CerpenInspirasi

Cerbung Kholi Abas: Pesan Cinta Dandelion (Bagian 4)

Cerita Bersambung Kholi Abas

 

Baca kisah sebelumnya: Pesan Cinta Dandelion (Bagian 3)

 

Mengenangmu, sekali lagi…

Aku suka caramu memanggilku, sekali tapi sangat tegas dan jelas: “Lion”. Seperti siang ini, saat aku memimpikanmu lagi di saat tidur siangku. Aku berada di tengah hutan, tepatnya di antara tegakan pohon pinus. Sendiri, sepi. Tapi aku menyukainya. Hatiku tenang dan damai berada di sana. Di mimpi itu, aku sangat ceria. Tidak ada sedikitpun kesedihan tersirat di wajahku walau berada dalam kesendirian di tengah hutan. Aku menikmati sejuknya yang bersih dan segar. Aku menikmati kicauan burung yang seolah mengajakku bernyanyi, membawaku hingga ke tepi hutan, keluar menuju lahan yang luas. Seketika mataku membulat melihat keindahan di hadapanku. Hamparan dandelion. Benih-benih dandelion berterbangan. Indah, sangat indah. Di saat aku sedang disibukkan dengan dandelion-dandelion, dari belakangku kamu memanggil. “Lion…” suaramu sangat jelas aku dengar, begitu nyata. Aku terdiam sejenak, tak langsung membalikkan badan. Hingga kudengar suara langkah kakimu perlahan mendekat. Gemuruh di dada saat aku berusaha membalikkan badan, kamu sedang berdiri tegak tepat enam langkah di depanku. Tanganmu menggenggam dandelion yang telah dirangkai jadi satu. Kamu tersenyum kepadaku, dengan senyuman yang khas.

 

Mataku lekat menatap langit-langit kamar saat terbangun dari mimpi. Kosong. Aku masih menatapnya dengan tatapan kosong. Aku menghela napas panjang. Berat. Sudah tidak dapat dipastikan apa yang kurasakan. Semuanya campur aduk jadi satu. Sedih, senang, kecewa, semua bersenyawa. Pandanganku beralih pada jendela kamarku. Langit terlihat mendung, sepertinya akan turun hujan. Aku menatap langit sama seperti ketika melihat langit-langit kamarku, lagi-lagi kosong. Tiba-tiba Ibu masuk ke dalam kamar, membawakan segelas susu hangat lengkap dengan biskuit Lemonia kesukaanku.

 

“Sudah bangun, Nak?” tanya Ibu lembut. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

 

Ibu duduk di atas tempat tidur, tepat di sampingku yang masih berbaring. Ia genggam tanganku, mengelusnya dengan lembut. Sorot matanya sangat damai. Ada pesan yang tersimpan dari tatapannya. Sebuah harapan. Ya, harapan agar putrinya ini tidak bersedih lagi. Harapan agar aku tidak larut dalam luka.

 

“Masih tidak ada  kabar dari Dani, Li?” tanya Ibu seolah mengharapkan kabar baik dari pertanyaannya ini.

 

Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. Senyum yang hampa dan kosong. Senyum yang kuhadirkan hanya untuk menutupi kesedihan yang besemayam dalam kalbuku. Ibu masih mengelus lembut tanganku. Genggamannya seolah berbisik “Jangan bersedih, Nak, ada Ibu di sini”. Ah, aku masih terdiam membungkus kata. Kami membisu di ruangan kecil itu. Di tengah kebisuan, Ayah hadir memecahkan suasana hening.

 

“Waduuh, anak Ayah sakit, tah? Kayaknya lemas amat, enggak ada semangat,” sapa Ayah dengan logat Cilegonnya yang khas.

 

Mikirin Dani terus, sih, ya, sampai sakit begini? Jangan dipikirin, Li, kalau Dani laki-laki yang serius dia pasti akan memperjuangkan kamu. Dani pasti akan kembali lagi dan menjemputmu dari Ayah,” ucap Ayah sambil membuka Lemonia yang masih terbungkus rapi. Ayah mengucapkan kalimatnya tanpa beban. Namun begitu pas menohok perasaanku.

