OpiniReview

Sulitnya Menjadi Anak Muda di Banten Hari Ini

Oleh Wahyu Arya

 

biem.co — Anak muda selalu saya andaikan sebagai seorang yang masih punya banyak kesempatan, kulit kencang, rambut hitam, sorot mata tajam, punya idealisme, punya cara pandang jernih terhadap persoalan, semangat membara, dan tentu saja penuh optimisme menghadapi hidup. Itulah rumusan serampangan, setidaknya yang hidup dalam benak saya ketika berhadapna dengan kata "muda" tadi.

 

Dalam pada itu, anak muda adalah tangan yang gemetar meraba masa depan yang belum pasti diterima, dalam kegamangan figur dan idola. Sebagian lagi tenggelam dalam jarum suntik dan penggunaan narkotika. Sementara yang masih berseragam sering juga terlibat pada kemarahan kolektif–kadang tidak jelas sebabnya–baku hantam, ayun celurit di jalan raya.

 

Potret lain anak muda hari ini di layar kaca adalah anak-anak kaum menengah atas yang hobi ngebut di jalan raya dengan motor gede yang dibeli dengan duit orangtua. Seringkali sedih oleh asmara segitiga dan sebagainya, dan seterusnya. Sebagian lagi, anak muda turun ke kampung-kampung mengajar di pulau-pulau terluar, lokasi-lokasi terdalam dan kampung-kampung terpencil. Satu dua tahun mereka mengabdi dan berbagi ilmu untuk anak-anak bangsa yang jauh dari akses pendidikan.

 

Sungguh warna-warni potret anak muda di kepala saya. Barangkali potret anak muda tadi ada juga di kepala pembaca sekalian.

 

Berbicara mengenai perkembangan kebudayaan di Banten, bagi saya selalu terkait dengan proses, dan proses tersebut selalu setali tiga wang dengan regenerasi, dan regenerasi tidak bisa begitu saja terlepas dari soal pemuda sebagai ahli waris yang sah kebudayaan tersebut.

 

Saya akan singgung sedikit di sini. Kebudayaan sendiri dalam pengetahuan saya merupakan nomina yang merujuk dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Sedangkan kebudayaan merupakan hasil kegiatan dari olah batin (akal budi) manusia. Saya menyebut "olah batin" ini sejurus dengan bahasa Inggris yang menyebut kebudayaan sebagai culture, yang asal katanya berasal dari kata Latin colere, yaitu "mengolah" atau membalik tanah. Bisa diartikan juga sebagai bertani.

 

Maka kebudayaan oleh para ahli sering ditempatkan pada hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia yang tampak dalam sistem kepercayaan, bahasa, kesenian, dan adat istiadat. Kebudayaan dalam pada itu, juga disebut sebagai keseluruhan perangkat pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial untuk memahami lingkungannya.

 

Definisi kebudayaan ini tentu akan membuat kaum agamawan kita saat ini kecut, sebab posisi manusia diletakkan sebagai pusat (antropo-sentris) dari aktivitas lahirnya sebuah kepercayaan. Bahwa agama merupakan produk olah batin manusia karena manusia membutuhkan sandaran dan perlindungan dari alam yang seringkali tidak bisa sepenuhnya ditundukkan. Dari situ maka manusia membutuhkan agama dan menciptakan dari imajinasinya tentang Yang Kuat dan Yang Kekal.

 

Banyak tulisan yang sudah kita baca menuliskan bahwa dalam perjalannya, kebudayaan di Banten mengalami beberapa fase mulai dari masa Hindu-Buddha hingga masa Islam masuk dan menjadi agama yang banyak dianut sebagian besar penduduknya. Para arkeolog seringkali punya kesimpulan bahwa Banten punya cantelan dengan kebudayaan masyarakat prasejarah melalui benda-benda kuno yang ditemukan di sejumlah tempat di Banten. Ada juga yang menyebut Banten memiliki kerajaan tertua yang sering disebut-sebut dengan Salakanagara atau Negeri Perak (130 M?).

 

Rentang waktu yang jauh ke masa silam tersebut menunjukkan bagaimana Banten punya peradaban yang cukup panjang sebelum Banten masuk fase masa kesultanan di awal abad ke-17 (?). Tidak berhenti di situ sejarah terus berlanjut dari Banten masa kesultanan hingga Banten menjadi provinsi di bawah naungan NKRI. Bukankah ini butuh pemaparan yang panjang dan saya tidak yakin pemahaman saya mumpuni untuk menjelaskannya kepada para hadirin sekalian. 

