OpiniReview

Pulosari dan Bocah-bocah Penenteng Termos Es

 

Oleh M Irfan Wicaksono

 

biem.co — Mencari rupiah tentu bukan hal yang mudah, apalagi bagi anak-anak. Namun pemandangan itu justru takpak jelas di di sekitar Gunung Pulosari, Pandeglang, Banten, di mana masih banyak anak-anak yang harus merelakan waktu bermain mereka demi menjemput keping-keping rupiah.

 

Waktu bermain mereka harus diganti dengan berjualan, menjajakan es lilin sepanjang jalur pendakian. Pulosari tak jauh dari pusat Ibu Kota Provinsi Banten, Kota Serang.  Untuk menuju pendalian Pulosari, Anda hanya bisa menempuh melalui jalur darat sekitar 1-2 jam.

 

Hamparan persawahan yang luas dan hijau akan menyamput ketadangan kita di desa pertama. Desa ini jauh dari hiruk-pikuk keramaian dan tentu–udaranya yang masih sangat alami. Anda juga bisa menitipkan kendaraan di desa ini. Biaya penitipannya pun tak terlalu mahal, cukup dengan merogoh kocek sebesar Rp6.000 per malam. Pada pos 1 pendakian, Anda harus membayar registrasi sebesar Rp10.000. Jangan khawatir, dengan biaya itu, Anda akan disuguhi pengalaman yang tentunya mengesankan.

 

Berbagai keindahan Pulosari dan sekitarnya boleh Anda nikmati. Seperti, di pertengahan perjalanan menuju puncak, Anda bisa menemukan kesegaran yang terpancar dari curug putri.

 

Tapi tunggu dulu! Justru di sinilah letak keseruannya. Saat Anda hendak menuju curug putri, Anda harus melewati jalur dengan kemiringan hampir 40°. Bagi pendaki pemula seperti saya, mungkin bisa menghabiskan waktu sekitar 3-4 jam untuk sampai ke curug putri.  Tentu lain cerita bagi Anda yang sudah malang-melintang dalam kegiatan pendakian, waktu 1-2 jam barangkali sudah dikatakan cukup lama untuk menaklukkan medan berbatu menuju curug putri.

 

Di curug putri Pulosari, Anda akan disambut irama gemercik air terjun. Sejauh mata memandang, Anda akan dimanjakan pemandangan alam sekitar yang begitu hijau dan alami.

 

Selama mendaki, ada rasa aneh yang bercampur di hati saya. Di satu sisi, ada rasa bebas dan tenang. Namun di sini lain menyeruak rasa perih ketika menyaksikan bocah-bocah kecil selama jalur pendakian. Sisi kemanusiaan seperti tercabik ketika kornea saya menangkap anak kecil dengan termos es di tangan mereka. untuk berjualan yang mereka bawa dari bawah, yang mereka bawa ke atas untuk di jual untuk mendapatkan tambahan dari berjualannya tersebut.

 

Saya perkirakan, berat termos yang mereka tenteng hampir menyamai berat badan mungil mereka.

 

“Es lilin panjang… es panjaaang!”  lengkingan nyaring berlompatan dari mulut mereka.

 

Seperti tanpa lelah, mereka begitu trengginas membawa barang dagangan di sepanjang jalur pendakian. Tanpa alas kaki, ya, saya ulangi: TANPA ALAS KAKI–dengan lincahnya dan tanpa ada rasa takut tergelincir, mereka menenteng termos penuh berisi es lilin.

 

Kehadiran bocah-bocah penenteng termos es itu mengusik rasa penasaran saya. Ke mana orangtua mereka? Sedemikian kerasnyakah hidup mereka? Berbagai pertanyaan berseliweran di kepala saya. Lebih-lebih ketika mata saya menangkap rona mereka yang kumuh dan baju yang penuh robekan.

 

Saya ingin mengajak kita semua bertanya pada diri masing-masing: Apakah sewaktu kecil, kita harus mencari sepesen rupiah hingga sesusah ini?

 

Andai mereka adalah kita. Apa yang Anda bayangkan ketika mereka adalah diri Anda sendiri? Dengan jalur pendakian yang terjang, penuh bebatuan, licin, dan sisi-sisi jalan yang disambut jurang, apakah Anda takut tergelincir?

 

Mereka menaiki dan menuruni Pulosari setiap hari tanpa pengawasan orangtua. Tiba-tiba saya malu pada diri saya sendiri. Jangankan menenteng barang dagangan, barang-barang yang saya persiapkan untuk mendaki ini saja rasanya saya sudah tak sanggup saya bawa.

 

Sedari kecil, anak-anak Pulosari telah berkenalan dengan kerasnya hidup. Saya jadi teringat sila kelima Pancasila kita: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ah, kapan? Kapan anak-anak Pulosari akan mencicipi rasanya keadilan? Apakah keadilan jauh lebih manis dibandingkan es lilin yang mereka tenteng saban hari itu? Mereka tidak pernah tahu.  

Serang, 17 April 


M Irfan Wicaksono, pelajar yang tinggal di Kota Serang. Follow Twitter-nya @irfannndf

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button