 

“Siapa yang mikirin Dani, sih, Yah?” aku melengos kesal. Mengingkari kenyataan. “Memang udah waktunya sakit aja ini mah. Lagian juga cuma pusing aja, paling karena efek kelelahan,” kilahku.

 

Ayah hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Mulutnya masih dipenuhi dengan biskuit rasa lemon.

 

Aku menarik napas, menggumpulkan kekuatan. Kalimatku yang akan keluar ini membuatku sesak. Seperti tercekat di tenggorokan.

 

Dani nggak mungkin kembali lagi, Yah. Dia sudah pergi. Dani yang memutuskan untuk melepaskan Lion. Dani yang meminta Lion untuk pergi, aku membisiki Ayah dalam diam.

 

Suasana kembali hening. Mataku hampir berair lagi.

 

“Ehm, Ayah makan, yuk. Ayah belum makan siang, kan?” Ibu tiba-tiba memecah sunyi. Ia ingin memberiku waktu untuk sendiri. Ibu menarik lengan Ayah dan meninggalkan kamarku. Meninggalkan aku seorang diri.

 

Suasana masih hening sebelum rintikan hujan mulai membasahi bumi. Suara rintikannya sangat merdu, dan kini menderas. Di luar hujan turun dan langit sangat gelap, sama seperti yang terjadi denganku saat ini. Tapi, kali ini aku tak akan membiarkan hujan turun deras di hatiku. Aku menepis semua kesedihanku. Aku ingin bahagia. Hei, Dani! Kamu bukanlah penentu sedih atau bahagianya aku. Apa pun yang terjadi di masa lalu, sepahit apa pun itu, aku harus menerimanya.

 

Kini, aku harus berdamai dengan hati. Menjalani semua peran yang telah ditentukan untukku, yang telah terjadi biarlah berlalu, dan dia akan menjelma kenangan terindah. Kuharap, di waktu yang akan datang kamu tidak akan menorehkan kisah sedih lagi di ceritaku. Saat ini, tidak ada surat untukmu, Dan. Tapi, izinkan aku mengenangmu sekali lagi saja.

***

Menjelang Ramadan tahun 2015, aku beserta teman-teman satu komunitasku di pencinta alam mengadakan kegiatan tarhib Ramadan. Jelajah alam ke daerah yang sangat dingin di Jawa Barat. Suhu di daerah ini bisa mencapai minus lima derajat celcius. Kasus para pengunjung yang meninggal karena hypotermia di daerah ini sangat banyak. Kegiatan ini dibuka untuk umum, bukan hanya anggota komunitas saja. Tidak pernah aku duga sebelumnya, ternyata Dani mendaftarkan diri menjadi peserta kegiatan itu.

 

Hah? Serius? Dani? Oh, Allah… bagaimana ini?

 

Aku membayangkan betapa aku akan kaku dan gugup jika harus berinteraksi dengannya. Benar saja, kenyataannya pun demikian. Aku canggung dan merasa sangat tak nyaman. Aku diserbu gugup tatkala berada di forum yang sama dengannya selama dua hari satu malam.

 

Dua puluh orang berangkat untuk jelajah alam. Mentafakuri alam ciptaan Allah yang indah. Menikmati segala keindahan alam yang diberikan-Nya. Perjalanan dari pos awal menuju tempat camp membutuhkan waktu tujuh jam. Kami sampai di camp satu jam sebelum magrib. Dingin, sangat dingin. Dinginnya menusuk sampai ke tulang. Rasanya , badanku mau remuk lantaran dingin ini. Saat itu suhu mencapai tujuh derajat celcius. Suhu yang dingin ditambah dengan badai dan hujan melengkapi malam kami di camp. Lengkap sudah. Tapi semua itu tidak boleh menghalangi kami untuk tetap beraktivitas. Kami membagi tugas, ada yang bertugas memasak, mengambil air di lembah, memantapkan bangunan tenda, serta membuat api unggun walau akhirnya tidak menyala karena badai dan hujan. Saat itu, aku kebagian tugas memasak. Lebih tepatnya bagian memotong sayur-sayuran bahan sop. Sedangkan Dani bertugas mengambil air. Dia telah selesai dengan tugasnya dan bergabung bersama kami tim memasak. Udara dingin membuat tanganku mati rasa. Tanganku kaku ketika mengupas wortel dan kentang. Gigi-gigiku saling beradu tak tertahankan. Menggigil. Reaksi dari kedinginan yang aku rasakan. Dua lapis jaket tebal sudah aku pakai, tapi tetap saja dinginnya masih menusuk.

