CerpenInspirasi

Cerpen Encep Abdullah: Darah Perawan

Cerpen Encep Abdullah

 

“Kamu ndak bakalan bisa hidup kalo begini terus.”

 

“Pokoknya aku nggak mau! Titik!” Isti menutup pintu kamarnya dengan gebrakan yang keras. Neneknya yang sedari tadi mengomel seketika mengangkat bahunya, menandakan ia begitu kaget karena ulah cucunya itu, sembari ia mengusap-usap dadanya yang sudah rata itu.

 

Piyee toh ini anak, maunya apa, sih?”

 

“Pokoknya aku nggak mau!” semakin lantang suara Isti dari dalam kamarnya.

 

Isti anak pertama dari tiga bersaudara itu baru saja lulus dari bangku SMA. Ia sudah tidak punya ibu. Setahun silam ibunya meninggal dunia akibat serangan jantung. Ayahnya, sudah lama merantau ke kota, mencari sesuap nasi untuk menafkahi anak-anaknya. Kini Isti tinggal bersama neneknya, dan akhir-akhir ini Isti merasa kehilangan gairah hidup karena semenjak lulus, ia selalu di kekang oleh neneknya untuk cepat-sepat mencari pekerjaan.

 

“Den, adikmu itu sekarang pergi ke mana? Kok nenek ndak pernah liat, yah” sore itu di teras rumah Abdi, tetangga Isti.

 

“Siapa? Ijah maksud Nenek?”

 

“Ya, barangkali.”

 

“Dia sudah tiga bulan, Nek, jadi TKI di Malaysia. Katanya dia betah di sana, Nek. Hidupnya terjamin. Apalagi dia dapat majikan yang baik. Dia sudah dianggap seperti anak sendiri oleh majikannya. Dan kami di sini pun merasa senang karena setiap bulan ia selalu mengirimkan uang. Jadi, kami di sini tidak khawatir untuk makan sehari-hari, malah bahkan lebih dari itu. Enak, Nek,” terang Abdi, bercerita panjang lebar tentang adiknya.

 

Mungkin sejak percakapan sore itulah, si nenek berubah menjadi bukan nenek seperti biasanya. Nenek yang dulu lemah lembut dan selalu mengabulkan apa yang diinginkan cucunya, kini berubah menjadi pemaksa. Dan Isti tidak mau kehidupannya diganggu terus-terusan seperti itu. Kupingnya terasa panas setiap kali neneknya itu membuka percakapan tentang TKI. Ingin sekali ia memberontak, tapi apalah daya, dalam hatinya, nenek adalah nenek. Perempuan tua itu yang menggantikan posisi ibunya selama ini. Isti tidak mau kelewat batas menyikapi keras kepala neneknya. 

 

Isti menyimpan kesal yang bertumpuk-tumpuk di dadanya. 

 

“Aku mengerti, aku ini anak pertama yang akan menjadi tumpuan adik-adikku nanti, tapi apa iya aku harus melakukan semua ini?” Isti berbicara dengan boneka di kamarnya.

 

“Jawab dooong! Kok, kamu diam saja?!” boneka panda merah jambu itu digoyang-goyangkannya.

 

“Ah, nyebeliin!” Isti melempar bonekanya ke pintu.

 

“Mbak kenapa?” adiknya membuka pintu, ia mengambil boneka itu.

 

“Sudah pulang?” katanya pendek.

 

“Sudah.”

 

Sambil melepas baju sekolahnya yang putih abu-abu, adiknya duduk di samping mbaknya di kasur.

 

“Mbak ada masalah apa? Cerita, dong, sama aku.”

 

“Nggak apa-apa, kok, Lin,” jawabnya lemah.

 

“Air mata Mbak nggak bisa bohong,” ujarnya, sambil mengusap air mata kakak perempuannya yang masih mengalir hangat di pipi.

 

Isti hanya diam. Ia pun memejamkan mata sekali lalu menghela napas.

 

“Mbak sebel sama nenek, Lin. Mbak tanya sama kamu, kamu mau setelah lulus nanti jadi TKI?”

 

“Apa salahnya, toh kalo itu yang terbaik buat kita, kenapa tidak?”

 

“Ah, anak kelas satu SMA, tahu apa soal itu. Kamu sama saja kayak Nenek.” 

 

Ditatapnya adiknya itu dalam pandangan kesal. 

