biem.co – Ada sebuah joke tentang perbedaan antara pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dengan pil KB (Keluarga Berencana). Ternyata keduanya memiliki perbedaan yang sangat tipis, yaitu hanya persoalan urutan kata. JIka pil KB lupa diminum maka akan jadi, maksudnya jadi hamil. Sedangkan pada proses pilkada, jika yang bersangkutan menjadi kepala daerah maka akan lupa bahwa pernah berjanji kepada msyarakatnya. Singkatnya, pil KB jika lupa maka jadi, sedangkan pilkada jika jadi maka lupa.
Kalimat satir tersebut sangat tepat, mengingat sebagian masyarakat awam hanya bisa menilai seorang calon pemimpin berdasarkan janji yang mereka berikan. Dengan kata lain, calon pemimpin akan menjual janji agar dibeli dengan bentuk dukungan suara untuk memilih dirinya pada saat pemungutan suara berlangsung.
Padahal, untuk memilih pemimpin ideal yang sesuai harapan, yaitu bisa mengantar masyarakatnya kepada kondisi kehidupan yang lebih baik, yang dalam bahasa kampanye selalu disebutkan dengan istilah SEJAHTERA, tidak semudah membeli janji yang diucapkan. Masih banyak parameter lain yang harus dipertimbangan untuk memilih pemimpin yang ideal. Hanya saja, persoalannya, terkadang masyarakat pemilih hanya disodori pilihan yang sangat terbatas sebagai hasil pengusulan yang dilakukan oleh partai politik yang memang memiliki hak untuk mengusulkan dan mengusung calon kepala daerah.
Bahkan, lebih sering pilihan yang terbatas tersebut diisi oleh calon yang hanya bermodalkan uang untuk membeli atau menyewa perahu partai politik sebagai kendaraan untuk memenuhi syarat proses pencalonan. Dan apesnya lagi, proses pengamatan dan pengaderan pihak parpol untuk melahirkan pemimpin yang memiliki integritas masih belum berjalan sempurna, sehingga pihak parpol hanya berhitung untung rugi politis dan material dalam mengusung seorang calon. Karena definisi politik yang diacu oleh sebagian besar politisi kita adalah tentang kekuasaan, jadi orientasi kemenanganlah yang dijadikan indikator utama dalam mengusung sang calon, bukan tentang integritas dan loyalitas sang calon kepada partai politik yang mengusung.
Apalagi dalam politik terdapat adagium tentang tidak adanya lawan atau kawan yang abadi, namun yang ada hanya kepentingan abadi. Jadi, melihat kondisi seperti ini, berharap lahirnya pemimpin yang ideal dari barisan partai politik bagaikan menunggu matangnya masakan kita yang hanya dipanaskan oleh sebuah kompor gas yang memiliki tabung kosong. Sekalipun menurut Mahatma Gandhi, bahwa salah satu dosa sosial adalah politik tanpa prinsip, namun hingga hari ini penulis masih meraba raba apakah makna prinsip dalam politik itu.
Terlepas dari politik tanpa prinsip yang sedang dimainkan di Indonesia saat ini, masyarakat tetap harus menggunakan hak suaranya dalam memilih kepala daerah yang diidam-idamkan. Dan salah satu hal yang bisa mempengaruhi pilihan tersebut adalah janji yang ditawarkan kepada msayarakat. Janji tersebut biasanya dikemas dalam bentuk visi misi yang akan menjadi visi daerah manakala sang calon terpilih menjadi kepala daerah.
Bagi sebagian besar pemilih, visi yang dijanjikan sebenarnya hanya sebuah pemanis mulut yang tidak berpengaruh terlalu penting (signifikan) dalam menjatuhkan pilihan hatinya, terlebih dengan munculnya banyak tim sukses yang berusaha mengarahkan suara pemilih terutama di kantung-kantung penduduk yang tingkat pendidikan dan ekonominya tidak begitu baik. Dengan kata lain, ukuran NPWP atau Nomor Piro Wani Piro (nomor berapa, berani bayar berapa)-lah yang lebih menentukan jatuhnya pilihan sang calon, yang dalam bahasa modern dikenal dengan money politics.
Namun bagi sebagian kecil pemilih yang lain, yakni masyarakat kelas menengah terdidik, visi yang ditawarkan menjadi penting sebagai salah satu indikator untuk memilih calon pemimpinya. Hanya saja, ternyata visi yang ditawarkan cenderung lebih sering visi yang dibuat untuk memenuhi keinginan pribadi atau tim sukses ketimbang berdasarkan kebutuhan nyata dari masyarakat di daerah yang akan dipimpinnya. Karena untaian kalimat yang indah dari dokumen visi tersebut dibuat di balik meja yang berada dalam sebah ruangan nyaman, sehingga lebih sering tidak menggambarkan kenyataan yang ada dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping itu, visi dan program yang ditawarkan sifatnya sangat kualitatif, sehingga agak sulit dilakukan penilaian pencapaiannya waktu demi waktu. Sebagai contoh, visi yang berbunyi “menuju masyarakat sejahtera” yang dalam programnya tidak di sampaikan angka ukuran kesejahteraan yang hendak dicapai, meskipun memang ukuran kesejahteraan itu sangat bias, namun setidaknya bisa dipatok sebuah angka sebagai indikasi kesejahteraan. Bisa berupa tingkat penghasilan, atau pengurangan pengeluaran untuk kebutuhan pelayanan dasar.
