Judul : 4 Musim Cinta
Penulis : Mandewi, Gafur, Puguh, Pringadi
Penerbit : Exchange
Tahun Terbit : Maret 2015
Genre: Novel
Jumlah Halaman : 332 halaman
biem.co — Jika mbok jamu berhasil meracik berbagai rempah untuk membuat tubuhmu bugar, maka bagaimana dengan novel yang ditulis oleh empat orang?
Empat birokrat muda yang bekerja di Perbendaharaan Negara yang bernaung di bawah Departemen Keuangan RI, Mandewi, Gafir, Puguh, dan Pringadi, menawarkan sensasi minuman yang berbeda dalam novel keroyokan mereka yang tertajuk 4 Musim Cinta.
Dengan latar yang beragam hasil dari pengalaman nyata pengarangnya saat bertugas di berbagai daerah di Nusantara, 4 Musim Cinta akan membawamu pada dua pola segitiga cinta dengan alur campuran (maju-mundur) dan fragmen berdasarkan sudut pandang keempat tokohnya: Gayatri, Gafur, Arga, dan Pringadi. Tapi, jangan pesimis dulu, sebab fragmen-fragmen itu barangkali hanya petunjuk arah bagi pembaca; kau sedang berada di kepala siapa?
Segitiga Cinta Gayatri dan Pring
Gayatri; seorang perempuan cantik asal Bali. Sosok Gayatri yang digambarkan Pring, memiliki potongan rambut yang mirip Go Eun-chan dalam drama Korea Coffee Prince yang diperankan Yoon Eun-hye. Sama-sama berlesung pipit, hanya berbeda warna kulit. Eun-chan berkulit putih, Gayatri berkulit sawo matang. Tingginya sekitar 160 cm, bermata cerah yang menyiratkan ketulusan dan kematangan berpikir (hal. 16).
Dalam percintaan, Gayatri pernah gagal menyatukan dua adat Bali dan Aceh. Adat yang tidak bisa diganggu-gugat oleh para pecinta sekalipun itu, membuat Gayatri patah hati. Kini, kekasihnya itu, Adam, telah menikah dengan perempuan lain (hal. 55). Kisah percintaannya yang terdahulu ini diceritakan pula pada Pring (hal. 106-107).
Sementara, Pring, seorang lelaki asal Palembang yang memiliki daya pikat yang tinggi. Setidaknya itulah yang ditangkap Gayatri. Sedangkan menurut Arga, Pring adalah manusia misterius kedua setelah Gayatri (hal. 41). Kedekatan Gayatri dengan Pring tampak sejak awal pertemuan mereka di Diklat (Pendidikan dan Latihan), meski sebelumnya, keduanya sempat berinteraksi di media sosial (hal. 114-115). Kebiasaan Pring yang memosting puisi, cerpen, dan tulisan lainnya itu, membuat dada Gayatri berdebar-debar (hal. 117).
Meski pada awalnya, saat ditanya Arga, Pring seolah menyangkal dengan memperlihatkan cincin kawinnya (hal. 23). Tapi, Gafur sangat menyadarinya jika saat Diklat itu, Pring sedang mempertaruhkan kemapanan cintanya. Menurut Gafur, saat itu Gayatri adalah tokoh utama di pertunjukan sirkus yang ditonton Pring (hal. 81).
Bagi Pring, keputusannya menikahi Indah sudah tepat, meskipun semakin banyak pertengkaran di antara mereka (hal.19). Apalagi kemudian jarak Sumbawa dan Bandung memisahkan mereka. Istrinya sedang menempuh S-2 di Bandung. Awalnya, Pring menentangnya, karena tidak ingin menjadi bujangan lokal dan itulah pertengkaran hebat pertama mereka (hal.29-32). Pertemuannya dengan Gayatri, interaksi mereka selanjutnya, membuat Pring perang batin. Satu sisi ia telah beristeri, di sisi lain ia menyukai Gayatri (hal. 140). Sementara istri Pring merupakan tipe istri yang memilih percaya pada suaminya.