 

“Aku sudah gede, Mbak. Tahu mana yang baik dan mana yang nggak.”

 

“Terus saja semua orang kayak begini!” 

 

Isti bangkit dan meninggalkan kamar. Kesalnya menggunung. Dia seperti kehilangan tempat berlindung. Seolah-olah tak satu pun yang bisa mengerti perasaannya. Neneknya, dan kini Linda, adiknya itu pun ikut-ikutan keras kepala. 

***

Malam itu, Isti memutuskan keluar rumah. Buang suntuk, begitu kata batinya. Ia pergi ke mana pun kakinya melangkah. Tak tahu arah mana yang akan ia tuju. lelah melangkah, dibawanya duduk di warung kopi, halte, taman, masjid, hingga di bawah jembatan. Ia hanya melamun, merenungi makna hidupnya saat ini.

 

Apa yang harus dilakukan?

 

Tidak tahu.

 

Apa yang kamu cari dalam hidup ini?

 

Tidak tahu.

 

Hanya “tidak tahu” yang ada dalam benaknya. Sungguh aneh memang, ketika seseorang tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dan ketika ada seseorang yang menyuruhnya untuk melakukan sesuatu, tapi dia tidak mau. Kenapa dengan Isti?

 

Beberapa hari yang lalu, sebulan yang lalu, setahun yang lalu, bahkan lima tahun yang lalu, ia masih melanjutkan tulisannya pada sebuah buku kecil,  diary-nya. Saat ini ia pun sedang melanjutkannya…

 

…. masih saja begitu dari dulu. Nggak ada enak-enaknya jadi TKI. Meskipun dapat legalitas dan katanya ada perlindungan dari pihak negara, tetap saja hal buruk itu terjadi. Sekarang masih saja aku sering melihat di koran-koran, di televisi—malah sedang gencar-gencarnya sekarang ini di media massa—banyak mereka yang menjadi TKI malah cuma jadi bahan siksaan saja oleh majikannya. Huh… serem dan tragis memang. Ada yang jari-jari tangannya digunting, rambutnya dibotakin, tubuhnya disayat-sayat pakai pisau, dan masih banyak lagi. Lantas, apa aku harus seperti mereka? Ah, aku nggak mau. Aku nggak mauuu…! Titik!

 

Isti menutup diary-nya, sambil menghela napas. Sekarang ia sedang berada di sebuah tempat, namun ia tidak sadar tempat itu adalah bukan tempat yang seharusnya ia singgahi. Awalnya sepi. Sekarang sudah agak larut malam mungkin, dan tempat ini—seperti kafe, namun ia kira hanya sebuah warung biasa—sudah semakin ramai. Orang-orang berdatangan. Perempuan dan laki-laki—begitu banyaknya.

 

“Neng, belum pulang?” lelaki bertato sambil membawa bir mencolek dan berusaha menggodanya. Isti menghindar dari orang itu. Ia berusaha keluar dari tempat itu. Namun, beranjak tiga langkah menghindar dari lelaki bertato tadi ada lelaki bertato lagi yang berusaha menghalanginya. Lelaki yang tadi menjaga warung ini, tiba-tiba menutup dan mengunci pintu dari dalam.

 

“Aku salah tempat,” gerutunya, sambil memeluk buku diary yang ia pegang ke dadanya. Isti melirik kiri-kanan, di setiap sudut tempat itu sudah penuh dengan pasangan-pasangan bangsat yang sedang menikmati dinginnya malam. Lampu mulai dimatikan, berganti dengan lampu yang berkelap-kelip. “Ah, warung sialan!”

 

“Neng, kamu itu salah masuk kandang. Sudah larut malam begini belum juga pulang. Ya, tanggung. Harus terima risikonya. Hahaha…” ujar pemilik warung yang berkumis lebat dan tebal itu. Isti tak mengira malam ini akan menjadi kelabu seperti hatinya pula.

 

“Hari ini kita dapat santapan baru, banyak duit, nih, kita.”

 

“Ya, kau benar.”

 

“Eits, yang pasti saya yang lebih besar jatahnya. Kan saya yang punya tempat ini. Hahaha.…”   

 

“Banyak bacot lo! Tapi ya sudahlah. Hahaha….” tawa mereka pecah.

 

Malam ini memang benar-benar kelabu. Untuk Isti.

