Oleh: Lilo Ahmad Rohili
biem.co — “Aduh, malam ini penampilan kamu apalah-apalah, deh!”, “Kamu sekarang apalah-apalah banget! Apose-apose, lah!”
Kata apalah-apalah belakangan mendadak menjadi jargon populer di kalangan masyarakat. Dua kata tersebut terceplos dari mulut seorang juri di salah satu acara pencarian bakat di televisi swasta, yaitu Iis Dahlia. Pedangdut cantik tersebut sukses menularkan deman apalah-apalah di Tanah Air. Tak hanya orang dewasa, tetapi juga anak kecil hingga orangtua terkena virusnya.
"Awalnya spontan saja, karena acaranya live. Daripada aku ngomong sesuatu yang seharusnya disensor, mending diganti dengan apalah-apalah. Nah, terserah deh, apalah-apalah ini mau ditafsirkan dengan arti seperti apa," ungkap pelantun "Payung Hitam" ini yang saya dengar ketika diwawancarai lewat tayangan infotainment. Kata apalah-apalah menjadi begitu populer. Ungkapan apalah-apalah itu sendiri saya coba tafsirkan sebagai ungkapan seolah mewakili sebuah perasaan kagum pada sesuatu yang hampir mengarah pada tingkat kesempurnaan. Begitu dekatnya dengan sempurna hingga sulit untuk dideskripsikan seperti apa. Apalah-apalah sejajar dengan ungkapan hebat, keren, mantap, bagus dan kata lainnya yang bernada sama. Saya tidak cukup mumpuni untuk membahas fenomena apalah-apalah ini dari sisi pembentukan kata atau morfologi. Saya cenderung tertarik pada penafsiran saya pribadi mengenai ungkapan tersebut lalu disangkut-pautkan dengan profesi yang sedang saya geluti saat ini, yaitu sebagai guru.
Dalam bidang apapun, memang kita senantiasa dituntut untuk berusaha untuk melakukan yang terbaik, mendapatkan hasil yang terbaik dan menjalaninya dengan cara yang terbaik pula. Memiliki sifat optimis dan berusaha semaksimal mungkin dengan selalu bertawakal serta tetap berusaha untuk menggapai impian yang kita cita-citakan. Allah Swt. memerintahkan kita untuk terus berusaha memberikan yang terbaik. Manusia terbaik adalah yang terus bergerak, memanfaatkan setiap potensi yang dia miliki untuk kehidupannya. Keseimbangan hidup di dunia dan akhirat haruslah diupayakan, sebagaimana hadits yang sering kita dengar, “Berbuatlah untuk duniamu seolah kamu hidup selamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu, seolah kamu mati esok hari.”
Tak terkecuali menjadi seorang guru. Guru dituntut untuk menjadi apalah-apalah. Terutama di zaman yang semakin berubah. Perkembangan zaman terus pesat. Kemajuan terjadi di segala lini kehidupan. Apapun itu, setiap sendi kehidupan, saat ini tak akan luput dari perhatian dan pasti akan dibumbui dengan kemajuan, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika guru tidak ikut berubah niscaya akan dianggap tidak up to date bahkan ditinggalkan peserta didiknya. Cara penyampaian materi pada peserta didik perlu diperkaya. Cara-cara yang monoton dan searah harus segera ditanggalkan. Gali terus potensi dan carilah gaya komunikasi dua arah yang menyenangkan yang melibatkan peran aktif semua siswa. Bila perlu, guru harus memiliki talenta lebih banyak dari sekadar mahir menyampaikan materi di depan kelas. Penuh motivasi untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri. Ketika profesi guru dijalankan dengan penuh motivasi maka roda pembelajaran akan ikut berjalan baik pula. Dengan kualitas yang semakin baik, seorang guru akan dapat menjadi fasilitator dan pendamping yang baik bagi peserta didiknya.
Setidaknya ada lima peran yang harus dimiliki oleh seseorang ketika mengabdikan dirinya pada profesi sebagai tenaga pengajar. Lima talenta ini saya refleksikan dari buku Gulali Guru terbitan Alif Gemilang Presindo pada tahun 2015 yang ditulis oleh guru-guru SMA Terpadu Al-Qudwah. Buku yang berisi kisah-kisah inspiratif tersebut sempat diulas di kolom resensi buku di harian Radar Banten edisi Senin, 24 Agustus 2015.
Gulali Guru terbitan Alif Gemilang Presindo pada tahun 2015 yang ditulis oleh guru-guru SMA Terpadu Al-Qudwah.
Pertama, guru harus juga memiliki peran sebagai pelayan. Memberikan perhatian sepenuhnya pada peserta didik. Orientasinya bukanlah untuk kepentingan pribadi atau golongan, namun lebih kepada kepentingan peserta didik yang diajarnya. Ini saya temukan di halaman 7 lewat tulisan Apriyadi yang menyatakan bahwa guru yang menjalani profesi atas panggilan nuraninya. “Pengertian ini memberi inti bahwa mendidik adalah sikap melayani orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan tertinggi. Skenarionya, adalah semata untuk mengagungkan Allah Swt. (finding God in all things). Paradigma tersebut sebagai confirm satisfaction. Mindset telah bergeser dari fokus kepada diri sendiri (bekerja demi gaji dan karier) menjadi altruistic yaitu mengabdi kepads Allah Swt. dengan melayani sesama. Pamrih mereka sedikit. Mereka bekerja dan berkarya secara nyata. Ukuran keberhasilan bukan mengenai seberapa besar harga atas ilmu yang sudah diberikan, tetapi mengenai kepuasan para peserta didik atas pelayanan mereka.”
