Oleh: Muhammad Iqbal
biem.co – Sambil menikmati kopi, malam menjelang subuh, saya baca ulang catatan Ade Ubaidil di kolom Voice biem.co, 19 Februari 2016 lalu. Dengan judul “Bicara Lawan Korupsi, Bicara Melawan Diri Sendiri”, Ade menulis tentang korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.
Hal menarik, ketika Ade bicara soal pentingnya melawan korupsi dengan hipotesis gerakan mahasiswa yang lebih memilih turun ke jalan dari sekadar masuk di ruang kelas untuk mengikuti mata kuliah sebagai syarat kelulusan.
“Korupsi pantas diberangus, makanya lebih baik segera turun ke jalan, membuat barisan, atau sekadar kumpul-kumpul rapat dengan banyak aktivis dan kakak-kakak senior. Perkara membuat file laporan praktikum, paper, jurnal, resume, dan makalah cukup berbisik saja pada kakak angkatan yang satu jurusan, meminta file laporan yang mirip-mirip, kemudian tinggal ubah dan ganti saja judul, tanggal, pendahuluan, font tulisan, nama mahasiswa, dan aksesoris lainnya yang pantas untuk dipoles, persis pula seperti yang dilakukan oleh sebagian senior-senior mereka terdahulu.
Tak ada yang salah dengan titip absen ketika jam kuliah sedangkan kita memilih untuk mengikuti demo antikorupsi! Jelas-jelas itu dua hal yang berbeda, dan kita sedang ‘membela negara’. Dan begitulah terus sampai turun-temurun. Tapi, itu lebih baik ketimbang para pejabat yang kadang memutuskan sebuah kebijakan pemerintah tanpa riset serius. Bila dia mahasiswa, barulah sah-sah saja. Mengerjakan tugas memakai sistem kebut semalam (SKS) pun pasti sanggup dan itu tidak dilarang. Siapkan saja kuota internet atau paket begadang, modal Wikipedia saja, makalah bakalan kelar, dan mengaku hasil buah pikirnya, tanpa menyertakan sumber otentiknya. Wong, kalau dilihat-lihat, terkadang materi presentasi yang biasa dosen sampaikan saja sama persis dengan apa yang pernah kita dapatkan dari Google. Tinggal klik, semua beres! Seimbang,’’ tulis Ade.
Kalau kita perhatikan, pernyataan Ade Ubaidil yang bercampur sinisme itu sebetulnya hendak menggugat mereka—para mahasiswa yang terlibat di sebuah organisasi kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan sebagainya. Seolah Ade ingin menanyakan tentang peran dan fungsi mahasiswa dengan segala rutinitas aktivitas yang melelahkan. Seolah Ade ingin menggugat mahasiswa sebagai konsekuensi logis dari menguatnya polarisasi kelompok. Apatisme, hedonisme, seolah Ade ingin menggugat peran aktivis mahasiswa yang mungkin dari kita sulit membedakannya dengan event organizer kampus.
Memang, secara istilah mahasiswa berdiri sebagai ‘kaum pengkritik’ (pressure group). Maka, menjadi kewajiban seorang mahasiswa untuk berperan aktif dalam mengawal berbagai kebijakan pemerintah. Termasuk membuat bangsa ini terbebas dari segala praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Barangkali hal tersebut kurang diperhatikan oleh Ade sahabat saya di Universitas Serang Raya (Unsera).
Menjadi bagian dari aktivis kampus, saya wajib membela diri. Saya mencoba tawarkan alternatif agar mahasiswa tetap bisa mengikuti proses perkuliahan tanpa menghilangkan peran dan fungsinya sebagai kaum pengkritik. Adakah cara alternatif untuk melawan aksi ini? Cara yang saya tawarkan adalah melakukan perlawanan dari ruang kelas.
Coba kita renungkan, korupsi itu apa? Saya kadang bingung sendiri menjawab pertanyaan sederhana itu. Kita tahu semua jenis praktik yang disebut korupsi: mengambil uang negara untuk kepentingan pribadi, menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok, memperkaya diri sendiri atau kelompok dengan kekuasaan yang dimiliki. Saya mencoba menawarkan alternatif agar mahasiswa tetap bisa mengikuti proses perkuliahan tanpa menghilangkan peran dan fungsinya sebagai kaum pengkritik.
Jika ada sekitar 40 juta masyarakat di Indonesia merupakan pengguna layanan internet aktif. Mayoritas dari mereka aktif dalam berbagai kegiatan di media sosial. Jumlah tersebut tentu lebih dari cukup untuk menciptakan sebuah petisi di dunia maya tentang pentingnya melawan korupsi.
Cara kedua dapat dilakukan dengan melakukan diskusi aktif tentang bahaya laten korupsi, kolusi, dan nepotisme. Setelahnya, kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari sambil mempersiapkan diri dalam kehidupan pasca kampus. Hal tersebut mutlak diperlukan karena segala persoalan yang reaksioner, harus dianalisis melalui kajian rutin secara mendalam sebelum mencapai kesimpulan.
Cara ketiga, dapat dilakukan dengan menerapkan kesimpulan dalam bermasyarakat pascakampus soal pentingnya melawan korupsi kepada diri sendiri dan lingkungan. Tinggal bagaimana motode dan cara kita, tanpa mengurangi peran dan fungsi sebagai mahasiswa, sambil menyiapkan kehidupan pasca kampus. Karena, melawan praktik korupsi perlu dimulai dari hal yang paling terkecil seperti lingkungan, keluarga, dan yang lainnya.
Mungkin, ketiga cara tersebut merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap korupsi dari ruang kelas. Korupsi harus dilawan dengan berbagai cara, seperti sosialisasi dan diskusi aktif tentang korupsi terhadap masyarakat, terutama kalangan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Untuk itu, perlawanan korupsi dari ruang kelas mendesak untuk dilakukan sedini mungkin. [*]
Muhammad Iqbal, pegiat kajian di Lintas Mahasiswa Unsera (LMU).