Melihat hal seperti itu, sudah saatnya seorang calon pemimpin memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang keadaan dan kebutuhan daerah yang akan menjadi tanggung jawabnya kelak. Karena bagi sebuah daerah baik provinsi, kabupaten, atau kota, hanya sedikit program tunggal yang bisa diaplikasikan kepada seluruh daerah dibawanya. Karena setiap kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten/kota memiliki keunikannya sendiri sendiri.
Bila memahami kondisi setiap daerahnya dengan baik, maka tentunya akan berbeda setiap program yang ditawarkan antara satu desa/kecamatan dengan desa/kecamatan lainnya. Tidak seperti pilkada yang lalu lalu, hampir di setiap desa/kecamatan yang dijanjikan selalu program yang sama. Sehingga dari hal inilah nampak bahwa sang calon tidak menguasai persis apa yang akan dilakukan.
Agar sang calon dan timses memiliki gambaran utuh kebutuhan atau harapan masyarakatnya berdasarkan metode ilmiah dan dapat di telusuri kebenarannya oleh semua pihak, maka sebaiknya disisipkan lembar kebutuhan untuk menjaring aspirasi masyarakat. Di samping lembar kuisioner survei elektabilitas yang biasanya menjadi menu wajib seseorang yang mencalonkan diri di pilkada. Bila survei elektabilitas digunakan untuk mengetahui seberapa besar persentasi suara yang bisa diperoleh, penjaringan aspirasi ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kebutuhan-keinginan bahkan inspirasi dari masyarakatnya, sehingga bisa menjanjikan sesuatu yang seuai dengan kebutuhan dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan jani tersebut.
Selain itu, hendaknya janji program yang diberikan dibuatkan rinciannya dengan maksud agar mudah untuk mengetahui janji mana yang sudah ditunaikan atau belum. Dan bagi masyarakat terdidik yang ada di setiap desa/kecamatan dapat mengakses list tersebut sesuai desa/kecamatannya. Karena bagi seorang Muslim, setiap janji yang diberikan akan selalu melahirkan konsekuensi untuk ditunaikan.
Sehingga tidak terjadi apa yang dikhawatirkan oleh seorang ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang sedang sibuk mencalonkan diri mengikuti kontestasi politik itu kalau tidak hati hati sebenarnya sedang membeli 4 kunci neraka. Menurut sang ulama , kunci tersebut adalah janji palsu, ujub, hasab, dan riya.
Janji palsu, sudah pasti para kontestan berharap terpilih sehingga mengharuskannya mengumbar janji-janji yang menarik bagi calon konstituen. Dan di antara janji-janji yang terlontar, sulit untuk memenuhi semua janji tersebut pada saat terpilih kelak.
Ujub, atau berbangga diri atau merasa dirinya memiliki kelebihan. Hampir dipastikan seseorang yang mengikuti kontestasi karena dia merasa memiliki kelebihan dari orang lain, hanya saja bila tidak hati hati maka perasaaan tersebut akan dibarengi dengan perasaan merendahkan orang lain, terutama orang yang menjadi lawan politiknya.
Hasad, iri atau dengki terhadap orang lain yang mendapat nikmat Allah Swt. Perasaan seperti ini terkadang lazim menghinggapi peserta kentestasi manakala lawan politiknya ternyata mendapat nikmat berupa dukungan atau suara dari masyarakat. Di mana dirinya pun sedang berjuang untuk memperebutkan suara dari lingkungan yang sama. Untuk memenangkan suara tersebut, tidak jarang black campaign atau fitnah dilancarkan agar lawan politik tersebut kehilangan simpati dari para calon pemilihnya.
Dan yang terakhir dari 4 kunci tersebut adalah riya atau melakukan sesuatu perbuatan bukan dilandasi oleh keinginan mendapat ridho dari Allah. Faktor ini sangat jelas menjangkiti para caleg kita, karena apapun yang dilakukan akan dikonversi secara langsung dengan perolehan suara.
Apakah sumbangan yang diberikan kepada masyarakat akan menghasilkan suara? Bahkan kalau perlu jika kelak tidak memperoleh suara dari masyarakat yang dibantu maka sumbangan tersebut akan diambil lagi, sebagaimana pengalaman pada beberapa pemilu lalu. Naudzubillahimindzalik. Semoga kita semua terhindar dari hal buruk tersebut.
Boyke Pribadi, lahir di Bandung, 25 Juli 1968. Adalah dosen di Universitas Sultan Ageng tirtayasa serta aktif menulis artikel tentang politik, ekonomi, dan pelayanan publik. Saat ini menjadi Anggota Mejelis Pemeriksa Daerah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Pernah menjadi juri lomba citra pelayanan prima untuk tingkat Kota Serang pada tahun 2013. Bukunya yang telah terbit “Gaduh” (Gong Publishing, 2015).