Cerita Pendek Langlang R
Kata Joko, aku cantik dan modis. Tapi, kata Joko, kok mau kerja di toko kecil ini? Aku tak mempedulikan Joko. Bagiku ini adalah takdir. Tugasku ringan. Tersenyum dan berpose memberi salam adalah kegiatan baruku, tak lama setelah aku diboyong dari rumahku di desa.
Sejak pindah ke kota, aku dipanggil Susi. Aku diberi banyak pakaian modis, aksesoris rambut milikku pun dari hari ke hari kian beragam. Sayangnya, meski aku sudah menjadi gadis metropolitan, berambut nan beriak menggelombang sebahu, tetap saja aku selalu digoda lelaki kampung bernama Joko itu. Setiap pagi, jika para karyawan lain belum datang, bujang lapuk tukang panggul pasar itu selalu saja mengajakku tersenyum, bahkan ia kerap mencubit kulitku yang licin dan seputih susu.
“Joko!” teriak bosku.
“Iya, Koh!”
Joko segera ke belakang karena ketakutan. Aku lega, meski sebelum ia pergi, Joko menyempatkan diri mengedipkan mata nakalnya ke arahku. Aku mencoba abai dan terus saja tersenyum pada beberapa orang yang satu per satu mulai lalu lalang, melintasi toko ragam pakaian pria dan wanita ini. Hari semakin terang, pasar semi modern ini mulai ramai, karyawan berdatangan, senyum pun bertebaran di pagi yang cerah ini.
Sudah sejak lama aku bekerja sambil berdiri di sini, di tepi lorong kios-kios pakaian pasar ini. Begitulah nasib penyambut para pembeli. Sembari berdiri kadang aku mendengar ragam kisah manusia. Salah satunya kisah cinta Salam dan Salamah dari mulut Joko yang bau asap. Inilah kisah mereka yang membuatku terseret-seret.
***
Hari itu, aku melihat gadis tinggi semampai sepertiku singgah di toko. Rambutnya hitam panjang sebahu, halus dan berlekuk-lekuk di ujungnya. Kulitnya kuning buah langsat, mata berbinar-binar memancarkan aura kecerdasan, hidungnya mencuatkan keanggunan, bibirnya menyuguhkan kesantunan bertatakrama.
Sambil tak henti merekahkan senyumnya, Salamah menggandeng Salam, kekasihnya. Ia berbelanja baju koko, kopyah, dan sarung. Sebulan lagi mereka segera menikah. Beberapa pelanggan berbisik, Salamah telah kehilangan akal karena menikahi Salam, lelaki paling murah senyum sekelurahan tempatnya tinggal. Tetapi Salamah selalu bilang, Salam adalah lelaki yang dulu pernah ia tinggalkan demi mengejar karier dokter spesialis, hingga otak Salam pontang-panting. Salam selalu tersenyum sambil berbisik, “Aa bogoh ka amahe he.”
Tapi kabar Salamah hendak disunting artis, membuat Salam tak kuasa mengendalikan tali kekang jiwanya saat tetangga semakin yakin Salam telah siap edan. Terlebih saat rumahnya didemo warga karena Salam telah gagal menjalankan fungsinya sebagai koordinator tim tanggap bencana. Saat banjir bandang menyapu warga, Salam memilih sibuk menenggelamkan diri di lautan kenangan manisnya bersama Salamah. Mulutnya semakin mahir cengar-cengir.
Hingga petaka itu terjadi. Saat Salamah sibuk memilih baju, Salam memilih berdiri di pojokan depan toko, tidak jauh dengan tempatku berdiri. Rambutnya ikal semrawut, berwajah lonjong pucat laksana perempuan selepas melahirkan, bermata teduh dengan kelopak kantung menghitam, hidung bulat besar, dan mulut lebar, gigi rapih terlihat menguning. Semua itu diperparah dengan kumis dan jenggotnya yang berantakan seolah saling sodok. Saat aku tersenyum ke arahnya, Salam mendadak diam. Tertunduk, berjalan mundur. Pergi terburu-buru. Sejak saat itu, Salamah mencarinya, memangggil-manggil kekasihnya yang hilang.
***
Sejak saat itu aku merasa bersalah karena telah tersenyum pada Salam. Siang malam aku dikepung gelisah, memejamkan mata barang sejenak pun sangatlah susah. Aku tersiksa, karena senyumku mengakibatkan Salamah kehilangan tambatan hati. Setiap kali Salamah datang dan bertanya kepada bosku, perihal sabab-musabab perginya Salam dari toko kami, aku tak berani bicara. Setiap aku hendak bercerita, lidahku selalu membatu, air mataku hendak meleleh namun selalu terhalang sesuatu.
Salamah terus bertanya setiap hari. “Ke mana Salam, Koh?”
Kening bosku mendadak keriput, capek. “Joko!”
Jika bos sudah berteriak begitu, Salamah pergi. Kata orang-orang, Salamah terus mencari kekasihnya dari satu lorong pasar ke lorong lainnya. Bahkan sudah seminggu ini, pengeras suara dari pos informasi pasar selalu saja menyebut nama Salam dan Salam melulu, seolah pasar ini adalah gudang garment tempat sosok Salam dicetak, diperbanyak.
