biem.co — Jumlah guru di Indonesia diklaim melimpah, bahkan disebut rasio nasional kita berkisar 1 guru berbanding dengan 17 murid. Namun, penyebaran guru masih tidak merata, apalagi kualitas sebagian dari mereka masih di bawah standar.
Berbagai program dari pemerintah maupun dari organisasi yang concern pada masalah pendidikan membawa angin segar pada permasalah ini. Beberapa waktu lalu biem.co berbincang-bincang Annisa Sofia Wardah, salah seorang anak muda Banten yang memilih menjadi pengajar di daerah tertinggal melalui program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Republik Indonesia. Annisa yang merupakan lulusan dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, ditempatkan di SD Inpres Beo, Pulau Beo, Distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Berikut wawancara biem.co dan Annisa.
biem: Hallo, Annis. Selamat, ya! Impian untuk mengajar di daerah terpencil kesampean juga. Cerita, dong, gimana bisa lolos seleksi dan, kok, ngebet banget pengin mengajar di pedalaman?
Annis: Hallo juga, biem. Wah, surprise banget, nih, sampai diwawancara. Proses sampai lulus tidak semudah yang sebelumnya saya pikirkan. Untungnya sebelumnya banyak cari tahu program sosial mengajar di pedalaman seperti Indonesia Mengajar (IM), Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa (SGI), dan SM3T yang punya pemerintah. IM dan SGI saya pernah daftar waktu semester lima. Eh, harus lulus dulu ternyata, padahal saya udah download formulir pendaftaran. Hehehe. Tapi beruntungnya, saya jadi banyak tahu tentang program sejenis, jadi sering diskusi juga sama teman dan dosen. Butuh proses yang lama juga untuk memantapkan hati, karena pengabdiannya selama satu tahun, sementara cita-cita terlalu banyak. Tapi akhirnya keinginan untuk mengajar di pedalaman mengalahkan cita-cita saya untuk lanjut S2 dan bekerja. Anak-anak di daerah terluar lebih membutuhkan guru. Alhamdulillah, ternyata akhirnya berjodoh dengan program SM3T.
Sesampai di Papua, pose dulu.
biem: Hal seru apa aja yang dialami selama di Papua?
Annis: Wah, banyak! Papua tidak semenyeramkan yang dibayangkan. Pertama sampai di Papua, saya sempat ditawari minang, itu loh, yang bisa bikin gigi jadi merah. Masyarakat Pupua sangat menghormati guru. Bagi mereka, guru setara dengan pendeta. Sangat dihormati. Mereka mau menyerahkan dan memercayakan anak-anak mereka pada guru. Kebetulan saya ditempatkan di Pulau Beo yang mayoritas penduduknya muslim. Hal seru lainnya, di sini jiwa travelling saya benar-benar terpuaskan. Banyak pantai indah yang gratis dikunjungi. Hehehe.
biem: Rencana setelah pengabdian di Papua selesai apa, nih?
Annis: Ingin memaksimalkan kemampuan diri. Ingin belajar lagi. Rencananya sepulang dari Papua saya mau kuliah Pendidikan Profesi Guru biar bisa menjadi pendidik yang baik dan profesional.
biem: Oh ya, kamu suka nulis, kan? Ada rencana untuk menulis pengalaman mengajar di Papua?
Annis: Saya sudah berjanji pada diri saya sejak masih kuliah, kalau saya lulus tes untuk mengabdi di pedalaman, saya tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan berharga itu. Saya membiasakan diri saya menulis catatan harian. Doakan ya, semoga cita-cita untuk punya buku bisa saya wujudkan.
Bersama anak didik di Papua.
biem: Impian terbesar dalam hidup kamu apa sih, Nis? Cerita, dong!
Annis: Saya punya impian, Indonesia menjadi negeri yang semakin berkilau seiring dengan semakin membaiknya kualitas pendidikan, dan saya ingin menjadi bagian dari proses itu. Kelak, saya pengin punya taman membaca di kampung saya di Rangkasbitung. Di sana anak-anak bebas membaca dan belajar apa saja.
biem: Menurutmu, pendidikan di Banten gimana?
Annis: Pendidikan di Banten lebih maju dibandingkan di Papua. Paling tidak itu yang saya rasakan. Tapi dibandingkan daerah lain, Banten juga masih jauh tertinggal. Masih banyak pe-er yang harus diselesaikan sama-sama. Masih banyak anak-anak yang belajar di ruang sekolah yang tidak layak serta akses menuju sekolah yang penuh perjuangan.
biem: Terakhir, nih, ada pesan apa Papua untuk anak muda di Banten? Khususnya dari kamu yang berani merantau jauh demi sebuah mimpi dan panggilan jiwa.
Annis: Di Papua saya menjadi semakin belajar bersyukur. Kadang saya jadi malu pada diri saya sendiri. Anak-anak di Papua hidup dengan fasilitas serba terbatas. Di sini susah sekali untuk mendapatkan sinyal selular, listrik tidak ada, apalagi angkutan yang hanya menggunakan bodi atau perahu kecil. Tapi luar biasanya, mereka tetap semangat belajar dan berkarya. Dari mata mereka saya menyaksikan semangat yang begitu besar. Bahkan saat sampai di Beo, mereka menyambut saya dengan penuh antusias. Saya benar-benar harus memberikan apa yang terbaik yang saya punya kepada mereka. Ternyata, hal sekecil apapun yang kita punya, ketika kita memberikannya pada orang lain, dan orang lain itu menerimanya dengan penuh semangat, rasanya bahagia sekali. Jadi, Sahabat biem yang pengin bahagia, sering-seringlah berbagi. Apapun, berbagi tak melulu soal materi, berbagi ilmu juga bisa, bahkan ilmu kalau dibagikan tidak akan berkurang, justru semakin bertambah.
Pose smart icon ala Banten Muda berlatar bodi, perahu kecil sebagai satu-satunya alat transportasi ke luar.
biem: Thanks, ya, Annis… salam berkarya dan berbagi inspirasi dari redaksi biem!
Annis: Sama-sama, biem. Terus berkarya untuk anak muda yang berjiwa muda!
Setiawan Chogah