Judul: Tiada Ojek di Paris
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: April 2015
Genre: Nonfiksi
biem.co – Tiada ojek di Paris? Hmmm, sepertinya Seno Gumira Ajidarma sangat cerdik memotret fenomena ojek versus Gojek yang sedang marak di Indonesia, terutama di Jakarta akhir-akhir ini, meskipun pada buku ini tidak sedikitpun disinggung tentang fenomen Gojek. Wajar, karena tulisan-tulisan di buku ini ditulis dalam rentang 2000-2013 dan pernah dimuat di 2 buku yakni Affair dan Ketut Kosmopolitan, serta majalah Djakarta. Meski begitu, diejelaskan di halaman kata pengantar, tulisan bergenre esei ini masih tetap relevan untuk menceritakan dan mengisahkan kondisi Jakarta saat ini.
What is the city, but is people. Kota adalah cerminan para penghuninya. Kutipan dari Shakespeare ini seakan menguatkan segala macam tulisan berjudul-judul di buku ini. Seperti halnya yang dijelaskan penulis, segala bentuk fenomena yang dipotret melalui rangkaian kata di buku setebal 210 halaman ini tentang kehidupan urban Jakarta, plural, berjalan cepat, tergesa, kontras, seliweran informasi meloncat ke sana ke sini multitasking.
Meskipun tulisan-tulisan pada buku ini dicomot dari beberapa konten di dua buku terdahulunya, namun penulis memberikan catatan perbedaan cara pandang dalam menyikapi Jakarta. Pada buku pertama mengandalkan akal sehat, sementara buku kedua mencoba bersikap kritis.
Hampir di setiap tulisan yang dipisahkan judul per judul, bahasa yang digunakan lumayan rumit dan formil serta kaku. Simak saja pada halaman 29-30, padahal hanya akan menjelaskan dasi versus sandal jepit. Penulis ingin menjelaskan tiada nilai esensial dalam kebudayaan bahkan yang disebut nilai itu sendiri hanyalah kontruksi. Kebudayaan tinggi adalah kontruksi yang memerlukan perendahan lainnya untuk menunjukkan ketinggian dirinya. Begitulah yang ingin disampaikan penulis.
Namun penulis sangat jeli, apa pun menjadi pembahasan dengan pemikiran yang kadang tak dipikirkan orang lain misalnya bajing yang melintas di atas kabel pada halaman 39-41. Penulis menganggap kehadiran bajing tersebut tidak mewakili diri sendiri melainkan sebuah dunia dari kerajaan hewan yang sudah lama terdesak di hutan urban bernama Jakarta.
Bagi orang lain, bajing mungkin hanyalah hewan kecil berkaki empat yang cukup dikomentari “Oh masih ada bajing di Jakarta”. Tidak halnya dengan Seno. Ia memikirkannya lebih lanjut, bahkan hingga pemikiran yang tidak banyak dipikirkan manusia kebanyakan.
Pesawat dan Kopi
Ada kalanya penulis memanjakan pembaca dengan bahasa yang tak berumit-rumit ria dan membuat pembaca mengeja beberapa kali untuk menangkap makna. Misalnya saat menjelaskan pesawat pada tulisan berjudul “Terbang” di halaman 51-53. Pada tulisan ini, penulis menjelaskan esensi pesawat yang dahulu memiliki kelas cukup tinggi di level modatransportasi. Penumpangnya saja sengaja memakai dasi dan sepatu untuk bisa duduk nyaman di pesawat. Tapi lihat saat ini? Baju belel bahkan kardus yang diikat tali plastik pun berjubel di kabin pesawat bukan?
“Namun kali ini, bukan hanya orang terbang untuk menaikkan derajatnya, melainkan juga bahwa derajat pesawat terbang diturunkan agar bisa dinaiki semua orang dari segala lapisan-dari transportasi dengan suatu prestise, menjadi usaha mereduksi makna agar pesawat terbang dipandang sebagai alat transportasi sahaja.” Demikian ditulis Seno yang memang sengaja menceritakan dirinya. Saat itu ia duduk di pesawat dengan tas kamera butut serta celana dan sepatu penuh lumpur.
Pada buku yang setiap judul dipisahkan dengan gambar cap merek dagang produk zaman dahulu ini, Seno pun rajin menuliskan tentang kopi. Antara lain tentang Starbuck yang hadir di kampus UI. Bisa dilihat di halaman 63-66. Seno mengungkapkan, “Tentu saya tidak ingin mengatakan, bahwa dengan adanya satu kafe Starbucks Coffee saja lantas tradisi perjuangan berpuluh tahun akan runtuh. Saya hanya ingin menunjukkan, bahwa secara semiotik, pendanda 'kampus perjuangan' bagi UI yang barangkali masih-dan semoga seterusnya-dominan di kampusnya sendiri, jelas telah ber/ter-negosiasi, kemudian ber/ter-inkorporasi, dengan/oleh wacana perjuangan Starbucks, yang sejak zaman seattle akhirnya berhasil menjadikan diri sebagai penanda gaya hidup kelas menengah, tempat kelas di bawahnya (termasuk mahasiswa 'sega kucing' yang selalu menunggu kiriman pas-pasan) jelas tidak merupakan bagiannya.
Permasalahan kopi juga pada tulisan berjudul Kopi di halaman 67-71. Di sinilah penulis memaparkan kopi bukanlah sekadar kopi. “Kopi tak lagi bermain di atas kompor, kopi telah merangsek ke ruang publik dan mendapat konteks intelektual.” Begitu tulis Seno di halaman 70.
Selain pesawat dan kopi banyak hal yang disorot Seno. Mulai dari jartu nama, rembulan, gosip, tradisi mudik, kado perkawinan, uang dengar, penyanyi jalanan, zebra cross, listrik mati, Jakarta kosong, sampai taman.
Ojek di Paris?
Judul buku sangat berpengaruh rasa penasaran seseorang untuk membeli dan membaca. Begitu pula dengan buku ini bukan? Hmmm, sebaiknya langsung buka halaman 185 berjudul “Ojek Sudirman-Thamrin”. Lalu, apakah Anda akan mendapatkan jawaban tentang keberadaan ojek di Paris atau perbandingan ojek di Jakarta dan Paris, atau rute-rute ojek di Jakarta bukan di Paris? Penasaran tidak? Baca bukunya.
Oh ya, untuk membaca buku ini, jika Anda tidak terbiasa dengan bacaan dengan bahasa buku yang formil dengan runutan kata berputar-putar dan detail hanya untuk menjelaskan sesuatu terlihat sepele, sebaiknya Anda menyiapkan stok kesabaran. Ya, sabar untuk mendapatkan makna dan pemikiran hebat di buku ini. Sabar untuk mengeja huruf-huruf dengan ukuran lumayan kecil berspasi lumayan rapat. Di luar hal itu, buku ini sangat mencerahkan. Tidak percaya? Buktikan saja. (*)
Diresensi oleh Hilal Ahmad