biem.co — Sebuah kerikil yang agak besar di antara kerikil lainnya terduduk kokoh di atas permukaan tanah yang tak rata. Barangkali ia bagian dari pecahan bebatuan yang tengah dipakai untuk membuat sebuah bangunan, yang tak jauh dari tempatnya berdiam. Terdengar bunyi hantaman palu, serokan sekop, suara templok semen pada dinding setengah jadi, juga ketukan sendok yang beradu pada beling gelas bening berisi kopi pahit. Bagian akhir itu khusus saya sendiri yang melakukan. Setelah itu semua, terdengar denging tangis. Melanting dan pecah! Suara itu bersumber tepat di hadapan saya. Ia keponakan saya yang jatuh tersungkur. Sesaat sebelumnya kakinya terantuk kerikil yang sedang saya perhatikan tadi. Dua kawannya tertawa terbahak-bahak, kemudian sambil menyimpan tangisnya, keponakan saya itu berlari ke dalam rumah, mengadu pada ibunya. Dua anak lainnya bersembunyi; di satu kesempatan, mereka saling tuduh siapa yang paling bersalah.
Kanak-kanak selalu mengundang tawa. Merujuk pada kasus di atas, usai pengaduan itu, selang beberapa menit berikutnya, ia tak lagi misuh. Kembali menjemput dua kawannya, mengajaknya bermain dan seolah tidak terjadi apa-apa. Tiada dendam, tiada canggung—tak enak perasaan—, tiada penolakan. Mereka kembali tertawa tanpa sebab, saling kejar, saling dorong, berebut mainan; satu lainnya tak terima, lalu menangis, lalu wadul, lalu terulang lagi siklus di awal tadi. Begitu terus sampai mereka tak sadar, waktu terus berkejaran dan tubuh kecilnya mengalami perkembangan; selain fisik, tentu juga cara berpikir, pola tingkah-laku, cara pandang, dan cara menanggapi suatu permasalahan. Hingga mereka berujar, “Kok, bisa, ya, kita sebego itu, dulu?”
Ketika mereka sudah beranjak remaja, mereka tetap bermain bersama sambil mengenang masa kanak-kanak yang penuh kebebasan dalam berekspresi; sampai di satu kesempatan mereka menemukan kata yang cocok “kanak-kanak adalah simbol kemerdekaan!”
Setelah beranjak dewasa, kanak-kanak itu sudah bermain perasaan. Segala sesuatu perlu pertimbangan. Persis pemberitaan baru-baru ini soal wacana full day school yang didengungkan Prof. Dr. Muhajir Effendy, Drs., M.AP., Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia hasil resuffle pada Kabinet Kerja jilid II yang sejak 27 Juli 2016 kemarin diputuskan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menggeser posisi Anies Baswedan dari kursi panas kementeriannya.
Kanak-kanak yang dahulu tak ambil pusing soal segala apa, kini mereka menjadi warga Indonesia yang reaktif. Persis hidung anak sekolah yang mencium aroma tak sedap di dalam kelas kemudian mata mereka saling menuduh satu sama lain kepada siswa lainnya dan mengira itu bau kentut. Padahal, bisa jadi itu adalah bau tahi kucing yang menempel di sepatu salah satu dari mereka. Dalam kelas itu, mula-mula ada yang berani melempar pertanyaan, “Siapa yang kentut?” dan respons tanpa bukti pun banjir meluap ke lantai kelas hingga mereka hampir tenggelam oleh segala macam tuduhan-tuduhan.
