Cerita Desny Putri Sunjaya
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. – Sapardi Djoko Damono
Olahraga pagi, sarapan, dan mandi telah kuselesaikan. Aku dan kedua teman kelompokku Nata dan Ary mengunjungi Bu Nur, salah satu mantan penderita kusta. Kusta penyakit menular, memang. Lantas mengapa kami berani mengunjungi beliau? Sederhana, Bu Nur sudah sembuh dari penyakit tersebut. Setibanya di rumah, Bu Nur menyambut kami dengan hangat. Senyum bahagianya terpancar selama kami berada di dekatnya. Bu Nur menceritakan pengalaman pahitnya ketika terkena penyakit kusta. Bagaimana beliau dijauhi orang-orang di sekitarnya, diperlakukan orang lain seakan dirinya benda yang amat menjijikan. Putus asa pernah beliau alami, hingga akhirnya harapan tumbuh kembali setelah Bu Nur menjalani pengobatan gratis di Rumah Sakit khusus Kusta. Meskipun sudah dinyatakn sembuh dan tak dapat menularkan penyakitnya, Bu Nur enggan kembali ke rumah dan tinggal bersama kedua orang tuanya. Beliau memilih tetap tinggal di bangsal Rumah Sakit bersama orang-orang yang pernah mengalami kusta lainnya.
Kebahagiaan menjalar kepadaku, Ary dan Nata ketika Bu Nur menceritakan kisah cintanya dengan sang suami. Suami Bu Nur mengalami hal yang sama. Bahkan kecacatan pada tubuh suaminya bisa dikatakan lebih parah. Rasa suka itu tumbuh ketika mereka tinggal di Rumah Sakit Kusta Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Dokter yang menangani mereka sangat mendukung dan memperbolehkan mereka “pacaran”. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan tinggal di desa rehabilitasi kusta dengan diberi tanah dan lahan untuk menunjang kehidupannya. Bagi sebagian orang yang tak mengenal kusta beranggapan bahwa kusta dapat diturunkan kepada keturunannya. Hal tersebut tidak benar. Bu Nur dan suaminya dikaruniai dua anak yang cantik dan tampan, mereka terlahir normal selayaknya anak-anak yang lain. Bahkan Bu Nur kini sudah memiliki seorang cucu yang juga lucu, bersih, dan tentunya sehat.
Kami memutuskan untuk pulang ke basecamp karena waktu makan siang sudah tiba. Di bawah terik matahari dengan singkong dalam jinjingan, aku bersyukur bertemu dan mengenal Bu Nur. Pengalaman hidupnya dapat kujadikan pelajaran berarti yang tak mungkin kudapatkan di bangku kuliah.
Esok harinya adalah jadwal mengunjungi mbah-mbah pasien Rumah Sakit. Saat berjalan di lorong, terlihat seorang mbah tengah berusaha mengangkat pakaian dari jemurannya. Aku menghampirinya. Terlihat senyum mengembang dari wajah bercahaya mbah. Ketika aku membantunya mengangkat pakaian, di situlah aku sadar bahwa mbah sudah kehilangan penglihatannya.
“Mbah, mencuci baju sendiri?” tanyaku pelan padanya.
Beliau hanya tersenyum tak menjawab. Aku kembali bertanya dengan nada yang lebih tinggi. Kemudian iya membalas dengan anggukan. Ya Tuhaaan, selain kehilangan kemampuan melihat, mbah juga mengalami gangguan pendengaran. Kuantar mbah ke kamarnya yang sangat bersih dan rapi. Beliau mengaku bahwa beliau sendirilah yang membersihkan kamar tidurnya.
Perempuan tua yang akrab dipanggil Mbah Rasipah itu mengajakku duduk di kursi depan kamarnya. Tangan beliau terus menggenggam tanganku. Kurasakan pijitan tangan hangatnya menjalar dari ujung jari hingga lenganku. Tak pernah ia melepaskan genggamannya dari tanganku.
