Cerpen Asef Saeful Anwar
AKU SUDAH TAK ingat lagi kapan terakhir kali berbisik ke telinga seseorang. Rasanya hampir sama dengan saat terakhir kali telingaku dibisiki seseorang. Aku tak mengerti sebab apa aku dan banyak orang tak suka lagi berbisik. Apakah sudah tidak ada lagi rahasia yang patut menjadi bisikan?
Sungguh, ingin sekali aku berbisik ke telinga seseorang. Ada rindu untuk menangkup telinga seseorang dengan kedua telapak tangan dan meniupkan kata-kata ke dalamnya.
Maka aku panggil seseorang dan aku dekatkan mulutku yang diikuti gerakan kedua tangan menutup telinganya. Aku sudah siap berkata di dalam tangkupan tanganku. Tapi, tiba-tiba, ketika aku ingin memulainya, kata-kata telah rontok sebelum diucapkan. Rasanya sesuatu yang aku anggap bisikan itu sudah bukan hal yang patut menjadi bisikan.
Aku lepaskan tangkupan tanganku dengan lemas dan mengundurkan kembali kepalaku.
Lalu kucoba lagi ke telinga orang lain. Tapi, mulutku malah memuntahkan isi perut ketika baru didekatkan pada telinganya. Kontan aku tak jadi membisikkan sesuatu. Dan orang itu marah-marah sambil menampar mulutku dengan sepatu sampai berdarah.
Aku cari lagi seseorang dan kubisiki telinganya. Aku berhasil membisikkan sesuatu. Tapi sayang, ia tak bisa mendengar apa yang kubisikkan. Tujuh kali aku bisiki telinganya, tapi ia tak juga mendengar. Aku dongkol dan mengucapkan sesuatu yang ingin kubisikkan itu dengan keras hingga telinga orang yang kubisiki itu bergetar dan kembali mulutku memar tertampar.
Ternyata, ketika aku mengamati telinga-telinga yang mau kubisiki, baru aku tahu kalau banyak telinga yang sudah tidak mau dibisiki lagi. Aku melihat lubang telinga seperti menganga dengan diameter yang demikian besar. Lubang itu seperti siap dimasuki apa saja kecuali bisikan. Bukan hanya pada satu atau dua orang, tapi semua yang kulihat telinganya menunjukkan hal serupa. Aku pun terkejut ketika melihat lubang telingaku di kaca spion tampak seperti kawah sebuah gunung yang baru meletus.
Aku pikir telinga hanya mampu mendengar sesuatu yang besar, yang ketika masuk menyentuh sisi-sisi lubang itu. Sedang bisikan adalah sesuatu yang kecil dan pendek, yang hanya bisa masuk lubang telinga tanpa menyentuh sisi-sisi itu.
“Geli tau!”
“Tidak usah pake bisik-bisikan segala.”
“Ini era keterbukaan, Bung!”
“Repot. Tinggal ngomong aja, kan, enak.”
“Sudahlah. Tidak ada siapa-siapa. Biasa saja.”
Begitulah, mereka menganggap bisikan sebagai beban bagi mereka untuk membisikkannya pada telinga orang lain. Mereka terlalu sibuk untuk sebuah bisikan yang kecil dan pendek. Mereka tak mau repot menjaga rahasia dengan menyalurkan bisikan itu ke telinga orang lain. Apalagi mulut mereka memang sudah tampak semakin jauh dari telinga.
Aku tak tahu mana yang lebih berat dalam sebuah bisikan, tanggung jawab yang ada pada setiap rahasia atau sebuah ketakutan pada rahasia itu sendiri.
“Kastari kemaren maen ke rumah Kaspinah, lho, Jeng.”
“Memangnya ada apa, sih?”
“Masak, Jeng nggak tahu. Kaspinah itu kan bekas pacarnya Kastari.”
“Mereka kan sudah menikah.”
