Oleh M. Ali Soero
biem.co – Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, DPRD memiliki peran dan kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Sebagai wakil rakyat, DPRD dituntut untuk peka terhadap aspirasi masyarakat setempat, sehingga kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sebelum menyusun dan menetapkan kebijakan daerah, DPRD seyogyanya melakukan proses penyerapan aspirasi masyarakat setempat.
Proses penyerapan aspirasi masyarakat dapat dilakukan oleh DPRD, baik secara aktif, pasif, maupun reaktif. Peran aktif dilakukan melalui cara-cara yang menuntut keaktifan anggota dewan. Peran pasif dilakukan dengan cara hanya menunggu aspirasi yang datang baik yang datang secara langsung ataupun melalui media, seperti surat, kotak pengaduan, dan suara pembaca.
Dengan perkembangan media sosial yang cepat, memungkinkan anggota dewan melakukan komunikasi politik yang intens dengan konstituennya tanpa harus bertatap muka. Pasalnya, media sosial bersifat dua arah dan terbuka, yang memungkinkan para penggunanya dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi. Komunikasi melalui media sosial dapat dilakukan antarindividu, individu dan institusi, institusi dan individu, serta antarlembaga.
Bagi anggota dewan, media sosial telah menjadi media yang efektif untuk berkomunikasi dan kampanye politik, termasuk menyerap aspirasi dari konstituen.
Meski begitu, aktif di media sosial juga memiliki efek lain. Sebagai pejabat publik, sepak terjangnya akan menjadi sorotan empuk media massa. Termasuk saat berinteraksi dengan konstituennya di media sosial seperti Twitter, Facebook, Youtube, dan lain sebagainya.
Tetapi dengan arus informasi yang begitu cepatnya, para aktor politik harusnya lebih memperhitungkan peranan sosial media yang ada, karena media sosial memiliki dua sisi yaitu efek negatif dan positif, terkait citra atau opini yang beredar di masyarakat.
Dihubungkan dengan standar pelayanan publik yang diinginkan masyarakat terhadap pejabat publik, sosial media menjadi media yang paling efektif dan efissien untuk menjaring aspirasi. Pasalnya, pelayanan publik merupakan suatu tolok ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Masyarakat dapat menilai langsung kinerja pemerintah atau pejabat publik berdasarkan pelayanan yang diterimanya atau respon yang didapatkannya dari wakil rakyat.
Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 disebutkan bahwa pelayanan prima adalah pelayanan yang cepat, mudah, pasti, murah, dan akuntabel. Dalam meningkatkan pelayanan, masyarakat diupayakan terlibat dalam penyusunan kebijakan, penyusunan standar pelayanan, pelaksanaan survei kepuasan pelayanan publik, serta penyampaian keluhan, pengaduan dan apresiasi.
Keterlibatan dan partisipasi masyarakat ini akan mendukung penyempurnaan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, hasil dari survei kepuasan pelayanan publik akan dapat lebih mengetahui dari sisi apa pelayanan yang diberikan dinilai kurang memuaskan.
Sekali lagi, di era digital ini, media sosial menjadi sarana yang mudah dan murah untuk memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat, terutama bagi wakil rakyat. Penyerapan aspirasi dari masyarakat lebih efektif dan efisien dibandingkan harus bertatap muka dan menerima seluruh keluhan dan keinginan konstituen. Sehingga di rapat-rapat anggaran pemerintah, wakil rakyat lebih paham keinginan konstituennya karena setiap hari dapat berinteraksi dengan mereka meskipun hanya lewat jempol tangan. [*]
Tulisan ini disampaikan pada kegiatan Sarasehan biem.co dengan tema "Pejabat dan Tuntutan Masyarakat" pada Rabu, 8 Juli 2015 di Serang. Untuk mengunduh materi utuh, klik di sini!
M. Ali Soero, lahir 5 Oktober 1977. Sebelum duduk sebagai anggota DPRD Kota Serang, Ali dikenal sebagai aktivis pergerakan. Saat kuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada tahun 2000, Ali mendirikan Front Aksi Mahasiswa (FAM) Banten.