Judul: Anak-anak Masa Lalu
Penulis: Damhuri Muhammad
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan I: Juni 2015
Tebal: viii + 121 halaman.
ISBN: 978-979126046-6
Oleh Niduparas Erlang
biem.co — Dalam membaca kumpulan cerpen Anak-anak Masa Lalu karya Damhuri Muhammad, saya terseret dan terpelanting begitu rupa pada serentetan masa lalu yang (agaknya) pernah saya rasai sekaligus saya kenangkan sendiri. Barangkali, keberhasilan seorang pencerita seperti Damhuri Muhammad, memang menyediakan sebentuk ruang untuk melayangkan pembacanya pada ingatan-ingatan akan masa lalu itu. Bukan pada masa lalu si pengarang atau masa lalu tokoh-tokoh di dalamnya, melainkan pada masa lalu si pembaca itu sendiri. Betapa, cerpen “Anak-anak Masa Lalu”—yang dijadikan judul kumpulan cerpen ini—, mengingatkan saya pada dongengan nenek saya sewaktu kanak-kanak dulu. Dongeng yang kadang-kadang diulang-ulang dalam beberapa malam, sekadar untuk menakuti-nakuti saya agar lekas tertidur lelap dan tidak main terlalu jauh dari rumah, apalagi bermain di jembatan ketika rembang senja mengambang sementara saya malas pergi mengaji. Dongengan yang, sampai hari ini, tidak pernah saya identifikasi kebenarannya—perlukah mengidentifikasi kebenaran sebuah dongeng?—, tapi terus saja melekat dalam tempurung kepala saya: tentang para penculik, yang mengubur bocah-bocah “nakal” di antara rangka baja dan beton di dalam sebuah jembatan.
Ya, cerpen “Anak-anak Masa Lalu” memang bertutur mengenai jembatan yang konstruksinya tidak hanya dibangun dengan rangka baja dan beton, melainkan juga dengan kepala anak-anak yang dipenggal. Mirip benar dengan apa yang pernah didongengkan nenek saya dulu, yang membuat saya kerap membayangkan sekujur tubuh saya yang ringkih ini terhimpit rangka baja, beton, dan terkurung di lantai jembatan yang saban hari dilewati berbagai macam kendaraan sarat muatan, hingga membuat dada saya sesak, merinding, lalu jatuh tertidur karena ketakutan. Tapi itu dulu, di lampau waktu, datang dari zaman baheula; bukan pada zaman kiwari, di sini, setelah saya melintasi masa transisi dan terseret arus modernisasi-globalisasi. Sebab dongengan nenek saya itu, rasanya kini, terasa mistis benar dan tak lagi bersesuai dengan logika zaman.
Ah, sebelum terlalu lebih jauh saya melantur tentang dongengan nenek saya dulu, ada baiknya saya paparkan sedikit tentang cerpen “Anak-anak Masa Lalu” itu. Mungkin sedikit pemaparan berikut ini bakal ada gunanya, walaupun saya tidak begitu menyukainya karena beranggapan bahwa pemarapan ulang semacam ini justru akan mereduksi keutuhan cerpen. Ada detail yang mungkin luput, ada kisahan yang mungkin tak bersesuai. Maka sebaiknya, saya pikir, Anda perlu membaca cerpen-cerpen yang akan saya bicarakan berikut ini secara langsung. Namun begitu, kali ini saya merasa sedikit perlu untuk sedikit memaparkannya.
Begini: cerpen “Anak-anak Masa Lalu” itu berkisah mengenai Alimba, yang di masa kanak-kanaknya itu, pernah melanggar pantang-larang untuk tidak bermain di Jembatan Sinamar tepat di saat berserah-terimanya Ashar dan Maghrib! Namun, sebagaimana kenakalan dan kenekatan seorang anak, Alimba dan kawan-kawannya itu, mengendap-endap juga mendekati Jembatan Sinamar, tepat pada waktu terlarang. Dan akibat ulahnya itu, Alimba kesurupan roh salah satu anak—yang di masa lalu—kepalanya dipenggal dan dibenamkan di dalam Jembatan Sinamar, yang pada akhirnya membongkar sebuah rahasia usang. Rahasia tentang kekokohan konstruksi Jembatan Sinamar yang tidak pernah lapuk dimakan usia, bahkan tidak berguncang sekalipun diterpa gempa hebat. Rahasia yang pada akhirnya mesti dibenarkan oleh Tongkin, sang dukun pilih tanding yang (tampaknya) telah gagal mengobati Alimba yang kesurupan.