 

Walaupun dinginnya semakin menusuk, aku harus tetap menjalankan tugasku. Aku terus melanjutkan memotong dan mengupas kentang dan wortel. Rupanya, Dani diam-diam memerhatikanku. Mungkin irama gigiku yang saling beradu dan kakunya tanganku dalam mengupas kentang menarik perhatiannya.

 

“Li, kok cara ngupas kentangnya kayak gitu?” tanya Dani heran melihat tanganku yang bergetar.  

 

Aku terkejut mendengar Dani mengajakku bicara. Gugup, tegang, dan udara yang dingin. Huuffft… Allah bantu aku.

 

“Harusnya kayak gimana gitu? Aneh ya liat saya ngupas kayak gini?”  balasku dengan nada jutek bin ketus yang sudah menjadi ciri khasku. Aku masih menggigil kedinginan. Dalam hati aku menyesal, “Haduuuh kenapa judes banget sih Li? Ah, udah grogi mah gini nih.

 

“Enggak, cuma biasanya kan nggak gitu ngupasnya. Mungkin karena efek kedinginan kali, yah?” balasnya.

 

Aaah, jawabanmu membuatku semakin merasa bersalah, Dan. Kenapa kamu kok baik baget sih, Dan?

 

“Iya, dingin banget. Kamu nggak ngerasain dingin gitu, Dan? Kok kelihatannya kayak biasa aja gitu. Kamu juga cuma pake jaket selapis.”

 

Oh Allah, mengapa aku tiba-tiba menjadi begitu perhatian dan ramah padanya?

 

“Ya enggaklah. Kan, tangguh. Hahaha…. Makanya banyakin gerak, Li, biar nggak ngerasa dingin,” balasanya disertai tawa. Tawa yang… ah!

 

Tangguh? Itu, kan, kata-kata punyaku. Kata-kata yang sering aku ucapkan selama perjalanan menuju camp ini.

 

Aku tidak menanggapi obrolannya lagi. Aku menyibukkan diri dengan kentang dan wortelku. Menundukkan kepalaku. Menghindar untuk melihatnya yang tepat duduk bersebrangan denganku. Cerita malam itu diakhiri dengan canda tawa teman-teman juga Dani yang sangat renyah kudengar. Melihatnya tersenyum saja sudah bisa membuatku sangat senang, apalagi malam itu aku bisa melihatnya tertawa. Keesokan harinya, udara dingin tidak membuat gigiku harus beradu lagi. Sepertinya tubuhku sudah mulai beradaptasi. Kegiatan hari kedua berjalan sesuai rencana. Pencapaian misi dan diakhiri dengan foto-foto. Sebelum melanjutkan perjalanan pulang, kami semua berkemas dan membekali diri dengan air minum yang diambil langsung dari mata air yang ada di daerah ini. Airnya sangat jernih dan segar. Airnya muncul dari celah-celah bebatuan yang ada di dinding tebing. Aku harus menuruni bebatuan yang licin untuk mendapatkan air ini. Tangan kiriku membawa botol kosong, sedangkan tangan kananku memegang bebatuan agar tak tergelincir. Di saat botolku sudah terisi penuh dengan air, aku membalikkan badan untuk kembali ke atas. Saat itulah aku melihatmu akan menuruni tebing. Dari botol kosong yang berada di tanganmu sepertinya kamu juga ingin mengisi botol itu dengan air jernih ini.

 

“Mau ambil air juga, Dan?” tanyaku dengan nada datar namun sepertinya tetap terlihat tegang.

 

“Eh, iya, Li,” jawabnya singkat dengan senyuman yang tak pernah tertinggal.

 

“Nggak usah turun. Lempar aja botolnya, nanti Lion isikan.”

 

Glek! Apa-apaan ini? Berani-beraninya aku menawarkan bantuan seperti itu? Heuh!

