biem.co — Nama adalah pemberian orangtua yang bermaksud menyelipkan doa kepada anaknya. Nama merupakan salah satu identitas diri seseorang untuk dapat tetap dikenali oleh banyak orang.
Percaya atau tidak, banyak yang memberi nama-nama dengan arti yang bagus dibandingkan memberi nama yang berarti negatif. Artinya, begitu penting sebuah nama untuk seseorang agar tetap bisa bersosialisasi dengan masyarakat. Namun, bagaimana jika kita mendengar istilah yang mengatakan “Apalah arti sebuah nama?” Ini tentunya berasumsi bahwa nama tidaklah penting untuk berkehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari pepeatah tersebut, disimpulkan bahwa nama telah dianggap hanya sekadar kata namun tak memiliki banyak arti atau pun makna.
Legalitas Negara
Jika kita memahami lebih dalam mengenai arti dan fungsi nama pada suatu negara, tentunya kita sudah mematahkan kata pepatah tersebut. Dalam legalitas negara, nama secara langsung dibutuhkan dalam kolom akta kelahiran, ijazah, Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Izin Mengemudi, dan lain sebagainya.
Bayangkan jika kolom nama tidak disertai dalam kartu tersebut, akan sulit dikenali dalam keidupan sehari-hari. Mungkinkah hanya bergantung pada sebuah nomor induk kependudukan? Mampukah pemerintah mendata penduduk tanpa berisikan kolom nama? Nyatanya tidak, karena akan menyebabkan kekeliruan dan menyulitkan.
Pada kasus saya misalnya, kata ‘Mumahamad’ selalu berubah-ubah bentuk katanya pada setiap kelahiran kolom baru pada sebuah kertas legalitas dengan berbagai kata. Ada yang ditulis Muhamad, disingkat manjadi M, dan ada pula ditulis menjadi Mohamad. Pada tahap perubahan, kata Muhamad menjadi kata M di sebuah akta kelahiran, menjadi kata Mohamad di sebuah ijazah SD, menjadi kata M di sebuah kartu pelajar, menjadi kata Muhamad di sebuah Kartu Tanda Penduduk, dan kembali lagi menjadi Mohamad di Kartu Tanda Mahasiswa, dan begitu seterusnya.
Sejak perubahan nama tersebut, berdasarkan kartu identitas yang saya miliki pastinya tidak akan di akui dalam satu orang yang sama. Entah salah siapa, pada dasarnya, saya menjadi korban identitas akibat kelalaian semua pihak. Sehingga dalam keperluan tertentu, saya tidak bisa mencocokkan atau menyatukan data diri dari beberapa kartu identitas yang saya miliki.
Akhirnya, demi berbangsa dan bernegara, saya merelakan mengubah nama asli saya dari kata Muhamad menjadi Mohamad di sebuah ijazah, karena menurut saya ijazah adalah kelegalitasan yang paling penting untuk masa depan pendidikan.
Menelisik pada sebuah kesalahan, tentunya tertuju langsung pada sistem pemerintahan. Dengan kata lain, buruknya sistem pengelolaan mengakibatkan korban berjatuhan setiap tahunnya. Hanya kesalahan nama dapat mencederai masa depan seseorang.
Oleh karenanya, sumber daya manusia yang pintar belum cukup untuk memaksimalkan sistem yang ada di pemerintahan. Ada baiknya, orang-orang yang baik, jujur, rajin, ulet, dan teliti yang mampu memperbaiki kasus tersebut. Karena, korban salah nama bukan hanya saya sendiri, namun kerabat, keluarga, teman dan orang-orang sekitar.
Mohamad Syahril Romdhon,
Mahasiswa PBI, FKIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Kepala Departemen Sosial Budaya BEM FKIP Untirta.