semarang. Aku sangat merindukannya. Aku ingat betul saat hari di mana aku akan bertemu dengan Afaf. Hari di mana aku sudah berubah secara fisik, terutama rambutku yang dulunya panjang sekarang sudah pendek sebahu, dan aku yang sekarang menjadi sedikit feminim. Ah!
Pertemuanku dengannya sangat singkat. Kota Semarang siang itu diguyur hujan deras. Aku dengan Afaf berteduh sejenak di emperan toko. Bila mampu, aku ingin memperlambat laju waktu. Aku ingin memperpanjang kebersamaan ini sebelum kami sibuk dengan urusan masing-masing.
Minggu adalah hari terakhir Afaf di Semarang. Waktu untuk menyesap rasa rindu tinggal 12 jam lagi. Seketika aku membenci waktu, namun bagaimanapun inilah keputusan ketika 5 tahun lalu yang harus aku dan Afaf jalani. Jakarta-Semarang. Long distance relationship.
“Kok cemberut?” tanyanya memecah sunyi, sambil mengelus daguku.
Aku menggeleng.
“Kamu jangan mengutuk waktu yang kejam seolah-olah hari ini adalah pertemuan singkat kita. Jangan juga mengutuk jarak yang memisahkan seolah-olah kamu akan merasa sakit atau sekarat karena batinmu sesak akan kerinduan yang akhirnya salah satu dari kita akan berpaling,” ujarnya. Begitu lancar.
Aku hanya tersenyum mendengar Afaf berkata begitu.
“Kamu mencium aroma itu?” tanyanya lembut.
Aku tersenyum, “Ya, aroma yang damai. Aku suka, tapi aku tetap tak suka jarak.”
“Sabar, Nana. Inilah petrichor.
“Petrichor?”
“Ya, beberapa tumbuhan mengeluarkan minyak selama periode kering saat kemarau panjang melanda. Lantas ketika hujan, minyak tersebut terlepas menciptakan petrichor yang menyegarkan ketika hujan menyentuh tanah. Begitupun rindu yang kita tabung dalam waktu yang lama, Nana. Suatu saat nanti akan menjadi petrichor,” tutur Afaf panjang lebar.
“Tak hanya petrichor, kamu juga akan merindukan saat-saat seperti ini ketika hujan,” lanjutnya.
Aku masih membenci waktu.
Afaf melanjutkan kata-katanya. “Aku bahagia ketika hujan. Aku selalu bahagia karena hujan menghipnotis manusia. Meresonansikan ingatan masa lalu. Suara tetesan hujan yang jatuh, terdapat lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang sedang merindu. Entah aku akan menangis, entah aku hanya akan tersenyum mengingatmu di sana,” kata-kata Afaf mengambang di udara. Aku menghirupnya pelan-pelan.
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 10.00 malam, saatnya aku dan Afaf berpisah. Diam-diam. Aku menitikkan air mata. Afaf memelukku erat, mencium keningku, dan membisiki pesan di telingaku.
Afaf memintaku untuk setia menabung rindu. “Jangan lagi marah atau lelah akan ajarak yang memisahkan,” katanya.
Afaf berlalu meninggalkanku di depan rumah. Aku terus menatap laju motornya hingga tak lagi nampak di ujung jalan.
Aku benar-benar kalut. Separuh dirimu seperti diambil paksa. Aku tidak bisa menerima bahwa pertemuan semalam adalah pertemuan terakhirku dengan Afaf. Afaf pergi untuk selamanya setelah kecelakaan yang dialaminya. Sementara bisik katanya masih begitu hangat di telingaku. Getarannya masih saja ada. “Setialah menabung rindu….”
Semarang, 21 Mei 2016
Afaf, aku menikmati pesan-pesanmu. Aku belajar dari petrichor, Faf, bahwa sesingkat apa pun waktu yang kita lalui haruslah dinikmati.
Faf, petrichor mengajariku apa artinya waktu adalah uang. Petrichor juga melengkapi kisahku denganmu. Untukmu aku ucapkan terima kasih atas waktu yang pernah kita lalui bersama di saat hujan, untuk waktu saat sama-sama menghirup aroma petrichor.
Atas kehendak-Nya engkau pergi meninggalkanku selamanya.
Afaf, aku masih setia menabung rindu yang entah kapan bisa kupecahkan.
“Cepatlah pulang, Faf. Jangan pergi lagi.”
Aku lelah menabung rindu ini sendiri. Rindu yang tak kunjung menjelma petrichor.
Helena Vector adalah nama pena dari Fina Septiani, mahasiswi Universitas Esa Unggul, Jakarta.