CerpenInspirasi

Cerita Pendek Effra S. Husein: Koran Terakhir

Cerita Pendek Effra S. Husein

 

biem.co – Badannya agak gemuk, tapi cukup lincah untuk ukuran anak seperti dia. Usianya baru empat belas tahun, saat ini dia duduk di sekolah menengah pertama di sekolah yang tak berapa jauh dari tempat tinggalya. Rumahnya berada di kawasan perkampungan yang cukup padat di tengah-tengah Kota Jakarta. Dani, begitu ia diberi nama.

 

Jamaah salat subuh baru saja usai, ia bergegas meninggalkan musala. Seperti hari-hari biasa, dengan berjalan agak cepat, ia menuju agen koran di seberang jalan depan sebuah toko yang masih tertutup. Sudah banyak anak-anak bahkan orang dewasa penjual koran yang sibuk menyusun dan menghitung koran-koran yang akan mereka bawa untuk dijual hari itu, sebagian lagi sedang antri mendapat jatah pembagian koran.

 

“Dan, tumben lu telat ?” tanya seseorang bernama Aji.

 

“Iya, gue tadi kesiangan, tadi aja salat subuh ketinggalan,” jawab remaja tanggung itu sambil menyusun koran-koran yang akan ia bawa.

 

“Lu bawa koran berapa, Ji? Gue cuma dapat jatah dua puluh ?” tanyanya kemudian.

 

“Biasanya gue dapat tiga puluh, sekarang sama kayak lu, Dan. Gue cuma dapat dua puluh juga!”

 

“Kenapa ya, Bang Ujang dapat jatah dari koran memangnya sedikit kali, ya?” timpal Dani.

 

“Kayaknya sih begitu,”  jawab temannya.

 

Siang merambat naik. Sinar matahari pagi itu perlahan menerangi kesibukan agen koran dan para loper-lopernya. Sama dengan yang lainnya, Dani juga mulai berjalan menuju persimpangan lampu merah, tempat biasanya  ia menjual koran.  Sambil meneriakan koran-koran dagangannya, ia mulai naik ke bus-bus kota yang berhenti di lampu merah. Ia sibuk menawarkan koran-koran tersebut kepada penumpang yang belum teralu banyak.

 

Di salah satu bus yang ia naiki, tanpa diketahuinya lampu merah sudah berganti hijau. Tidak mungkin lagi ia turun, karena bus sudah berjalan agak kencang. Ia pun terpaksa berada dikendaraan itu.  Berjalan menuju kursi belakang bus, Dani mulai merasa resah. Belum pernah ia berjualan keluar dari kawasan simpang jalan itu. Ada perasaan takut menyelundup di hatinya. Takut kalau-kalau dia tidak ingat kembali jalan pulang, takut kalau diganggu anak-anak jalanan, atau orang-orang iseng yang akan meminta uangnya. Pikiranya berkecamuk. Ia juga ingin tahu bagaimana rasanya menjual koran jauh dari tempat biasanya berjualan.

 

Akhirnya bus itu pun masuk dan berhenti di terminal yang letaknya agak di pinggir kota. Rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang tersisa di bus turun satu per satu, Dani turut serta, hingga menyisakan suasana kosong dalam bus. Sebelum menginjakkan kaki di aspal terminal, sengaja diarahkannya pandangan ke seluruh kawasan terminal.

 

“Wah… gawat nih, kayaknya nggak perlu turun, lebih baik di bus ini aja,” batinnya.

 

Dani mulai berpikir agar bisa kembali pulang dengan bus yang sama. Kata orang, terminal di sini agak rawan, dan banyak orang-orang yang datang dari kampung sering menjadi korban keusilan preman-preman di terminal ini.    

 

Darah Dani berdesir. Tak berapa lama, tiga orang anak-anak seusianya yang juga menjual koran di terminal itu, datang menghampirinya.

 

“Eh gendut, lu anak mana?”  tanya salah seorang dari mereka dengan mata melotot.

 

“Gue belum pernah liat lu jualan di sini!” sergah satu temanya lagi.

 

Dani hanya terdiam, sedikit cemas, tapi ia berusaha menjawab.  

 

“Iya, gue baru dateng naik bus ini, tadi gue ke bawa ke sini” jawabnya, berusaha tenang, sambil menatap mereka dengan senyum.

 

“Ohh… gitu, ya, udah, sekarang lu balik aja lagi, nanti kalau bus ini jalan lu balik, ya!” kata salah seorang di antara mereka yang badanya agak kurus.

 

Dani mengangguk setuju dan mengiyakan permintaan mereka. Percakapan yang sempat membuat jantungnya dag dig dug itu usai. Dani menghela napas panjang.

 

“Alhamdulillah, untung aja.” bisik Dani dalam hati. Ia pun mulai tenang dan berpikir mencari jalan untuk kembali pulang. Di pikirannya, tidak mungkin ia menunggu bus yang sama untuk jalan pulang, karena ia tidak tahu kapan bus ini akan kembali ke tempat dimana ia naik tadi.  

