Oleh: Mahdiduri
biem.co – Dinamika berkesenian yang bergulir dari masa ke masa acapkali berisi tantangan, rintangan sekaligus menjadi pantangan. Sebagian di antara kaum seniman ada yang merasa sebuah organisasi tidak cukup untuk bisa menyalurkan kreasinya, bahkan cenderung membatasi. Tetapi sebagian lain menganggap bahwa lewat organisasi, bisa memberikan dan mendapatkan hal yang lebih beragam dan bermanfaat. Terlepas dari kesemuanya, bahwa dalam berkesenian, pelakunya tetap memerlukan corong untuk bisa menata pola manajemen yang bisa mendongkrak kreatifitas serta memberikan hasil.
Banten, dengan keragaman, kekayaan sumber daya alam, budaya dan manusianya sudahlah layak untuk memiliki satu wadah berkesenian yang ditujukan untuk mengakomodir kepentingan segenap pelaku kesenian (individu/komunitas). Apa pun namanya nanti, pada hakikatnya, lewat wadah ini, pelaku kesenian bisa difasilitasi kebutuhan manajemen, sarana prasarana, dan anggarannya. Selain itu, juga menjadi jembatan bagi pelaku kesenian dengan pemerintah, seperti yang sudah dicontohkan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pembentukan DKJ oleh Ali Sadikin selaku Gubernur DKI Jakarta pada 1968, dimaksudkan sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Propvinsi DKI Jakarta.
Dari pola rekruitmen serta pengelolaannya, DKJ telah mampu menunjukkan dirinya sebagai lembaga kesenian yang mampu menyokong perikehidupan kesenian tingkat nasional dan internasional, salah satu indikatornya dengan ragam perhelatan kesenian yang menjangkau dari Sabang sampai Merauke. Bahwa pengurus DKJ dipilah dan dipilih berdasarkan kecakapan/keterampilan dalam menentukan kebijakan pengembangan kesenian yang tercermin dalam bentuk program tahunan yang diajukan dengan menitikberatkan pada skala prioritas masing-masing komite. Anggota DKJ terbagi dalam 6 komite: Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari, dan Komite Teater.
Adalah dibenarkan ketika kita mengadopsi suatu sistem yang memiliki nilai positif dan progresif yang sudah diterapkan di daerah lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau pembentukan Dewan Kesenian Banten (DKB) yang sempat mengalami beberapa kali pergantian pengurus, belum bisa diterima oleh setiap kalangan. Hal ini disinyalir karena proses rekruitmen kepengurusannya masih bersifat parsial, tidak terbuka, dan cenderung mendasarkan pada senioritas yang tak didukung pemahaman tentang cara menjalankan Dewan Kesenian (DK) sebagai sebuah lembaga formal.
Atas dasar itu, sudah barang tentu diperlukan langkah inovatif sekaligus progresif untuk bisa mendapatkan kepengurusan DK yang dipercaya, kompeten, dan profesional dalam menjalankan roda organisasinya. Penjaringan calon anggota Dewan Kesenian menjadi solusi alternatif progresif yang diproyeksikan bisa diterima setiap individu dan kelompok karena sifatnya yang terbuka. Selain itu, bisa membawa paradigma baru dalam menjalankan lembaga kesenian ke depannya.
Setelah kurang lebih lima tahun, Dewan Kesenian Banten mengalami kemandegan, pada tahun 2015 ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Banten kembali menginisiasi untuk dilakukan pembenahan sistem dan strukturnya. Upaya revitalisasi tersebut sejatinya sudah dirancang sejak 2014, atas dasar aspirasi para seniman, baik lewat obrolan santai, maupun dalam forum resmi, semisal pada acara pembahasan renstra Disbudpar yang tiap tahun dilaksanakan dengan melibatkan seniman sebagai peserta, ataupun pada saat Forum Group Discussion (FGD) tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan (RIPKD).
Alhasil, usulan-usulan program tersebut tertuang dalam buku besar RIPKD, dan menjadi acuan Disbudpar dalam menyusun program kerja tiap tahunnya (berbentuk target kinerja). Begitupun dengan program revitalisasi DK sudah termaktub dalam rencana aksi RIPKD (hal. 215), menjadi amanat untuk direalisasikan pada tahun 2015 ini. Ini berarti kegiatan revitalisasi DK oleh Disbudpar sudah sesuai dengan acuan dasarnya, terlebih hal tersebut juga diamanatkan dalam Permendikbud Nomor 85 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian.
Atas dasar itu, sudah sepatutnya kita apresiasi upaya revitalisasi DK oleh Disbudpar Banten sebagai sesuatu yang positif; minimal dengan memberi kesempatan Disbudpar untuk melaksanakan proses tahapan, program, dan jadwal yang sudah dirancang sebelumnya.