Pada kasus ini, yang berperan sebagai pelempar pertanyaan, “Siapa yang kentut?” adalah media. Ia menjadi sumbu kecil, penyulut api-api besar yang siap membakar apa saja di sekitarnya. Kanak-kanak tadi berlomba beradu argumen, lempar tuduhan, bahkan tak segan menebar makian dan kebencian kepada Muhajir, Kemendikbud yang baru. Hanya sedikit yang menggarisbawahi kata ‘wacana’. Media menjelma sebilah pisau yang tajam; di satu sisi baik untuk memotong-motong buah-buahan dan daging sapi, di sisi lainnya ia menjadi alat untuk membunuh. Di hari ini, membedakan mana media yang kredibel serta baik untuk dipercaya dengan media yang asal sebar berita tanpa fakta menjadi samar untuk diklasifikasikan. Kanak-kanak itu kudu menahan egosentrisnya dan bersabar untuk mendapati perkembangan beritanya. Sekalipun kita sama tahu dan tak berupaya saling menyalahkan, sebagai orang tua memang perlu adanya sebuah pembelaan atas kebebasan anak—yang telah dibahas di atas. Kanak-kanak, pada usianya yang ingin serbatahu segala hal, perlu banyak mencoba segalanya secara sendirian. Tak butuh teori-teori dalam mata pelajaran di Indonesia yang kita kenal sejak dulu. Sebagai contoh lagi, keponakan laki-laki saya senang sekali menaiki dahan pohon mangga. Tak terlalu tinggi memang, tetapi sebagai orang dewasa dan lebih berpengalaman, untuk seukuran usia dan tubuhnya, menaiki pohon itu cukup berbahaya. Tetapi kita sama tahu, anak-anak sulit sekali di-penging—dicegah. Semakin dilarang, mereka semakin bersikeras untuk mencobanya. Cara terbaiknya adalah membiarkan ia untuk mencobanya sembari mengawasinya dari jarak dekat. Dan…, bruukkk!!! Kakinya tak kuat menopang tubuhnya sendiri lalu tergelincir. Ia jatuh dan menangis. Setelah itu semua terjadi, barulah ia paham kalau apa yang ia lakukan itu salah dan berbahaya. Lalu akhirnya mau mendengarkan nasihat kita.
Di era digital dan internet dewasa ini, siapa pun bisa menjadi seorang wartawan berita. Tak perlu lagi kartu pers. Bahkan, siapa pun bisa mendirikan media, menjadi pemred sendiri, pelaksana sendiri, wartawan, dan reporter sendiri, kemudian share ke publik. Sebut saja media sosial yang berperan besar dan aktif sebagai penyulut ‘kehebohan’. Dan setelah keriuhan yang memenuhi timeline media sosial saya, beberapa hari berikutnya, sebuah media nasional merilis berita terbaru kalau wacana full day school yang akan dicanangkan oleh Muhajir Effendy telah dibatalkan. Sebagian merespons positif, sebagian lainnya masih sama dengkinya, tak ada perubahan. Bahkan bisa jadi mereka yang misuh adalah barisan para sakit hati saat pilpres dulu sebab jagoannya kalah dan hingga kini tak mendapatkan jabatan di jajaran kabinet RI.
Ini baru satu contoh kecil ketidakdewasaan kita dalam menanggapi sebuah masalah. Pertimbangan yang dipakai tak sepenuhnya tepat guna. Dan tentu saja, meski terkesan membela Muhajir, sebenarnyalah saya pun kurang sependapat. Cara ia melemparkan wacana tanpa kajian dan penggodokan lebih dahulu kepada media adalah salah besar. Karena bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Kecuali, semuanya ini adalah bagian dari trik marketing agar masyarakat Indonesia menaruh minat dan perhatian lebih besar kepada beliau, kemendikbud yang baru. Sebab menggantikan posisi Anies Baswedan yang sudah berhasil secara garis besar merengkuh hati masyarakat, bisa dibilang tidaklah mudah.
Dari sekian ocehan saya ini, saya hanya hendak mengatakan bahwa lebih baik kita menjadi kanak-kanak sungguhan saja. Sebab cara berpikirnya yang unik membuat kita bebas berekspresi. Tak perlu pusing-pusing lagi dengan pemberitaan yang aneh-aneh. Cukuplah menjadi kanak-kanak yang siap menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini dengan berkeliling ramai-ramai sembari membawa bendera merah putih plastik di tangan. Mengikuti perlombaan-perlombaan balap kerupuk, panjat kelereng, makan karung, tarik pinang, balap tambang, dan segala macamnya. Sebagai kanak-kanak, tentu saja penyebutan serangkaian perlombaan itu bebas saya tuliskan, sekalipun kebolak-balik. Senang-senang saja kita. Sebab bila bicara kemerdekaan yang sesungguhnya, yang penuh cucuran darah, tak akan ada kita temukan lomba-lomba itu. Meskipun kita sudah merdeka, sebenarnyalah kita belum juga sampai pada ujungnya. Republik Indonesia di usia ke-71 ini tetap melangkah pada jalan perjuangan, seperti yang disampaikan Mochtar Lubis dalam novelnya, jalan tak ada ujung. [*]
Cilegon, 10 Agustus 2016
Baca juga tulisan-tulisan lain Ade Ubaidil di sini
Ade Ubaidil, penikmat film dan mahasiswa Universitas Serang Raya (Unsera). Bercita-cita menjadi sutradara, atau paling tidak karya novelnya difilmkan.