 

“Oh, hmm… baiklah,” jawaban Dani kali ini terlihat kikuk. Seperti salah tingkah.

 

Dani melemparkan botol kosongnya dan aku penuhi botol itu dengan air. Dengan tangguhnya aku naik ke atas melewati batu-batuan licin sedangkan kedua tanganku memegang botol berisi air. Sesampainya di atas, Dani telah menunggu dan menjulurkan tangannya mengambil botol air minumnya.

 

“Makasih, ya, Lion,” ujar Dani sebelum berlalu mendahuluiku dengan meninggalkan senyumannya yang masih terbayang.

 

“Iya, sama-sama, Dani,” jawabku pelan nyaris tidak terdengar. Kulihat ia semakin jauh melangkah di depanku. Dari belakang aku hanya melihat punggungnya yang tegap.

***

Ujian pertama ini akhirnya terlewati. Entah aku lulus atau tidak dalam ujian ini. Kebersamaan denganmu selama dua hari rupanya belum cukup untuk mengujiku. Atau mungkin aku tidak lulus ujian sehingga harus mengulang di ujian berikutnya yang terasa jauh lebih berat. Tidak lama setelah kegiatan jelajah alam itu, aku dipertemukan lagi denganmu dalam satu forum yang membutuhkan waktu lebih dari dua hari. Kebersamaan kita kali ini jauh lebih lama. Project akhir kepengurusan di organisasi kemanusiaan yang aku dan kamu jalani bersama memaksaku harus berurusan denganmu lagi. Dan, harus kuakui, di ujian kedua ini aku mengaku kalah. Benteng pertahananku runtuh. Intensitas pertemuan kita di forum ini jadi lebih sering. Bahkan dari forum ini pula akhirnya aku bisa memiliki kenangan foto bersama denganmu.

 

Aku masih ingat betul saat puncak pelaksanaan project itu, di saat aku harus merasa gugup lagi karenamu. Aku sedang melihatmu berusaha mengangkat sebuah papan yang besar. Kamu terlihat sangat kesulitan saat itu, Dan. Rupanya kamu menyadari kehadiranku yang sedari tadi mengamatimu.

 

“Lion, bisa minta tolong angkatin papan ini?” kamu memanggilku. Aku masih terpaku, sedikit syok karena kamu memintaku mengangkat papan itu bersama.

 

Tanpa berpikir panjang dan dengan mulut yang tetap terkunci, aku langsung menghampirimu mengangkat papan itu bersama. Tidak terlalu sulit sebenarnya hanya sekadar mengangkat papan. Hal tersulitnya justru ada dalam diriku. Dani, apakah  saat itu kau bisa menebak apa yang aku rasakan? Apakah kamu bisa menerka hatiku?

 

Wajahku seperti sudah tidak karuan saat itu. Canggung, kaku, tegang, salah tingkah, dan sepertinya pipiku memerah.

 

Kebersamaan kita di project akhir ini membuatku sedikit lebih mengenalmu, Dan. Akhirnya aku tahu, jika kamu tidak sekaku yang aku bayangkan. Kamu sering berusaha untuk mencairkan suasana dalam tim dengan segala lelucon yang terkesan garing. Tapi aku tetap menyukainya. Aku juga tahu, kalau kamu memang seseorang yang pandai dan paham akan ilmu. Aku tahu, jika kamu memang orang yang benar-benar bertanggung jawab atas tugas yang diberikan kepadamu. Kamu, seorang pekerja keras dan selalu ingin menyenangkan hati teman-temanu dalam satu tim. Project ini memang sudah selesai, tapi tidak dengan kita, Dan. Project ini justru meninggalkan kisah baru antara aku dan kamu. Kisah aku dan kamu masih terus berlanjut setelah berakhirnya amanah kita di organisasi kemanusiaan ini.

Bersambung


Pesan Cinta Dandelion, biem.co, Kholi Abas, Cerbung

Kholi Abas adalah nama pena dari Kholiyah. Kelahiran 18 Oktober 1993 ini gemar menulis. Cerita-ceritanya terangkum dalam antologi Gilalova 2, Gilalova 3, dan Toga di Tepi Jendela. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran Radar Banten. Saat ini bergiat di lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa cabang Banten.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button