Irvan HqKolom

Catatan Irvan Hq: Jadi Pemain atau Penonton, Pilihan di Tangan Kita

 

biem.co – Akses jalan menuju Tanjung Bintang, Lampung Selatan, konon katanya sejak dulu sampai sekarang kondisinya rusak parah. Sesekali memang ada perbaikan, namun sejumlah pengguna jalan yang melintas tetap saja kesulitan memilih jalan yang aman. Kalau tidak mau celaka, mereka harus ekstra hati-hati dengan memperlambat laju kendaraannya. Pemandangan alam yang masih hijau di antara bukit-bukit, dikelilingi lautan dan berbagai bangunan industri di sekitarnya melipat tanya di dahi saya, ada apa dengan daerah ini? 

 

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Berbagai industri yang didirikan sejak lama oleh Japfa Comfeed, Charoen Pokphand, dan Anwar Sierad di sepanjang jalan menuju Tanjung Bintang itu menjadi salah satu bukti pesatnya industri perunggasan di daerah ini kurang mendapat dukungan pemerintah. Seperti yang digambarkan oleh Hermas E Prabowo di harian Kompas bahwa meski sempat jatuh bangun dihantam wabah flu burung, industri unggas tetap mampu berdiri kokoh. Secara nasional, industri ini mampu menyerap lebih dari 2,5 juta tenaga kerja, itu baru di sektor budidaya peternakan saja, belum yang bekerja di sektor lainnya bisa mencapai lebih dari 20 juta jiwa. Bayangkan, nilai perdagangan industri perunggasan nasional dengan penggeraknya ayam broiler dan layer setiap tahunnya mencapai ratusan triliun rupiah, kue yang cukup besar, bukan?

 

Untuk industri pakan misalnya, lebih dari separuh kebutuhan 7 juta ton jagung atau sekitar Rp12 triliun mengalir ke kantong-kantong petani di pedesaan. Belum lagi kebutuhan pakan akan rice bran (katul) sebanyak 2 juta ton setiap tahunnya atau senilai Rp4 triliun. Kebangkitan industri perunggasan nasional membuat harga keduanya tidak pernah jatuh. Jagung berkisar pada Rp3000 per kilogram dan katul cenderung di atas Rp1500 per kilogramnya. Belum lagi  budidaya peternakan unggas masih dikuasai oleh peternak-peternak kecil.

 

Dari sini, kemudian saya mulai mengerti kenapa perusahaan tempat saya bekerja pun ‘rajin’ berinvestasi dengan melakukan ekspansi di berbagai daerah, salah satu di antaranya di Tanjung Bintang ini. Meski tidak didukung oleh pasokan listrik yang cukup dan kondisi jalan yang layak, manajemen perusahaan tetap memilih menjadi ‘pemain’ untuk mengambil potongan kue yang lebih besar ketimbang sekadar menjadi ‘penonton’ yang lama-kelamaan kuenya habis diambil yang lain.

 

Agung Adiprasetyo, dalam bukunya yang berjudul Memetik Matahari menulis, “Orang yang tetap survive itu ibarat penyu-penyu kecil yang ditetaskan di pantai dan setelah menetas berlarian ke laut untuk meneruskan hidup. Dalam perjalanan ke laut itu, sekian banyak penyu gagal mencapai samudera sebagai tujuan utama memulai kehidupannya. Ada yang dimakan burung pemangsa, ada yang kehabisan napas, ada yang kesasar atau ada juga yang dengan sukarela menyerah….”

 

Begitu juga dengan industri pakan ternak, pertumbuhannya semakin pesat dan persaingannya pun semakin ketat. Tidak hanya pemain lama yang terus menambah pabrik pakan baru, setiap tahunnya produksi pakan ternak selalu kedatangan pemain baru. Siapa lengah akan musnah, siapa yang tidak siap akan lenyap, dan siapa yang tidak mempersiapkan diri dengan penuh tanggung jawab akan terjerembab.

 

Untuk meningkatkan daya saing, manajemen perusahaan tempat saya bekerja saat ini sedang membangun pabrik pakan ternak baru di daerah Semarang. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi penjualan pakan yang diprediksi meningkat hingga 30% pada tahun 2015, padahal belum lama ini kami baru saja mengoperasikan dua pabrik yaitu di Medan dan Lampung—tempat saya berada saat ini.

 

Namun, meski terus tumbuh, tantangan kita menjadi semakin berat, bukan lantaran ketatnya persaingan di antara industri unggas nasional, melainkan semakin dekatnya waktu pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015. Konsekuensinya, Indonesia harus membuka pasar produk unggas, dengan kata lain negara lain seperti Malaysia dan Thailand akan masuk dan berpotensi menghancurkan industri perunggasan nasional. Sudah siapkah kita?

 

Struktur pasar yang timpang, skala produksi per unit biaya yang kurang efisien, serta biaya logistik dan transportasi yang jauh lebih mahal dibanding negara lain, dan sebagainya menjadi titik lemah kita bersaing di pasar ASEAN. Andai saja ada kesungguhan pemerintah dalam mendukung dan melindungi sektor ini dengan memasukkan unggas dalam kategori barang sensitif dalam perdagangan di bawah payung MEA seperti halnya beras dan gula, sampai kita benar-benar siap bersaing di pasar ASEAN sekiranya 5 sampai 10 tahun mendatang.

 

Namun waktu terus bergulir, dalam hidup ini kita diberikan pilihan dan juga kesempatan, untuk memilih menyerah atau bangkit dengan berbenah untuk memperbaiki keadaan. Di saat jatuh selalu ada kesempatan untuk bangkit kembali. Dalam kondisi terburuk pun selalu ada kesempatan untuk meraih kembali yang terbaik. Bila kita menghargai kesempatan yang kecil, maka ia akan menjadi kesempatan yang besar. Seperti seorang lelaki yang berdiri di ujung daratan yang menjorok ke laut, matanya sedang menatap benda di langit yang memancarkan cahaya. Selagi sempat ia ingin bangkit, ia ingin mengubah kelemahannya menjadi sebuah kekuatan. Ia ingin mengubah kesulitan yang diterimanya menjadi sebuah kesempatan. Ia ingin meraih kebahagiaan, meraih mimpi-mimpi, meraih harapan, dan meraih bintang di langit. Bagaimana dengan Anda? 

 


Irvan Hq adalah CEO biem.co dan Ketua Umum Banten Muda Community. Di sela waktu padatnya bekerja di sebuah perusahaan, Irvan menyempatkan diri untuk terus menulis. Kolom Catatan Irvan ini adalah kanal yang merangkum tulisannya yang memotret  berbagai persoalan sosial kehidupan.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button