…. Tongkin membeberkan bahwa jika Jembatan Sinamar hanya dipancangkan dengan beton-beton bertulang, menimbang usianya yang sudah uzur, tentu sudah rubuh. Namun, tiga kepala yang dibenamkan bersama adukan cor, telah membuatnya bagai tiada pernah lapuk dimakan usia. Saat gempa dahsyat memporak-porandakan rumah-rumah warga kampung Subarang, Jembatan Sinamar, jangankan runtuh, terguncang pun tidak. Tiang-tiangnya masih menancap kokoh, apalagi lantainya, meski setiap hari truk pasir bermuatan sarat lalu-lalang melintasinya. Dan, itu sudah berlangsung bertahun-tahun (hlm. 18).
Nah, sampai di sini, agaknya Damhuri Muhammad—melalui cerpen “Anak-anak Masa Lalu” itu—tengah memainkan suatu kontradiksi antara yang lokal-tradisi dan yang global-modern, dengan membenturkan antara pemikiran logik-matematik (dalam membangun jembatan dengan konstruksi yang presisi dan perhitungan yang cermat menguntungkan) dan kepercayaan mistis yang tak masuk akal (dengan menambahkan tumbal berupa beberapa penggal kepala manusia dalam pembangunan jembatan).
Dan ternyata, sepanjang saya melakukan pembacaan terhadap cerpen-cerpen lainnya, tak hanya melalui cerpen “Anak-anak Masa Lalu” itu saja Damhuri Muhammad memainkan kontradiksi secara bermuka-muka. Kontradiksi-kontradiksi atau benturan-benturan antara mitos dan logika, antara yang mistis dan matematis, antara yang sakral dan profan, antara yang kampung dan yang rantau, antara yang tradisi dan globalisasi, terasa begitu kuat pada hampir semua cerpen dalam kumpulan cerpen Anak-anak Masa Lalu ini. Barangkali, dalam bahasa anak-anak muda yang belakangan gandrung dengan istilah “kekinian”, Damhuri Muhammad adalah semacam seorang penulis yang tengah menyuguhkan benturan “antara yang baheula dan yang kiwari”. Atau dalam istilah Subagio Sastrowardoyo, barangkali Damhuri Muhammad termasuk salah seorang “pengarang modern [yang memosisikan diri] sebagai manusia perbatasan”—yang sekalipun hidup dalam riuh globalitas dunia perkotaan namun melulu melongok tradisi dan kearifan yang mekar di kampung halaman.
Tengoklah misalnya, cerpen bertajuk “Kepala Air” yang membenturkan antara yang sakral dan profan. Cerpen tersebut mempertentangkan antara “perubahan dan kemajuan” dengan “yang bertahan dan statis”. Kelompok pertama diwakili oleh delapan orang juru kunci kawasan Kepala Bandar yang hendak mengubah daerah Lubuk menjadi tempat pariwisata, yang diharapkan bakal mendatangkan kelimpahan rezeki bagi mereka dan anak-cucu kelak. Sementara kelompok kedua, hanya terwakili seorang juru kunci, Ku Imam, yang bersikukuh mempertahankan daerah tersebut sebagai tempat keramat dan sakral bagi penggalian suatu kearifan. Dalam cerpen ini, tersirat dengan jelas bahwa perubahan dan kemajuan selalu didukung oleh lebih banyak orang, walaupun perubahan tersebut akan berefek merusak tatanan masyarakat. Sementara mempertahankan kearifan lokal bagi suatu pembelajaran hidup yang lebih berharga, kehilangan—atau dihilangkan secara paksa—penyokongnya begitu rupa.
Sementara cerpen “Banun”, “Orang-orang Larenjang”, “Tembiluk”, dan “Ambai-ambai”, juga mempertentangkan benturan-benturan tersebut dalam skala yang berbeda. Dalam cerpen “Ambai-ambai”, misalnya, tokoh “Aku” dan adiknya, Aini, yang adalah anak seorang bekas ambai-ambai (pelacur), kerap dituntut atau menuntut diri sendiri untuk tidak memedulikan gunjingan orang-orang dan keluarga besar mereka tentang aib dan masa lalu ibunya. Sedapat-dapatnya kami menebalkan muka, menganggap semua hinaan pada ibu sebagai omong kosong lantaran kedengkian keluarga ayah, kata “Aku”. Identitas masa lalu ibunya itu memang selalu ditutupi rapi-rapi oleh ayah-ibu mereka—bahkan sang ayah rela tersingkir dari daftar silsilah keluarga. Namun begitu, ternyata “Aku” dan Aini tak cukup mampu menjalankan wasiat si ibu yang meninggal karena kanker rahim itu, dengan menerima ambai-ambai lain sebagai istri pengganti ibu bagi ayah mereka. Kami terlahir sabagai anak-anak ayah karena ambai-ambai, dan kami meninggalkan ayah, juga karena ambai-ambai…., simpul tokoh “Aku”, yang seolah menyiratkan keberterimaan sekaligus ketidakberterimaan terhadap sosok ambai-ambai.