 

Terminal mulai ramai. Sinar matahari yang menerobos lewat jendela bus terasa amat menyengat kulit. Dani masih memasang mata. Sesekali kepalanya menjulur ke luar pintu bus.

 

Di antara gelisah yang kian merebak, matanya menangkap satu bus dengan nomor yang sama seperti bus yang ia naiki ada yang siap beranjak meninggalkan terminal itu. Sekejap, kaki lincahnya melompat dari bus dan berpindah. Tergesa-gesa, Dani merapikan koran-koran di tangannya.  

 

Perasaan lega menyeruak. Sebentar lagi, perjalanan menuju tempatnya biasa mangkal akan sampai. Sembari menunggu, ia pun menawarkan koran-korannya yang masih tersisa. Barangkali masih ada rezeki di bus ini, pikirnya.

 

Sebelum azan zuhur menggema, Dani telah sampai di tempatnya semula. Kedatangannya disambut pertanyaan dari teman-temannya yang merasa kehilangan—tak melihat Dani kerkeliaran menjajakan koran dari pagi.  

 

 

Masih tersisa satu koran di tangannya. Wajahnya tampak lelah, namun ada gores puas yang bertengger di sana,

 

Jari-jemarinya sibuk menghitung pendapatan yang mampu ia kumpulkan hari ini.

 

Lumayan, bisiknya, seutas senyum menghiasi bibirnya. Lembar-lembar uang kertas lusuh dan beberapa keping uang logam di tangannya cukup untuk menebus obat Emak, makan siang, dan sisanya untuk ia tabung.

 

Waktu zuhur telah berlalu beberapa menit. Dani segera jalan menuju pulang. Ia harus pulang lebih cepat, karena Emak lagi kurang sehat. Sudah tiga hari ini Emak sakit. DI rumah, hanya Lastri ,adik satu-satunya, yang menemani. Dan Lastri pun harus absen sekolah lantaran menjaga Emak.

 

Langkahnya kian cepat. Di kepalanya, silih-berganti hadir bayangan Emak, Lastri, dan Bapak. Ya, Bapak yang kini tak lagi ada.

 

Bapak telah berpulang. Kini, hanya bertiga mereka menjalani kehidupan. Ada sesak yang tiba-tiba terasa memberati dadanya setiap kali Dani mengenang kepergian Bapak. Hidupnya kini terasa begitu berat. Penghasilan Emak dari hasil menjual kue dan menjadi tukang cuci di beberapa rumah tetangga masih sangat kurang untuk menutupi kebutuhan mereka bertiga.

 

Demi membantu meringankan beban Emak, diputuskannyalah untuk menjual koran. Awalnya memang terasa sangat berat, ditambah, sebelumnya tak pernah Dani memiliki pengalaman berjualan koran. Namun, wajah Emak dan Lastri selalu mampu menguatkannya. Termasuk saat tadi ia tersesat ke luar kawasa tempatnya biasa berjaja koran, nama Emak dan Lastri tak henti-henti dibikininny diam-diam.

Dani telah sampai di depan gang sempit menuju rumah tempatnya tinggal usai Bapak tiasa.

Langkahnya melambat. Di hadapannya, melambai-lambai bendera kuning. Hatinya bertanya-tanya. Siapa gerangan yang berpulang?

 

Pelan, diayunnya langkah yang tiba-tiba menjadi berat. Segala kemungkinan bertamu ke kepalanya. Bendera kuning yang berkibar saat kepergian Bapak begitu menyisakan perih yang tak kunjung putih di hatinya. Dan kini, bendera yang sama kembali hadir di hadapannya. Di gang rumah yang sama. Ah, jangan! Bisiknya.

 

Hatinya kian ciut. Keruman orang memenuhi beranda rumah sempitnya. Lebih-lebih saat Lastri berlari menyongsong dirinya. Entah. Dani tak kuasa menerjemahkan rasa yang bergolak di dadanya. Tak kuasa pula ia tahan bening yang mendobrak kelopak matanya. Bercucuran. Dibiarkannya Lastri sesugukan di pelukannya. Tak satu kata yang ia bolehkan berlompatan dari bibirnya.  

 

Didekapnya Lastri kiat erat, satu-satunya harta berharga yang kini ia punya. Ah, sanggupkan ia bertahan hidup tanpa Emak? Bagaimana ia membiayai sekolah Lastri, juga dirinya?

 

Nanar. Ditatapnya koran terakhir yang masih melekat di jemarinya, benda yang menjadi tumpuan hidupnya, dan kini, mungkin juga menjadi akan menjadi tumpuan hidup Lastri. Bagaimana jua, Dani ingin mereka berdua tetap bersekolah. (*)


cerpen biem

Effra S. Husein. Tinggal di Cikeas, Kabupaten Bogor. Saat ini bekerja dis ebuah perusahaan konsultan di Jakarta. 

 

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button