Perihal status Pring yang telah beristri, tampaknya tidak diketahui Gayatri. Hingga kemudian, pada Diklat Bendahara Pengeluaran (hal. 229). Tapi, perasaan belum usai sampai di informasi terbaru itu. Gayatri dan Pring masih berinteraksi seperti sediakala, bahkan intensitasnya meninggi di Diklat itu.
Segitiga Cinta Gafur dan Arga
Gafur, lelaki Makassar penerima beasiswa organisasi. Arga menilai Gafur ini lebih cerdas dari Gayatri, IPK-nya selalu tertinggi di angkatannya. Tapi, ia bertampang bodoh dan itulah yang selalu membuat Arga tertawa (hal. 42). Arga sendiri merupakan lelaki asal Purwokerto yang jarang bersikap serius, ceria. Ia diperbantukan sementara di kantor pusat setelah lulus sarjana beasiswanya.
Kesepian yang dirasakan Gafur di tempat tugas barunya, kesedihan yang muncul tanpa dinyana, membuat Gafur mengingat kekasihnya, Dira, yang menurutnya selalu merasa sedih bila mendengar lagu Russian Roulette-nya Rihanna, dan memiliki pemikiran berbeda perihal pernikahan, di saat semua perempuan memimpikan dipinang lelaki tampan—ia justru menanyakan eksistensi lembaga pernikahan. Kenapa sih, setiap orang harus menikah? (hal. 92). Keberadaannya di tempat asing, membuatnya menggugat takdir (hal. 83), kenangan perpisahannya dengan Dira, membuatnya menangis di malam pertamanya itu (hal. 72).
Selain rutinitas di kantor baru, perkenalannya dengan kota kecil itu, isi kepala Gafur terus mengenang Dira. Dira yang membuatnya sangat tergila-gila. Padahal, Dira bukan perempuan tercantik yang dipacari Gafur, bukan perempuan satu-satunya yang pernah menyerahkan semua yang dimilikinya, bukan perempuan paling cerdas, Dira gadis biasa, seorang barista berambut sebahu, berkulit cokelat—teman baik Gayatri—yang selalu menampakkan senyuman dalam suasana apa pun. Menurut Gayatri, Dira tergolong orang yang selalu blak-blakan (hal.52).
Lain halnya dengan Gafur, Arga tidak banyak tahu mengenai Dira. Arga hanya tahu Dira itu gadis yang memiliki senyum memesona, barista teman hore-hore Gayatri. Meskipun begitu, diam-diam Arga menyukainya dan berniat akan melamarnya. Tapi, belum tuntas rencana-rencana itu. Arga harus menelan pil pahit saat mengetahui Dira merupakan perempuan yang ingin dikenalkan Gafur, saat ia berkunjung ke Kendari (hal. 297-298). Hingga akhirnya, Gafur menilai bahwa hidup adalah perkara mengatasi kekecewaan (hal. 304). Entah dimaksudkan untuk Arga, atau untuk dirinya juga.
Segitiga Cinta di 4 Musim Cinta
Kedua segitiga cinta yang menjadi permasalahan keempat sahabat itu, barangkali hanya berbeda sisi dan kakinya saja. Gayatri dengan Pring dan Indah (istri Pring), Gafur dengan Arga dan Dira, membuat saya merenung lebih lama dari jadwal yang telah ditentukan. Kedua segitiga itu tentu saja tidak selalu positif, tapi ada negatifnya juga. Segitiga Gayatri, Pring, dan istri Pring, mengingatkan pada cinta lain di luar cincin kawin, kesetiaan, dan kepercayaan. Meskipun saya agak gagal konsentrasi dengan tema perselingkuhan macam ini, tapi satu hal yang masih bisa saya tangkap dari pesan Pring adalah kepercayaan istri dan ingatan pada cara mereka jatuh cinta sebelum akhirnya menikah, dan keputusan. Keputusan itu bukan berasal dari istri, tapi dari suami itu sendiri. Sebab, menurut Pring (hal. 314); “Jatuh cinta dan mencintai adalah dua hal yang berbeda. Sebagai lelaki kita bisa jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama atau orang yang berbeda. Tapi, mencintai adalah keputusan. Sekali kita sudah memutuskan mencintai, maka mencintailah selamanya. Nikmati prosesnya. Pahit ataupun manis.”