 

***

Nenek dan kedua adiknya semalaman mencari Isti. Namun, tak kunjung jua mereka temukan. Wajah-wajah gelisah itu tampak dari air muka mereka. Sepertinya sudah benar-benar tidak tercium sedikit pun jejek-jejak Isti di hidung mereka yang mancung ke dalam itu.

 

“Semua ini gara-gara nenek. Seharusnya nenek jangan seperti ini sama mbakmu.”

 

“Mungkin salah Linda juga, kemarin mungkin Mbak kecewa dengan pernyataan Lin.”

 

“Mau cari ke mana lagi, Nek? Mbak nggak ketemu-ketemu,” ujar adik paling bungsu yang laki-laki itu sembari membawa ketapel di lehernya.

 

“Ke mana ini anak perginya? Apa yang akan nenek katakan sama bapakmu kalau dia ndak pulang-pulang.”

 

“Lapor polisi aja, Nek.”

 

“Wuss, kamu anak kecil, tahu apa soal polisi.”

 

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Dag-dig-dug hati mereka saat melewati beberapa tempat yang agak gelap—menyeramkan. Melewati kuburan, jembatan, tempat pelacuran, warung kopi, dan lain-lain. Hanya wajah-wajah kosong saja yang mereka temukan pada tempat-tempat itu. Entah sudah berapa kilo mereka berjalan kaki.

 

Sesekali mereka beristirahat. Wajah mereka sudah mulai kusut. Hingga menjelang subuh, mereka belum juga menemukan sesosok gadis berambut hitam sebahu itu. Mata-mata mereka sudah agak meredup. Langkah mereka sudah mulai melemah seperti habis naik gunung saja. Pada sebuah tempat—depan warung—mereka bertiga beristirahat lagi sejenak. Mata-mata sayu mereka akhirnya terlelap dalam mimpi.

 

Jalanan sudah sepi. Satu-dua motor saja yang melintas. Pohon-pohan yang nyaris tumbang di samping warung itu mengeluarkan bunyi-bunyi tokek yang saling bersahutan. Seperti sebuah teriakan yang saling menghantam. Pemilik warung-warung di samping mereka pun sudah tidak ada wujudnya. Kosong. Selang beberapa menit kemudian, suara keributan terdengar dari dalam warung itu. Terdengar seperti tamparan, sobekan baju, dan jeritan seorang perempuan.

 

Guprak! Tiba-tiba saja pintu warung terbuka. Nenek dan kedua cucunya sontak kaget. Langsung mereka berdiri keheranan. Mata mereka masih sembab dan masih membayang.

 

“Mau pergi ke mana, Sayang?” lelaki bertato itu berjalan sempoyongan, mungkin sudah terlalu banyak bir yang sudah ia minum.

 

“Hayo, Manis, ke sini…” lelaki bertato yang kedua pun tak kalah girang menggoda.

 

“Jangaaan!”

 

“Isti?”

 

“Nenek, itu Mbak Isti!”

 

Linda melihat jelas siapa yang ada dihadapannya itu. Dengan baju yang sudah compang-camping kelihatan kutangnya.

 

Nenek dan kedua cucunya itu tidak berani menghampiri Isti. Ketiganya diserbu ketakutan. Tiba-tiba. Mengunci langkah mereka. Lantaran isti sedang diserbu oleh para lelaki bertato. Mereka hanya mampu menyumput di sudut warung.

 

“Toloong!” teriak isti. Namun percuma, teriakannya itu tidak ada respons sedikit pun dari orang-orang di sekelilingnya. Mungkin hanya tokek-tokek saja yang menjawab.

 

Isti tidak bisa lari. Ia masih dalam lingkaran tiga orang bangsat itu. Isti tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya tersayat oleh hasrat para lelaki itu. Darah berucuran di sekitar pahanya. Tiada henti. Antara kesadaran yang lagi penuh, sayup-sayup wajah neneknya, kemudian Linda, adiknya, hadir silih berganti. Bayangan tentang seramnya menjadi TKI menyergap pikirannya. 

Andai aku menuruti perkataan Nenek, bisiknya. Namun sekuat tenaga, buru-buru ditepisnya penyelasan itu. Darah masih mengaliri pahanya, membawa rasa ngilu yang menusuk hati. Tiba-tiba dia membenci dirinya. Melebihi bencinya kepada nenek, juga Linda.

    

Serang, 27 November 2010


Encep Abdullah, alumnus Untirta. Bukunya yang telah terbit, Cabe-cabean (2016).

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button