Oleh: Media Sucahya
biem.co – Presiden Amerika Serikat Richard Nixon 1973 ingin menghemat pemakaian energi dengan merencanakan melarang siaran televisi dan radio pada malam hari. Sebelum kebijakan tersebut ditetapkan, ia ingin mengetahui reaksi publik dengan memerintahkan stafnya membocorkan isu tersebut kepada wartawan. Wartawan kemudian memberitakan rencana tersebut, dan hasilnya publik menolak. Nixon pun membatalkan rencana tersebut.
Nixon menggunakan media untuk mengetahui keinginan rakyat dengan teknik trial ballons. Apa yang dilakukannya untuk kepentingan negara yang saat itu tengah menghadapi resesi ekonomi. Nixon menggunakan media bukan untuk kepentingan pribadi, mencari popularitas, ingin tersohor, atau ingin ngetop. Termasuk tidak menggunakan media untuk menakuti-nakuti rakyat.
Di Indonesia, banyak penyelenggara negara atau politikus yang menggunakan media untuk kepentingan pribadi, menyerang berbagai pihak yang mencoba mengontrol jalannya pemerintahan, serta mengerdilkan peran masyarakat madani. Penyelenggara negara membantah telah melanggar spirit reformasi, mencoba memadamkan api demokrasi dan mempetieskan ruang publik. Berbagai pernyataanya para penyelanggara negara di media membuat kegaduhan politik.
Kita bisa melihat dengan mata telanjang bagaimana perang pernyataan terbuka di media antara Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri Budi Waseso dan tokoh masyarakat Ahmad Safii Maarif atau yang biasa disapa Buya. Buya menilai Kabareskrim telah melakukan kriminalisasi kepada para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga kini para pimpinan KPK memiliki status tersangka. Serta terlalu mudah menetapkan status tersangka, kepada para pegiat anti korupsi. Bila para pegiat anti korupsi dilaporkan kepihak kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik, langsung Kabareskrim mengeluarkan status tersangka kepada yang dilaporkan. Kabareskrim membalas kritikan tersebut dengan menyebut Buya tidak mengerti hukum. Alih-alih ingin menegakkan hukum, malah sebaliknya, konflik Budi Waseso dan masyarakat madani kian meruncing dan membuat kegaduhan politik di tanah air.
Melihat kegaduhan politik, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Binsar Luhut Panjaitan pada awal Oktober 2015 mengancam akan melibas para pembuat gaduh. Karena dinilai sudah menggangu roda perekonomian nasional. Luhut memerintahkan agar setiap penyelesaian hukum harus ditangani dengan arif, tanpa perlu dipublikasikan. Dengan kata lain, penyelenggara negara jangan menjadikan media sebagai panggung untuk menyampaikan sesuatu yang dampak pemberitaannya hanya untuk menaikkan popularitas. Sehingga objek tugas yang sedang dikerjakan, terbengkalai yang pada akhirnya merugikan rakyat. Karena hakekatnya, penyelenggara negara bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan menaikkan popularitas demi mengail kursi kekuasaan.
Nilai Konflik di Mata Media
Konflik memiliki nilai berita yang tinggi dan publik ingin mengetahuinya. Akhir konflik harus berujung pada adanya perubahan. Media mendorong perubahan, karena perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi sebagai pemberi makna dari sebuah peristiwa, di mana makna yang terjadi harus sesuatu yang memberikan pencerahan. Sebuah konflik yang terjadi antar penyelenggara negara dengan masyarakat madani memiliki magnet yang tinggi untuk diberitakan.
Pertama, masyarakat menyukai berita-berita yang menayangkan sebuah konflik. Mengingat konflik sering memetakan sebuah isu besar dengan latar belakangnya. Membaca konflik, masyarakat akan mendefinisikan dan melakukan reinventing nilai-nilai yang selama ini mereka percayai. Contoh, konflik pemberantasan korupsi. Orang suka pada isu-isu ini karena ada nilai-nilai fundamental di dalamnya. Pemberantasan korupsi mengandung nilai yang wajib dilakukan setiap agama dan budaya. Sehingga menjadi sebuah nilai yang harus diusung bersama.
Kedua, konflik selalu melibatkan adanya perubahan, di mana perubahan itu akan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Konflik kian meruncing bila dua kutub melihat persoalan dalam perspektif yang berbeda. Berita melibatkan perubahan dan konflik hampir selalu menjadi tanda-tanda adanya perubahan yang layak diberitakan. Ujung dari perubahan itulah yang terus disajikan media, dan masyarakat juga ingin mengetahuinya.