Barangkali, itulah kendali paling akhir yang bisa dikemudikan suami yang sedang jatuh cinta pada perempuan di luar istri sendiri.
Lalu, bagaimana dengan Gayatri? Ketangguhan Gayatri diuji pada saat melihat taksi yang membawa Pring menjauh. Ketangguhan yang seolah-olah, jika saya lihat. Sebab, jauh di lubuk hatinya–barangkali ini terjadi pada setiap perempuan, Gayatri terguncang dan merasa tidak percaya diri mencintai siapa pun lagi.
Segitiga cinta Gafur, Arga dan Dira, itu terasa sangat nyata. Khususnya pada kisah Gafur dan Dira. Walaupun Arga tidak ada, saya rasa, kisah percintaan Gafur dan Dira sudah sangat kuat. Ah, bukan bermaksud tidak mementingkan keberadaan Arga. Sama sekali bukan. Barangkali, saya terhanyut oleh kisah Gafur dan ingatannya tentang Dira. Cinta Gafur yang begitu besar, mengingatkan saya pada cinta Ji Eun-ho/Park Hyun-soo yang diperankan Joo Jin-mo dalam drama Korea My Love Eun Dong. Selain itu, realitas yang disuguhkan Gafur—meskipun sedikit vulgar, tapi terasa lebih nyata dibanding kisah lainnya. Maksud saya, dalam hal ‘apa yang dilakukan setiap lelaki lajang pada senjatanya’. Alami saja rasanya membaca cerita Gafur ini. Meskipun dalam penceritaan Gafur juga ada bagian yang tidak konsisten perihal latar; melompati latar café ke kostan Dira di saat yang sama tentu bukan sesuatu yang baik.
Dira, meskipun hanya tokoh pendukung, dalam penceritaan Gafur itu benar-benar menjelma seperti itulah Dira. Seseorang yang berpendidikan tidak tinggi, tapi memiliki prinsip yang dipegang teguhnya. Pemikiran Dira, saya pikir, melampaui pemikiran perempuan-perempuan yang cuma mengaku feminis. Entahlah. Sedangkan dalam penceritaan Arga, Dira tidak lebih dari pin yang menempel di dasi. Kisahan Arga yang pendek dan tidak mendetail, membuat saya berpikir bahwa tokoh Arga hanyalah numpang eksis. Tidak utuh sebagai Arga yang bisa saya bayangkan layaknya manusia normal. Tapi, demi terwujudnya pola segitiga cinta dalam tulisan saya ini, tokoh Arga bisa saya katakan lumayan penting.
Terlepas dari semua penilaian saya itu, meresapi kegairahan bekerja, persahabatan, cinta, kesetiaan, menerka rahasia-rahasia, dialog intensnya yang cerdas dan menggelitik, karakter-karakter tokohnya—tidak hanya tokoh utama, tapi tokoh pendukungnya—yang kuat, dan pemikiran filosofis para tokohnya, serta kenyataan bahwa ada 4 koki (pengarang) yang meramu novel 4 Musim Cinta, saya pikir, alasan itu cukup untuk membuat saya berdiri dan bertepuk tangan untuk sajian mereka ini. [*]
Review ditulis oleh Uthera Kalimaya, perempuan kelahiran Pandeglang yang tukang minum ngopi hitam.