Obrolan tentang Salamah yang mencari Salam pun terus saja sambung-menyambung bagaikan jalinan rantai besi yang tak ditahui mana pangkal mana pucuknya, di setiap sudut pasar, di emperan toko, hingga di gang-gang sempit perkampungan padat di kota ini, semua membicarakan Salamah. Namun Salamah terus fokus mencari Salam meski kehadirannya perlahan mulai diabaikan warga dunia, bahkan Salamah yang cantik jelita mulai diolok.
Salamah masuk blok pasar tempat sayuran, “Bang, ada Salam?”
“Ada,” orang yang ditanya terseyum,“sebentar ya, Mbak. Salamnya masih saya ikat.”
Konon Salamah saat itu tak menjawab, namun tak lama pasar geger gempar. Aku mendengar tukang sayur itu dilarikan ke rumah sakit. Kepalanya berlumur darah setelah Salamah melempar keras tiga biji kuningan timbangan duduk seberat satu kilo, setengah kilo, dan seperempat kilo ke wajah pedagang daun salam itu sendiri. Sungguh aku semakin takut untuk berkata jujur pada Salamah, bahwa Salam lenyap karena senyumku.
***
Sejak kejadian itu, sudah tiga tahun ini aku tak lagi melihat Salamah di pasar, apalagi melewati toko tempatku berada. Seperti jemari memeram cucuk duri yang tak segera tersadari, Salamah katanya sangat sensitif dan tempramen. Sikap ramahnya tumpas. Semua senyum dan perhatian orang-orang di sekelilingnya baginya begitu sangat menyakitkan. Ia langsung marah-marah, bahkan tangannya selalu saja berusaha mencakar-cakar wajah siapa pun. Luka Salamah telah membangkak dan bernanah. Sentuhan apa pun selalu menghadirkan nyeri baginya.
Hari berlanjut, dan aku terus wajib tersenyum. Hingga suatu hari Salamah kembali datang ke toko. Ia sudah kembali bersama Salam. Ternyata selama tiga tahun ini, ada banyak hal yang tak kuketahui tentang Salam dan Salamah. Kulihat Salam nampak rapih, rambutnya pendek disisir kompak ke kanan, matanya tak lagi kosong, kumisnya klimis jali, bahkan giginya kini putih menyala bagai dihuni dua belas tukang konveksi spesialis kain kafan.
Namun aku kaget melihat Salamah yang berdiri di pojokan. Rambutnya yang dulu hitam berpucuk nan menggelombang kini seperti bunga petai jatuh tertungging ke tanah. Mahkotanya tanggal berantakan dan berlubang seperti baru semalam dikunyah-kunyah tikus. Matanya tak berisi, sela-sela giginya penuh sampah yang tersangkut.
Konon Salam sudah sembuh. Bahkan organisasinya baru saja mendapat dana dari Pemerintah. Dana itu sakti. Sakit gila Salam seketika sembuh. Sekarang Salam sedang membeli jilbab, kebaya, dan kain batik untuk Salamah kekasihnya itu. Mereka akan menikah bulan depan. Namun mendadak, Salamah memandangku tajam meski aku mencoba tak menatapnya. Aku terpaksa tersenyum. Ia menggeleng-geleng, mendekatiku, mengangkatku dari kaki, lalu membenturkan kepalaku ke dinding tembok. Berkali-kali sambil teriak.
“Jangan tersenyum!”
Salamah muntab. “Kamu menghina!?”
Aku benar-benar tak berdaya. Kulihat ia hendak menginjak kepalaku, namun Salam segera memeluk Salamah. Salamah mulai tenang. Salam segera menyelesaikan pembayaran sekaligus meminta maaf atas insiden itu. Namun saat Salam berbalik badan, Salamah raib.
Sambil berlari, Salam mencari dan memanggil-manggil nama kekasihnya itu. Aku masih bisa mendengar suara teriakan Salam, saat bos mendekatiku, berjongkok memeriksa kondisiku. Aku masih sempat melihat ia menggeleng-geleng kepala, lalu bangun sambil teriak.
“Joko!”
Joko datang tergopoh. “Iya, Koh.”
Bos menunjuk ke arahku. “Bawa pulang tuh si Susi! Ganti sama manekin baru.”
Joko sangat bersemangat. “Oke, Koh. Siaaap.”
Aku dibawa ke kontrakan kumuh Joko. Sejak saat itu aku tak tahu lagi kabar Salam dan Salamah, karena aku kembali menyaksikan kisah lain di tempat baruku. Setiap malam aku selalu dicumbu rayu oleh Joko. Ia selalu tersenyum padaku, berbisik, memanggilku mesra dengan sebutan sebuah nama yang sangat tidak asing sekali, “Oh Salamah… Oh Salamah.”
Langlang R adalah relawan Rumah Dunia. Saat ini bekerja sebagai penulis skenario TV dan masih terus berusaha menulis novel. Penulis bisa disapa di Twitter @Langlangbanten dan di Facebook Langlang Randhawa.