Media Menggeser Opini
Liputan media tidak hanya menciptakan tumbuhnya kesadaran publik terhadap suatu isu yang disajikan media. Tapi juga dapat memicu pergeseran opini secara drastis. Melalui strategi priming, media dapat mempengaruhi standar yang dipakai orang untuk mengevaluasi tokoh-tokoh politik dan isu-isu yang aktual. Seseorang yang awalnya dinilai pahlawan, bukan tidak mungkin menjadi pecundang. Sehingga publik langsung mencabut dukungan dan mempersepsikan sebagai orang yang tidak pantas untuk duduk dalam lingkaran kekuasaan.
Masih ingat dai kondang dari Bandung K.H. Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa Aa Gym? Awalnya, Aa Gym adalah dai yang selalu ditunggu umat untuk menyampaikan ceramah. Ia diundang ke berbagai tempat, bahkan ke berbagai negara. Aa Gym menjadi idola baru dai yang setiap ucapannya menyejukkan hati, menambah keimanan dan ketakwaan. Aa Gym menjadi sebuah ikon yang mampu menggambarkan sebuah keluarga sakinah, mawadah, warohmah.
Aa Gym menikah lagi, dengan persetujuan istri pertama. Media pun, dengan strategi priming, mengevaluasi kembali nilai-nilai yang selama ini digaungkan Aa Gym, yaitu memberikan harkat yang tinggi kepada istri. Media menilai, poligami yang dilakukan Aa Gym berseberangan dengan nilai-nilai yang selama ini disebarkan. Media pun menggeser opini publik, dari yang mengidolakan menjadi “penebar kebencian”. Media menyalahkan tindakan Aa Gym yang telah berani menghancurkan hati istri pertama dengan berpoligami. Aa Gym ditinggalkan jamaahnya, terutama kaum perempuan. Secara sistematis, publik pun mencabut dukungan terhadap kehadiran Aa Gym, yang ditandai dengan merosotnya jadwal ceramah Aa Gym.
Konflik yang tersaji di media yang menyebabkan kegaduhan karena dua hal. Pertama, kebijakan yang ditempuh penyelenggara negara dinilai bertabrakan dengan nilai-nilai dan budaya yang selama ini sudah menyatu dalam persepsi publik.
Kedua, pernyataan yang dikeluarkan penyelanggara negara tidak jelas, hanya sepotong-potong, menggantung, dan pesannya bersayap. Padahal pernyataan tersebut terkait dengan jabatan yang diemban dan berdampak pada kepentingan publik. Memberikan pernyataan resmi tapi informasi yang disampaikan bias, membuat masyarakat menjadi bingung. Seakan-akan, pejabat tersebut sedang memainkan sebuah permainan, dimana masyarakat silakan ikut bermain dalam permainan tersebut. Informasi yang tidak jelas, pada akhirnya membuat masyarakat membuat analisa dengan versi mereka, yang jelas tidak produktif.
Yang terjadi adalah penyelenggara negara tidak bisa membedakan mana kebijakan yang merupakan otoritas lembaga tersebut atau sebuah kebijakan perlu mendapat tanggapan publik sebelum disahkan. Dalam koridor hukum, penetapan status tersangka yang merupakan otoritas kepolisian, tidak perlu diwacanakan. Pihak Kepolisian dapat mengumumkan tersangka, setelah barang bukti lengkap. Untuk menyatakan status tersangka, tidak perlu lagi harus mengetahui reaksi publik, dengan membocorkan status tersangka kepada media.
Sedangkan kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah dapat mewacanakan untuk meminta pendapat masyarakat. Filsuf Jerman Jurgen Habermass (Meenaskshi Gigi Durham, 2002) menyebutkan ruang publik adalah di mana semua orang dari berbagai kalangan dan strata sosial dapat saling berbagi dan membentuk pendapat publik melalui media. Negara menjamin warga negara dapat mengakses berbagai pendapat publik di berbagai media dan melalui ruang publik dapat bereaksi saat mendapatkan informasi, di mana informasi itu pada akhirnya dirundingkan bersama.
Berbicara di ruang publik mensyarakatkan adanya kebebasan berkumpul dan berserikat serta kebebasan menyampaikan dan mempublikasikan pendapat tentang hal-hal yang terkait dengan kepentingan umum. Kontribusi media dalam kepentingan publik menunjukkan bahwa media secara fundamental terkait dengan masalah-masalah kepentingan umum, bukan hanya dengan keuntungan pribadi. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, termasuk di Indonesia, media harus mencerminkan berbagai pandangan dan memuat pengalaman masyarakat yang beragam. Setiap warga negara harus bisa menggunakan media massa sebagai representasi budaya dan ekspresi politik. Penyelenggara negara, tidak lagi menggunakan media untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dengan demikian, kegaduhan politik yang selama ini dinilai tidak bermanfaat, tidak akan terjadi lagi.
Media Sucahya, Dosen Universitas Serang Raya, Banten.