Oleh Niduparas Erlang
biem.co — Menulis cerita pendek (cerpen), memang, tidak sekadar demi merayakan kesenangan, keriangan, kecintaan, tapi juga tindakan melawan klise massal. Dan saya pikir, “perlawanan” semacam itulah yang hendak ditawarkan para penulis kita melalui cerita-cerita di dalam antologi cerpen Keloyang ini.
Betapa, ketika para remaja kebanyakan lebih menggandrungi (membaca dan/atau menulis) cerita-cerita tentang percintaan ala anak SMP/SMA, atau cerita-cerita yang melulu menyuguhkan “khotbah” moral, yang kesemuanya telah menjadi klise massal—sebab melulu begitu dan terus-menerus berulang, siklikal—, para penulis kita dalam antologi ini malah memamerkan cerita-cerita tentang tindak kekerasan. Mulai dari pertengkaran keluarga, perbantahan, pemukulan, keputusasaan, kegilaan, hingga berujung pada pembunuhan dan kematian, terpampang lengkap dengan detail ceceran darah dalam ruang-ruang cerita mereka. Pembunuhan demi pembunuhan, dipamerkan sedemikian rupa dalam ruang “galeri kematian” dan berkelindan dengan keadaan keluarga yang berantakan atau kondisi sosial masyarakat yang buruk tak tertanggungkan.
Ah, adakah dunia kita hari ini benar-banar didominasi kekerasan, pembunuhan? Entahlah.
Tapi mungkin, horor itu, kesadisan itu, pembunuhan itu, memang telah menjadi bagian yang lekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebab, saban hari, bahkan saban detik, dengan mudah dapat kita temukan berbagai berita kriminal di media massa, baik di koran, majalah, portal berita, dan apalagi media sosial. Beragam cara membunuh dan motif pembunuhan pun dapat kita temukan dengan mudah layaknya buku-buku tips dan trik yang praktis dan mudah dipelajari.
Akan tetapi, tentu saja, cerpen-cerpen dalam antologi ini—ditulis oleh para siswa SMP/SMA Pondok Pesantren Daar El Qolam 3—tidak memiliki tendensi untuk mengajari kita agar melakukan tindak kekerasan, apalagi pembunuhan. Sebab, bagaimanapun, tokoh-tokoh yang hidup di dalam cerpen-cerpen dalam antologi Keloyang ini, cerpen-cerpen yang luar biasa ini, memiliki latar sosial, karakter, dan psikologi yang utuh, yang membentuk tokoh-tokoh tersebut sedemikian rupa. Barangkali, para penulis kita ini hanya hendak membuat pembaca terguncang, ngeri, merinding, dan ketakutan. Dan jika para penulis kita ini memang hendak menciptakan horor, ketegangan, dan membuat para pembaca merinding ketakutan, tampaknya mereka cukup berhasil. Sebab, sembari membaca dan meresapi cerpen-cerpen yang ditulis dengan beragam gaya tutur ini, sesekali saya pun merasakan kengerian dan merinding.
Betapa, di dalam cerpen-cerpen dalam antologi Keloyang ini, akan kita menemui seorang anak yang rela-ikhlas dibentak, dipukul, dan dilukai oleh ibunya sendiri yang tengah mengidap depresi (Aku Bukan Seorang Pembunuh karya Mu’wah); ada seorang perempuan gila sekaligus kanibal (Putri Jalang dan Pria Tua Misterius karya Rizaldi Mu’min); ada gadis bernasib sial karena bertubi-buti ditimpa kemalangan dan mati di tangan lelaki yang ditolaknya—sementara sang pacar yang menjadi motif penolakan itu malah mengirimkan surat undangan pernikahan—(Undangan Kematian karya Riska Nurlita); ada seorang anak yang penasaran kepada tingkah kedua orang tuanya yang ternyata “pemuja setan”—mungkin demi setumpuk kekayaan—yang berujung pada pengorbanan nyawa sendiri (Di Balik Pintu karya Husni Lathifah).
Dan selain itu, dengan sudut pandang dan gaya penceritaan yang sama sekali berbeda dengan cerpen-cerpen lainnya, cerpen Keloyang karya Taqiyyah Fathin Harda begitu memikat perhatian saya. Meskipun sama-sama menyuguhkan kekerasan, dari percekcokan sepasang suami-istri yang tak mau saling mengalah, hingga si suami nekad membakar rumahnya sendiri dan membiarkan si istri mati di dalamnya, hingga ia mengakui kesalahan di depan anaknya (Adinda) dan kemudian mati bunuh diri dengan menikamkan pisau ke kepalanya sendiri, cerpen Keloyang dituturkan dengan menggunakan sudut pandang pohon beringin. Ya, pohon beringin yang tumbuh di dekat “keloyang”-lah yang berkisah tentang kehidupan tokoh utama.
Sedari mula, pembaca telah diajak untuk bersimpati hanya kepada tokoh utama yang disapa sebagai “kau”, yakni Adinda. Sementara penggambaran karakter masing-masing tokoh, tidak diselami sedemikian rupa—yang memang tak perlu untuk kasus cerpen seperti ini—, melainkan digambar secara filmis melalui tindakan-tindakan mereka. Cerpen ini menjadi menarik sebab tokoh-tokohnya dibiarkan bergerak dan bertindak sesuai kehendak mereka, dan narator—si pohon beringin raksasa—hanya bertindak sebagai pengisah.
Meskipun narator pernah berupaya mencapuri urusan dan mencegah Adinda agar tak menyelamatkan seorang anak yang akan tenggelam di keloyang, sebab itu akan mengancam keselamatannya sendiri, toh tindakan Adinda tak pernah bisa dicegah dan hanya bisa dinarasikan sang narator. Keberhasilkan cerpen ini justru terletak pada gerak leluasa tokoh-tokohnya yang dibiarkan hidup dan memutuskan sendiri apa-apa yang hendak dilakukannya.