“Mbah, saya Desny, dari Banten,” kuperkenalkan diriku pada Mbah. Mbah kembali mengangguk dan tersenyum. Kemudian ia menceritakan cucunya yang seminggu sekali mengunjunginya. Namanya Supri, dan aku cukup akrab dengan Supri. Pemuda yang baru saja beranjak dewasa, dan bekerja sebagai penjaga toilet resort Guamanik. Semakin banyak aku mengenal mbah, semakin aku menyayanginya. Sudah lama aku tak merasakan hangat peluk seorang nenek. Setelah bertemu Mbah Rasipah aku kembali merasakan hadirnya seorang nenek. Ketika aku menciumi wajah keriput namun halus, ia balas menciumiku. Aku menangis dalam peluknya. Tuhan, aku berharap Mbah Rasipah merasakan kebahagiaan yang aku rasakan. Aku ingin berada terus di sini merawatnya, mendengar ceritanya, menemani setiap hari tuanya.
Aku tak mengerti kenapa Mbah yang dipilih Tuhan untuk terkena kusta. Mbah harus menjalani perawatan, tinggal bersama mbah-mbah lainnya di rumah sakit dan menghabiskan waktunya tanpa melihat dunia luar. Memang mbah-mbah di bangsal RS memilih menghabiskan waktu tua mereka di rumah sakit. Ingin rasanya aku memarahi sanak saudara mereka yang tak bisa menerima mereka dengan segala kekurangannya. Tidak ada yang ingin sakit kusta. Tak ada yang ingin diperlakukan seperti hewan. Tak ada yang ingin berada jauh dari keluarga. Begitupun mbah-mbah dan warga desa rehabilitasi di sini. Meski kehidupan dunia yang mereka rasakan tak seindah apa yang orang lain rasakan, aku yakin Tuhan telah menyiapkan kehidupan terindah-Nya untuk Mbah Rasipah, Bu Nur, dan orang-orang yang pernah mengalami kusta lainnya.
Malam perpisahan tiba. Panggung sederhana bernuansa kemerdekaan, berdiri di lapangan parkir rumah sakit. Warga desa dan beberapa pasien ikut berkumpul untuk menikmati malam terakhir kami. Di bangku barisan paling belakang, duduk seorang anak dan seorang laki-laki di sebalah kanannya, yang kuyakini adalah ayahnya dan seorang wanita di sebelah kananya, pasti ibunya. Anak itu usianya sekitar 12 tahun. Badannya agak gemuk. Terlihat bercak-bercak merah menutupi wajah cantiknya. Ia amat menikmati lagu-lagu yang dibawakan penyanyi campur sari di atas panggung. Kemudian Pak Suroso, warga desa yang juga pernah mengalami kusta berbisik padaku.
“Anak itu terkena kusta, padahal usianya masih belia. Ia sudah tak punya masa depan. Kasihan sekali. Bapak bisa merasakannya,” suara Pak Suroso bergetar. Benarkah demikian? Aku yakin, setelah sembuh anak itu masih bisa merasakan kehidupan layaknya anak-anak lain seusianya. Ia masih memiliki kedua orangtua yang setia menemaninya. Aku merasakan kasih sayang orangtua mengalir deras dari pasangan suami-istri itu. Mereka pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Berharap keajaiban datang, dan keberuntungan mengampiri keluarga bahagia itu.
Aku genggang tangan kasar Pak Suoroso. Kusenderkan kepalaku di pundaknya. Pak Suroso manusia hebat, manusia super, manusia kuat, dan berjiwa malaikat adalah seorang yang pernah mengalami kusta yang selalu membuka rumahnya lebar-lebar untuk LCC (Leprosy Care Community). Beliau dan istinyalah yang selalu mengerti dan menjadi orangtua bagi LCC. Malam ini semoga bukan malam terakhir aku bertemu dengannya. Semoga kami masih dapat di pertemukan. Lagu Layang Kangen pun menutup kehangatan malam ini.
“Percoyo aku, kuatno atimu. Donorojo entenono tekaku.”
Depok, 30 Agustus 2016
Kisah ini diambil dari kegiatan Jepara International Work Camp yang dilaksanakan pada tanggal 4-17 Agustus 2016, di desa Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Terima kasih kepada Leprosy Care Community yang telah menyelenggarakan kegiatan ini.
Baca juga tulisan-tulisan lainnya dari Desny Putri Sunjaya:
1. Depok, Bandung, dan Pulosari
2. Kami Perempuan, Bukan Barang
Desny Putri Sunjaya, mahasiswi Banten yang tengah kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.