Rumah
Aku merindukanmu
Pulanglah, katamu waktu itu
Tapi yang aku tahu, sepanjang aku berjalan
Aku tak kunjung menumakan alamatmu
Hanya ada alamat kosong yang tersapu oleh angin
Hanya ada lelah sepanjang aku melangkah
Lalu, seberapa jauh lagi aku harus berjalan?
Sampai kemarau berganti hujankah?
Kemudian aku bertanya-tanya
Rumah manakah yang engkau suguhkan untukku?
Rumah sepi yang akan membuatku frustrasi?
Ataukah rumah patah hati yang dapat membuatku ingin mati?
Cilegon, 23 September 2016
Masih tentang Jarak
Tepat di bait terakhir itu
Aku sematkan kata rindu yang tak berujung
Yang semakin lama kubaca
Semakin menyesakkan dada
Dan kemudian, rindu yang tak berujung itu
Mencair oleh ketidak sabaran hati yang sepi
Habis tertelan waktu yang tak bisa menunggu
Lalu rindu dan cinta pun menghilang
Dan digantikan oleh kebencian
Saat itu, jarak tertawa dengan terbahak
Cilegon, 11 Agustus 1016
Rani Sumanti, tinggal di Ciwandan, Cilegon. Karyawan swasta, Twitter-nya @Ranie_Sumanti dan Facebook Rani Sumanti.
Puisi-puisi Sutihat Rahayu Suadh
Lengang
Angin berembus
Suara bising jalanan kunikmati dalam sepi
Orang-orang tengah sibuk di tepian
Ada yang berjalan sendiri
Ada yang berbisik-bisik
Ada yang sedang merapikan kenangan
Aku termenung…
Aku mengandaikan yang hilang itu ada
Kunikmati secangkir teh pahit
Kudengarkan “rindu” banda neira
Entah…
Segalanya tiba-tiba sunyi
Aku tengah menunggu kedatangan
Sesekali kulihat jalanan lengang
Sekumpulan anak muda sedang tertawa-tawa, entah menertawakan apa
Tak ada yang berubah
Hujan tiba-tiba datang, dengan separuh luka yang belum pergi
Jakarta, 24 Juni 2016
Perjalanan
Di sudut kota ini
Aku kembali melakukan perjalanan
Kali ini lebih sepi
Di sepanjang jalan ini aku melewati begitu banyak dusta
Pertokoan, masjid-masjid, gereja, bus-bus, hingga kumpulan manusia yang tengah berbisik-bisik
Aku berhenti di pertokoan milik bapak tua, di mana ribuan pemikiran berhenti pada sampul warna-warni
Aku tersenyum kemudian tertawa-tawa bersama bapak tua yang tengah bercerita tentang sejarah negeri ini
Katanya, bumi yang kita pijaki ini bersal dari politik kotor para penguasa, militerisasi, serta darah rakyat
Aku meminum teh yang disuguhkan
Pahit dan penuh elegi
Jakarta, 23 Juli 2016
Getir
Selalu engkau pada akhirnya
membawaku dalam lorong tak berjarak
empasan angin tak meruntuhkan dinding keyakinan
hanya terus berjalan
bertandakan isyarat-isyarat
berserak dalam gelap tak berbatas
tak kutemui lagi jejaknya
menghilang ditelan keheningan
kubiarkan napasku tersedu dalam luka
akhirnya…
kau putuskan pergi juga
sementara aku masih mencari
dalam balutan hutan ranjau
terus berteriak
namun kau bergegas melangkah pasti
meninggalkanku dalam riak kepedihan
kini kupeluk angin dan mimpi-mimpi kosong
Segalanya telah kosong terkunyah waktu
aku tau, aku telah gagal
tersungkur melepasmu
membisu dan beku
Sutihat Rahayu Suadh, freedom write