Boyke PribadiKolom

Kolom Boyke Pribadi: Pelayanan Publik

 

biem.co – Para founding fathers kita memilih republik (yang berasal dari kata res-publica) sebagai bentuk Negara Indonesia dengan maksud agar negara ini dibentuk untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan publik atau masyarakatnya.

 

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Secara umum, keinginan yang hendak dicapai masyarakat Indonesia sesuai dengan tujuan dibentuknya pemerintahan negara sebagai mana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Sebagai ilustrasi, jika warga sebuah komplek perumahan hendak mengadakan acara peringatan 17 Agustus, maka dibentuk sebuah kepanitiaan yang akan melaksanakan berbagai kegiatan. Tujuan kepanitiaan tersebut adalah guna melaksanakan inspirasi dan aspirasi atau keinginan warga komplek perumahan tersebut. Dengan kata lain, pemerintah dan sistem birokrasi yang dibentuk negara, sebenarnya adalah kepantiaan yang ditugasi sebagai pelaksana inspirasi, aspirasi, atau keinginan warga negara.

 

Pelayanan Publik

Pengertian pelayanan publik menurut UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan, adalah  kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan  pelayanan sesuai dengan peraturan perundang undangan  bagi setiap warga negara dan penduduk  atas barang, jasa, dan/atau pelayanan  administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

 

Salah satu yang dimaksud dengan penyelenggara pelayanan publik adalah pihak pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh para aparatur yang bernaung di bawah institusi tersebut.

 

Kualitas Pelayanan

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak perubahan yang terjadi dengan dinamika kehidupan sosial politik termasuk budaya dan perilaku masyarakat di sekitar kita. Sejak gelombang reformasi menerpa Indonesia, pemahaman masyarakat akan kedudukan dan peran pemerintah semakin terbuka.

 

Jika dulu masyarakat memandang birokrasi atau aparat pemerintah seperti kaum priyayi yang harus dihormati dan dipatuhi titahnya, maka saat ini timbul kesadaran bahwa mesin birokrasi pemerintah berfungsi untuk memberikan pelayanan negara kepada warganya. Kesadaran ini menuntut tugas pokok dan fungsi birokrasi yang lebih profesional dalam mengelola dan menjalankan amanah yang diembannya.

 

Kesadaran lain yang muncul adalah tuntutan tentang kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Jika beberapa dekade lalu masyarakat hanya menunggu selesainya pelayanan dasar yang diberikan, maka saat ini masyarakat ingin mengejar untuk mendapatkan pelayanan dasar yang lebih cepat dan memuaskan.

 

Ditambah dengan semakin meningkatnya kualitas sumber daya manusia dan pengetahuan masyarakat, maka mulai dikenal istilah kualitas dalam pelayanan publik. Secara sederhana kualitas yang diharapkan adalah cepat, tepat, andal, dan sesuai kebutuhan.

 

Umpan Balik Pelayanan

Guna memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, maka dibutuhkan adanya umpan balik dari masyarakat sebagai pengguna pelayanan tersebut. Sebagaimana kebijakan pemerintah orde baru dengan membuka kotak pos 5000 yang kemudian ditiru oleh pemerintahan era saat ini.

 

Media semacam kotak pos 5000 tersebut, bukan hanya digunakan untuk menampung umpan balik atau feedback dari masyarakat, melainkan bisa juga digunakan sebagai jalur atau sarana komunikasi timbal balik antara pemberi pelayanan dengan penerima pelayanan. Hanya saja, terkadang pelapor enggan memberikan identitas asli ketika menyampaikan keluhannya, karena mereka khawatir akan dampak hukum atau perlakukan dari pihak yang dilaporkan dalam umpan balik tersebut.

 

Revolusi Informasi

Kotak pos yang digagas ketika era orde baru, bila ditinjau dari kacamata hari ini, dapat dikategorikan sebagai snail post atau siput (keong) karena membutuhkan waktu dalam hitungan hari bahkan minggu hingga bulan, sejak dari waktu pelaporan dibuat hingga dieksekusi menjadi sebuah keputusan perbaikan pelayanan publik.

 

Seiring dengan revolusi teknologi, kita saat ini mengenal berbagai media informasi dan komunikasi yang sangat lebih cepat. Hanya dengan hitungan detik, seseorang bisa menerima informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, serta suara yang dikirim dari belahan dunia lain.

 

Revolusi teknologi tersebut, seharusnya bisa diaplikasikan untuk mendorong peningkatan pelayanan publik, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh beberapa orang pejabat penanggung jawab pelayanan publik di daerah, seperti gubernur/bupati/wali kota/camat/lurah.