Cerpen “Banun” pun tak juah berbeda. Tokoh Banun yang kemudian dikenal sebagai Banun Kikir—karena ia mengukuhi laku seorang petani ulung yang tak mau bergantung pada apa pun selain hasil tani di ladang dan sawahnya sendiri—, malah menjadi olok-olokan masyarakat agraris yang pemikirannya telah bergeser sedemikian jauh, dan malah menggantungkan hidup pada logika pasar yang menjerumuskan masyarakat kita pada budaya konsumtif: Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam?, sebagaimana prinsip hidup Palar. Pergeseran pemikiran itu, tak pelak lagi disebabkan oleh globalisasi dan buah dari pendidikan modern. Hal itu tampak dalam pandangan tokoh Palar, yang bahkan tak segan-segan melego sawahnya untuk membiayai kuliah anaknya, Rustam, untuk beroleh gelar insinyur pertanian. Ah, ada yang kontradiktif (lagi) di sini. Betapa, sawah dan ladang malah dibiarkan terjual demi menghasilkan seorang insinyur pertanian—yang kelak tak lagi mendapati sawah dan landang sebagai lahan garapan. Insinyur pertanian tanpa tanah pertanian. Lucu benar. Tapi, Banun tetap teguh dalam menjalani laku hidup seorang tani (tahani), sekalipun keraguan bertahan hidup seperti itu belakangan datang juga dari anaknya sendiri. Hal yang sama dapat ditemukan dalam cerpen “Orang-orang Larenjang”, ketika Julfahri yang berpendidikan menentang—sekaligus melukai perasaan Bendara Gemuk—dengan melanggar pantangan adat yang tidak membolehkan perkawinan satu suku. Dalam kedua cerpen tersebut, kemalangan dan nasib sial justru menimpa “para pelanggar”.
Beberapa cerpen lainnya yang juga berkisah dalam lanskap suatu perkampungan, menyuguhkan mitos-mitos yang menguarkan aroma magis, mistis, serta pertarungan suatu ilmu kanuragan. Kemagisan atau kemistisan itu tampak dalam cerpen “Tembiluk”, “Badar Besi”, dan “Bayang-bayang Tujuh”. Namun, selain menguarkan aroma magis dan mistis, dalam ketiga cerpen tersebut, benturan-benturan antara yang baheula dan yang kiwari tetap terasa kuat dan saling tarik-menarik. Barangkali, betapa pun pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dan kerasnya pergulatan di tanah perantauan, suatu perkampungan masih—atau selalu—menyediakan segenap ruang bagi berbagai hal yang tidak bisa dicerna nalar.
Sementara itu, cerpen lain yang membukakan ruang bagi masa lalu saya adalah cerpen-cerpen yang terus saja menebalkan luka-derita sepasang kekasih yang memendam duka-lara teramat panjang, teramat perih dan letih, sembari terpaksa menikmati kesunyian masing-masing yang tak lagi berujung-pangkal, seperti tampak dalam cerpen “Reuni Dua Sejoli”, “Dua Rahasia, Dua Kematian”, dan “Lelaki Ragi dan Perempuan Santan”. Ketiganya, bagi saya, berkisah tentang kesetiaan yang dirawat-dimesrai dengan segenap luka yang tak tertanggungkan, sekalipun berujung pada kematian. Luka dan cinta yang melulu berkelindan tak berkesudahan.
Ah, barangkali, kesemua cerpen dalam Anak-anak Masa Lalu adalah bagian dari serpih-serpih masa lalu yang tidak bisa ditanggalkan begitu saja, sekalipun modernisasi-globalisasi tak mungkin lagi dielakkan. Masa lalu itu, mungkin, terus saja berpilin-kelindan dalam kepala seorang pendongang modern seperti Damhuri Muhammad—juga dalam kepala pembaca seperti saya—, yang selamanya menempati posisi tegangan, saling tarik-menarik, bermuka-muka, antara yang baheula dan yang kiwari. [*]
Niduparas Erlang, cerpenis, esais