Dewan Kesenian sebagai Badan Publik
Sebagai sebuah lembaga nonstruktural (badan publik), Dewan Kesenian terikat ketentuan normatif dalam pengelolaannya; program kerja yang harus terukur dan terarah, tertib administrasi, serta keterbukaan pengelolaan anggaran (mengingat salah satu sumber anggaran berasal dari APBD/APBN) yang harus dipertanggungjawabakan secara hukum. Hal ini penting ditempuh untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat ataupun pemerintah. Atas dasar itu, DK haruslah diisi oleh organisator-organisator sebagai top management yang ke depannya bisa menjembatani: masyarakat – seniman – pemerintah.
Penempatan DK sebagai badan publik berdampak pada pola rekruitmen anggota/pengurus, kinerja, dan anggaran. Bahwa mekanisme rekruitmen DK dalam bentuk musyawarah besar memiliki kecenderungan kurang baik bagi sesama, yaitu: pertama, terjadinya kecenderungan pengerahan kekuatan (massa) yang mengarah pada tindak politik praktis. Tiap calon berupaya untuk mendapatkan suara dengan berbagai cara, termasuk beli suara. Kedua, adanya kecendrungan penolakan pembentukan DK dari kalangan seniman dengan alasan banyak seniman yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya, kemampuan organisatoris calon pengurus tidak menjadi pokok utama pemilihan. Ketiga, terjadinya pergolakan selama periode kepengurusan, hal ini dikarenakan DK tidak dijalankan secara kolektif koligial (ketua mendominasi), lemahnya pengurus dalam menjalin komunikasi aktif dengan pihak terkait (khususnya pemerintah dan DPRD), serta anggaran DK dikelola langsung oleh pengurus (bukan oleh tenaga kesekretariatan yang memahami mekanisme penganggaran dan pelaporan).
Bahwa pola seleksi dalam rekruitmen anggota/pengurus DK merupakan upaya alternatif untuk bisa menghadirkan pengurus DK yang kompeten dari sisi manajerial dan bisa diterima secara luas, serta bisa adalah mereduksi kecenderungan-kecenderungan negatif di atas. Selain itu, dengan seleksi ini membuka kesempatan bagi para seniman untuk mencalonkan diri, sekaligus mengawasi prosesnya secara langsung.
Terkait kinerja dan anggaran, bahwa pengurus terpilih, dalam menjalankan tupoksinya harus dilandasi tanggung jawab, profesional, integritas, dan imparsial. Idealnya, pengurus DK haruslah berkomitmen untuk bekerja penuh waktu. Hal tersebut penting dilakukan untuk bisa mewujudkan DK yang dicita-citakan. Konsekuensi dari kinerja tersebut adalah, pemerintah dan legislator harus memberikan dukungan penguatan lembaga dalam bentuk regulasi dan anggaran**)[i].
Kerja Baru Dimulai
Wacana pembenahan DKB kian menguat sejak awal 2014, setidaknya saya mencatat ada beberapa forum resmi yang membahas DK. Salah satunya adalah pada rapat koordinasi “Penguatan Lembaga Kebudayaan” yang dilaksanakan oleh Biro Kesra pada 4 Juni 2015 yang diikuti oleh segenap DK Kabupaten/Kota se-Banten. Kegiatan tersebut menghasilkan rekomendasi, salah satunya, adalah mendorong pemerintah untuk merevitalisasi DK, yang kemudian ditembuskan kepada Disbudpar Provinsi Banten.
Pada 28 Juni 2015, Disbudpar Banten lewat Bidang SDM memfasilitasi pembentukan panitia persiapan revitalisasi DK yang diisi oleh kasie SDM, Kasie nilai budaya, Kabid Program, perwakilan Biro Pemerintahan, dan penulis. Tugas utama panitia persiapan adalah untuk merancang sistem revitalisasi dengan mengkaji bahan-bahan referensi dan melakukan studi komparasi ke Dewan Kesenian Jakarta.
Dalam rancangannya, panitia persiapan sudah memplot tahapan, program, dan jadwal pelaksanaan revitalisasi DK; pembentukan tim seleksi, persyaratan, bentuk seleksi sampai dengan anggaran di tahun pertama.
Bahwa saat ini tim seleksi sudah terbentuk dan bekerja, adalah buah dari upaya bersama untuk bisa membenahi DK ke depan. Dengan tim seleksi yang berasal dari kalangan budayawan, pengurus DK Kabupaten/Kota dan akademisi, diharapkan agar pelaksanaan seleksi pengurus DK bisa disambut riang oleh segenap masyarakat seni. Mampu mengubah upaya penolakan dan pergolakan menjadi upaya mendukung langkah bersejarah ini dari seluruh masyarakat, seniman dan pemerintah.
Hanya saja, ada hal yang masih perlu dicermati oleh bersama terkait dengan tahapan seleksi ini, di antaranya adalah siapa saja yang diperbolehkan untuk mendaftarakan diri, terkait dengan adanya kemungkinan pejabat publik, pejabat pemerintah untuk turut andil dalam proses seleksi. Jika tidak ada pembatasan yang kongkrit, khawatir akan berbenturan dengan aturan yang belaku sekaligus menjadi masalah di kemudian hari. [*]
[i] Akan dijabarkan pada tulisan berikutnya.
Mahdiduri, adalah anggota Panitia Persiapan Revitalisasi Dewan Kesenian Banten.