 

Saya tidak akan membawa Saudara-saudara tenggelam di masa silam. Sebab kita hidup di hari ini. Dan berbicara keberlangsungan kebudayaan hari ini, kita bisa menakarnya melalui pencapaian-pencapaian anak muda di dalamnya. Apakah Banten hari ini punya remaja usia 15 tahun seperti Muhammad Nawawi dari Tanara al-Bantani yang berangkat mengaji dan menunaikan haji di Tanah Suci? Adakah juga seorang remaja terpanggil mengikuti remaja 13 tahun bernama Husein Jayadiningrat dari Kramatwatu, Serang, berangkat ke Leiden menimba ilmu. Kelak keduanya diakui dunia sebagai ilmuan tersohor yang karya-karyanya menjadi referensi para cerdik cendekia, tidak hanya Banten tapi seluruh dunia. 

 

Tidak sepenuhnya tepat memang jika membandingkan pemuda di Banten dengan era kedua maestro sebelumnya. Menjadi pemuda di Banten hari ini merupakan hal yang sulit dan punya banyak tantangan. Banyaknya tantangan tersebut hingga membuat pemuda di Banten ada yang lolos tapi banyak juga yang frustrasi.

 

Menjadi pemuda di Banten hari ini harus tangkas menghindar jerat pasar narkoba yang dikirim dari Malaysia melalui jalur Selat Sunda. Menjadi pemuda di Banten harus tabah di hadapan rayuan maraknya tindak asusila. Menjadi pemuda di Banten harus rela memalingkan mata dari tontonan film porno yang bisa diakses setiap saat dari ponsel pintar yang kelewat pintar. Menjadi pemuda di Banten harus merih di tengah serbuan diskon iklan yang terpampang di tiap pojok etalase kaca. Menjadi pemudi di Banten harus peka ketika hanya dibandrol dalam agenda politik praktis yang sementara. Menjadi pemuda di Banten harus rela ketika penampilannya tidak senecis pemuda-pemuda Kota Jakarta yang saban hari tayang di layar kaca.

 

Menjadi pemuda di Banten harus sabar menghadapi buku berjam-jam lamanya hanya untuk mendapatkan sepotong kata. Menjadi pemuda di Banten harus bekerja nyata di saat yang lain sibuk dengan upaya mengejar citra. Menjadi pemuda di Banten harus berani berbeda ketika yang lain membebek di ruang antre jam tayang telenovela. Menjadi pemuda di Banten harus punya karya nyata di saat yang lain hanya bisa netek di ketiak orangtua.

 

Alangkah sulitnya menjadi pemuda di Banten

Saya berterima kasih kepada Banten Muda yang pernah memberikan penghargaan kepada saya dan kawan-kawan pegiat kesenian lainnya. Meski label Pemuda Berprestasi di Bidang Budaya terlalu tinggi untuk saya yang sehari-hari hanya sebagai pewarta. Bagi saya, ini merupakan kesempatan yang luar biasa di tengah agenda pilkada dan isu hangat penghapusan perda. Sebuah forum di mana anak-anak muda di dengar suaranya.

 

Mengutip pepatah lama yang disampaikan almarhum WS Rendra, dalam ilmu silat tidak ada juara kedua. Dalam ilmu surat tidak ada juara pertama. Tidak ada juara kedua dalam silat karena yang kedua terbunuh dalam pertarungan. Sedang dalam ilmu surat tidak ada yang lebih unggul karena semua punya keunggulan masing-masing. Kesempatan ini hanya menegaskan kepada saya bahwa sebuah penghargaan hanya sebagian kecil dari upaya dan perjuangan sebenarnya. Tabik.


Wahyu Arya, lahir di Tangerang, 28 Maret 1986. Menulis puisi, dan esai di media massa lokal Banten. Puisinya pernah dimuat di Majalah Sastra Horison, Jurnal Sajak, dan sejumlah buku antologi bersama. Buku esai tunggalnya dibukukan berjudul Sebuah Pintu yang Terbuka (Kubah Budaya, 2012). Bergiat di Kubah Budaya, dan aktif di Dewan Kesenian Banten. Tinggal di Kota Serang, Banten.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button