Namun demikian, ternyata tidak semua cerpen dalam antologi ini menghadirkan kisah-kisah yang berujung pada kematian dengan cara-cara yang sadis dan mengerikan. Tidak. Beberapa cerpen seolah ingin menghadirkan “cara membunuh yang paling subtil”, dan dikisahkan secara piawai. Saya katakan sebagai “cara membunuh yang paling subtil” karena kematian itu tidak menghampiri sang tokoh dengan semena-mena, melainkan membuatnya tersiksa menanggung beratnya kesedihan, dinginnya kesepian, sesaknya kerinduan, perihnya kesetiaan, sembari terus saja menjaga api harapan, selama berpuluh-puluh tahun dan menanggung segala lara-deritanya sendirian.
Lihatlah cerpen Yang Tak Sempat Terucap karya El Rama Dianti dan cerpen Kematianku, Pertemuanku karya Gina Hayaturrosyidah. Keduanya berkisah tentang seorang perempuan tua yang hidup sendirian dalam penantian yang panjang dan kerinduan yang tak tertanggungkan. Dan tragisnya, kedua tokoh perempuan tua di dalam dua cerpen itu, menemui maut hanya beberapa saat sebelum kerinduan mereka yang menahun itu lunas terbayar.
Dalam cerpen Yang Tak Sempat Terucap, El Rama Dianti menyuguhkan kisahan tentang seorang perempuan renta yang terus saja bersetia pada kekasihnya yang pergi merantau sekian lama. Sekalipun ia telah menjadi perawan tua, ia tetap bersetia dan menunggu kekasihnya menuai janji, meminang dan membahagiakannya. Namun, beberapa menit sebelum lelakinya itu tiba, bahkan langkahnya mungkin masih sempat tertangkap telinga si perempuan tua, malaikat maut keburu datang menjemput. Ia mati dalam hening dan sendiri.
Dan kekasihnya, mungkin karena merasa berdosa karena telah membunuhnya secara perlahan-lahan—dengan cara meninggalkannya sekian lama dan membiarkan kekasihnya hidup dalam kesendirian—atau karena depresi karena kehilangan kekasih tepat pada saat ia telah siap memenuhi segala janji, akhirnya hanya bisa memesrai seonggok tubuh kaku yang telah menjadi mayat itu. Diajaknya mayat sang kekasih tercinta itu berjalan-jalan, diajak ngobrol tentang kebahagiaan. Hingga akhirnya, seluruh warga kampung yang resah karena terus-menerus mencium bau busuk yang menguar dari tubuh mayat itu, mengusir dan menuduhnya gila. Maka, dengan berat kesedihan yang purna, ia terpaksa pergi ke sebuah danau, menarik perahu bagi tempat tinggalnya bersama mayat kekasihnya. Sungguh, kisah yang romantis sekaligus tragis!
Sementara itu, dalam Kematianku, Pertemuanku, Gina Hayaturrosyidah menghadirkan sosok perempuan tua yang telah ditinggal mati suaminya, dan ditinggal anak perempuan semata wayangnya pula. Dua puluh tiga tahun semenjak suaminya meninggal, dan anak perempuannya entah berada di mana, ia hidup sendirian. Ada rindu yang menggelegak ketika menziarahi makam suami. Bahkan, ia tak segan mempertanyakan kapan ia akan meninggal. Namun, suatu ketika, sebuah baju hangat dan selembar surat diterimanya. Ya, surat dari anak perempuannya, yang berkabar bahwa anak perempuannya itu telah beranak dua dan berjanji akan menengoknya, sekaligus hendak memperkenal anak-anaknya kepada nenek mereka.
Harapannya membumbung. Dan ia tak ingin lagi lekas-lekas mati. Tapi, malang tak bisa ditolak. Kematian tak bisa elak. Sebab, malaikat maut yang tak pernah berkirim surat sebelum menemuinya itu, mendahului anak dan cucu-cucunya—yang jelas telah berkirim surat lebih dulu—, tepat ketika mereka hendak membuka pintu rumahnya…. Hanya ruh si perempuan tua itu yang bertemu anak dan cucu-cucunya. Ia tak berdaya, dan tak pernah berhasil memeluk mereka untuk menumpahkan segala rindu yang menggunung selama bertahun-tahun.
Begitulah. Dan meskipun beberapa cerpen masih tampak lemah dalam teknik penceritaan, atau tuturan, atau karakter dan motif tindakan tokoh-tokohnya, atau logika cerita, para penulis kita ini menyimpan potensi besar untuk menjadi cerpenis andal, menjadi para sastrawan Indonesia di masa depan. Tapi tentu, semua itu akan tercapai hanya dengan proses belajar yang terus-menerus, tidak cepat berpuas diri, tidak mudah berputus asa, bersikap terbuka dan menghargai kritik, dan di bawah bimbingan seorang mentor seperti Ahmad Moehdor al-Farisi—yang saya yakin akan sangat menyenangkan jika diajak berdiskusi.
Terakhir, saya ingin mengucapkan selamat kepada para cerpenis yang karya-karya dimuat dalam antologi Keloyang ini, dan semoga ini bukan karya terkahir kalian. Dan kepada para pembaca, saya ucapkan selamat memasuki “galeri kematian” Keloyang ini, selamat “terguncang” dan “bergidik ngeri”.
Mari kita nikmati cerita-cerita yang dikisahkan para penulis masa depan ini…. Sebab, bukankah hidup yang singkat ini akan terasa lebih memikat jika kita menyertainya dengan membaca karya sastra? Tabik. [*]
Serang, 19 Desember 2015
Niduparas Erlang, cerpenis, esais.