 

Kisah Sukses

Contoh mutakhir yang terjadi di sekitar kita adalah bagaimana seorang Ridwan Kamil (RK), wali kota Bandung, berupaya secara optimum memanfaatkan kecanggihan teknologi berupa media sosial seperti Twitter dan Facebook sebagai sarana informasi dan komunikasi langsung antara dirinya selaku orang nomor 1 di Kota Bandung dengan warga masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya.

 

Kita bisa melihat bagaimana interaksi yang terjadi antara RK dengan masyarakat pengguna media sosial, serta eksekusi kebijakan yang diambil setelah menerima informasi tentang pelayanan publik dari masyarakat.

 

Melalui media sosial, RK berusaha menjaring aspirasi, inspirasi, dan keinginan publik. Lalu berbagai masukan tersebut diolahnya menjadi sebuah kebijakan yang akan dirumuskan menjadi program pembangunan, sehingga akhirnya wujud menjadi proyek atau fisik pembangunan atau jasa yang diberikan oleh pihak pemerintah.

 

Setelah fisik dan jasa yang dibuat bisa dinikmati oleh masyarakat, maka RK melakukan monitoring kembali melalui medsos dan sarana komunikasi lainnya (email, SMS, BBM, WhatsApp, CCTV), apakah fisik dan jasa tersebut tepat sasaran dan bisa dinikmati sepenuhnya oleh pengguna pelayanan? Setelah mendapat umpan balik maka informasi yang diperoleh digunakan  sebagai bahan evaluasi bagi kebijakan berikutnya. Dan hal ini oleh sebagian orang dikenal dengan istilah siklus peningkatan kualitas layanan.

 

Masalah

Dengan adanya media internet dan sistem informasi yang terbuka saat ini, sebenarnya sangat mudah bagi kita untuk mengadopsi dan mengadaptasi berbagai kisah sukses pelayanan  publik dari belahan dunia manapun. Sebagai contoh, bagaimana pemerintah Inggris pada tahun 1998 melakukan public service agreements sebagai bentuk kesepakatan baru peningkatan pelayanan publik. Kesepakatan pelayanan publik ini dimaksudkan untuk menghimpun berbagai perbaikan khusus dalam pelayanan sebagaimana diharapkan masyarakat.

 

Hanya saja persoalan yang kita miliki adalah perubahan budaya birokrasi yang kita miliki. Dari pejabat dan birokrasi sebagai elite atau priyayi di tengah tengah masyarakat, menjadi instrumen pemberi pelayanan sebagai mana amanah UUD 1945.

 

Terlebih sistem pilkada langsung yang diwarnai maraknya transaksional money politic. Sehingga seorang kepala daerah akan merasa bahwa kewajiban yang diemban sebagai amanah mengurus masyarakat telah dilunasi dengan proses pembelian suara yang dilakukan ketika masa pemilihan. Pun demikian dengan pejabat di tingkat bawahnya, mereka merasa telah membeli jabatan yang dipegangnya dengan setoran uang kepada pejabat di atasnya.

 

Dengan kondisi seperti ini, bagaimanapun canggihnya teknologi yang dimiliki, maka mereka akan enggan memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat. Karena justru mereka akan merasa terbebani dengan banyaknya masukan, informasi, dan komplain atau keluhan yang diperoleh dari media sosial yang ada.

 

Jadi, titik persoalannya adalah bukan pada kemajuan teknologi informasi yang ada, melainkan ada pada sisi manusia yang menggunakannya. Dan itu sangat dipengaruhi pola pikir (mindset) serta budaya yang dimiliki sang pejabat, apakah memiliki jiwa pelayanan publik, atau hanya seorang bos yang sedang memenuhi pundi-pundi kekayaanya melalui proyek proyek pelayanan publik yang dilakukan. [*]

 

Tulisan ini disampaikan pada kegiatan Sarasehan biem.co dengan tema "Pejabat dan Tuntutan Masyarakat" pada Rabu, 8 Juli 2015 di Serang. Untuk mengunduh materi utuh, klik di sini!


Boyke Pribadi, lahir di Bandung, 25 Juli 1968. Adalah dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, serta aktif menulis artikel tentang politik, ekonomi, dan pelayanan publik. Saat ini menjadi Anggota Mejelis Pemeriksa Daerah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Pernah menjadi juri lomba citra pelayanan prima untuk tingkat Kota Serang pada tahun 2013. Bukunya yang telah terbit “Gaduh” (Gong Publishing, 2015).

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button