Kedua, menjadi guru juga harus berperan sebagai pendengar yang baik. Ini diungkapkan Linda Noviyana, guru Geografi. Saat menjadi pendengar yang baik, ia merasa lega karena bisa bermanfaat bagi orang lain. “Tanpa harus memberikan bantuan secara finansial, ternyata menjadi pendengar dan penasihat yang baik, membuatku merasa menjadi lebih berarti,” ungkapnya di halaman 18 kemudian diperkuat di halaman 19 bahwa ternyata menjadi seorang guru bukan lakon yang mudah. Perannya yang menuntut ia untuk selalu berada di dekat siswa. Bukan hanya mentransfer bait demi bait ilmu, tetapi dituntut harus selalu ikhlas menyediakan segala kelapangan hati dan pikiran untuk semua muridnya.
Ketiga, guru berperan sebagai pembimbing. Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreativitas, moral, dan spiritual yang lebih dalam serta kompleks. Ini saya temukan lewat tulisan Solehatun Nupus sebagai guru Bimbingan Konseling. Saya baca di halaman 137 yang menyatakan bahwa sebagai seorang guru, tidak cukup rasanya hanya mengatakan “Tidak boleh pacaran!” atau “Pacaran itu haram!”, kemudian mereka akan manut begitu saja. Butuh banyak pendampingan dan harus siap melonggarkan telinga untuk mendengarkan cerita mereka yang temanya pasti selalu sama, yaitu jatuh cinta, patah hati, atau galau tingkat tinggi. Pada saat seorang anak berani jujur mengatakan perasaan tentang cinta remajanya, hadirnya figur guru menjadi sosok teman untuk berbagi rasa dan pengalaman sehingga tidak ada lagi jarak antara yang tua dan muda. Pada saat seorang anak berani jujur tanpa takut akan pandangan gurunya tentang kesalahan dirinya mengambil langkah dengan teman lelakinya, tanpa takut akan diberikan nilai rendah dalam rapotnya apabila ternyata dalam tindakannya itu sebuah kesalahan.
Keempat, guru berperan sebagai model. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai model atau teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Mulai dari sikap, bicara, kebiasaan bekerja, pakaian, sampai gaya hidupnya. Semangat bekerja keras saya temukan ditulisan Resiana yang berjudul Perempuan di Persimpangan Jalan. Dalam tulisan tersebut mengisahkan bagaimana guru berjuang keras membagi waktu antara tanggung jawab sebagai pengajar dan seorang ibu yang harus mengurusi anaknya. “Menjadi seorang guru sekaligus seorang ibu bukanlah perkara yang mudah. Di tengah kesibukan mengajar seringkali kita dihadapkan pada situasi yang sulit manakala kita harus memilih pekerjaan atau keluarga. Misalnya saja yang saya alami sekitar enam tahun yang lalu saat sedang mengandung anak pertama, banyak sekali tantangan yang saya hadapi mulai dari perut yang mulai membesar, mual-mual, pusing, sampai proses melahirkan bukanlah hal yang mudah untuk dilewati, itulah sebabnya mungkin Allah Swt. menjadikan perempuan sebagai mahluk yang istimewa. Namun, sebagai seorang guru, saya harus tetap menunaikan kewajiban saya untuk mendidik anak-anak bangsa yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga memiliki akhlakul karimah yang baik karena tujuan pendidikan bukan hanya sekedar mentransfer pengetahuan (transfer of knowlwdge) tetapi bagaimana mengajak dan membimbing anak didik kita agar memiliki moralitas yang baik.”
Kelima, guru (terkadang) berperan sebagai aktor. Tahun demi tahun sang aktor berusaha mengurangi respon bosan dan berusaha meningkatkan minat para penonton. Tak terkecuali seorang guru harus senantiasa menciptakan suasana baru dan menghibur demi terciptanya lingkungan kelas atau sekolah yang menyenangkan. Perilaku guru untuk bisa diterima para siswa dan menyenangkan, ditempuh secara ekstrem oleh Lilo Ahmad Rohili. Guru bahasa Indonesia ini bahkan tak sungkan ‘membadut’ supaya para siswa menyenangi pelajaran bahasa Indonesia yang selama ini banyak diremehkan siswa. Pada halaman 53 Lilo menuliskan, “Saya tak takut kharismatik saya jatuh sebagai guru, saya tak peduli menunjukkan wajah terjelek saya. Ditertawakan, dikeprokin terkadang di-bully. Tak ubahnya seperti badut. Semua saya lakukan semata-mata demi para siswa. Anak-anak saya.”
Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Bahkan bisa saja apa yang saya kemukakan di atas hanya secuil dari peran yang harus dimiliki guru. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi guru maupun calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran. Oleh karena itu, guru itu harus senantiasa apalah-apalah.
Lilo Ahmad Rohili, guru di SMA Terpadu Al-Qudwah, Rangkasbitung, Banten.