“Jeng ini gimana, sih. Mereka itu selingkuh. Se… ling… kuh!”
“Katanya menikah, kok, selingkuh….”
“Maksudnya mereka sudah menikah dengan pasangan masing-masing.”
“Oh….”
“Ditinggal suami ke luar kota sebentar aja udah gatel.”
“Kastari aja itu yang gedhe nafsunya gegara ditinggal istri ke Hongkong.”
“Yang gedhe nafsunya apa yang lainnya, ya?”
Barangkali aib bukan lagi menjadi rahasia yang patut menjadi bisikan. Ia sudah keluar dari pagar keburukan. Ia sudah menjadi sesuatu yang wajib didengar dengan telinga yang menganga dan mulut yang berujar lantang. Siapa yang tak bisa menyesuaikan diri, siap-siap saja undur diri dari dunia.
Setiap orang harus punya aib orang lain untuk menjadi bahan obrolan dan/atau banyolan. Kalau tidak, kita akan dianggap tidak bisa bermasyarakat. Jadi, carilah keburukan teman atau tetanggamu agar bisa bersosialisasi dengan baik dan tak perlu berbisik karena itu bisa memancing kecurigaan, demikian aku dengar seseorang berkata padaku ketika hendak kubisiki telinganya.
Siapapun sekarang boleh bicara apa saja di depan umum. Mereka yang menjadi buah bibir harus siap malu dan tak usah banyak menuntut daripada aibnya dilaporkan ke pihak berwajib. Maka, tak ada lagi hal pribadi atau kelompok yang patut disembunyikan dalam sebuah bisikan.
“Kaslani itu penganut paham hampa.”
“Bagaimana kalau kita bunuh saja?”
“Sekalian bakar saja rumahnya.”
“Ya, katanya di sana sering dijadikan tempat ibadah para penganut paham hampa itu.”
“Besok kita bakar pas mereka sedang beribadah saja.”
“Kumpulkan beberapa botol kosong untuk bom molotov.”
“Kamu besok penuhin motormu di pom, terus kita sedot untuk bahan bom molotov.”
Rencana apapun boleh kita bicarakan dengan terang-terangan di siang yang terang di tepi jalan, di mana orang-orang banyak menyeberang. Kita tidak perlu takut rencana kita dibocorkan orang lain lalu rencana kita gagal. Sekali lagi, tak perlu takut. Sebab, orang-orang yang mendengar rencana kita itulah yang harus takut bila berani membocorkan. Jadi, kita tak perlu repot-repot mengancam mereka.
Sebusuk apapun perkataan kita, sepertinya sudah tak layak menjadi bisikan. Ia harus disuarakan dengan lantang. Untuk mengatakan seseorang itu bajingan, misalnya, kita tak perlu lagi mengumpatnya dalam bisikan. Kita sudah bisa berterus terang pada orang lain dengan suara keras bahwa si Kastam itu bajingan. Mereka yang mendengarnya pasti akan menambahkan kalau si Kastam juga anjing atau babi. Malah banyak yang berani langsung berkata pada si Kastam bahwa dia itu babi gembrot, dan si Kastam sudah siap menyebut lawannya sebagai tikus got.
Rencana untuk memulai perang pun sudah bisa dicanangkan dalam perundingan dan dapat luas disiarkan media massa, tak perlu lagi disebarkan melalui bisikan ke arah negara mana serangan hendak dilancarkan dalam sebuah rapat rahasia. Orang-orang telah tahu bila ada negara hendak memulai perang, maka tujuannya pasti negara tetangganya. Sementara di dalam sebuah negara telah jarang aksi kudeta yang disebarkan dengan bisikan karena mereka yang ingin menggulingkan pemerintahan lebih memilih berterus-terang untuk menciptakan teror lewat media apapun.
Dalam pemilihan umum pun orang-orang sudah tak perlu dibisiki untuk mencoblos gambar tertentu. Bahkan, terang-terangan mereka dibariskan lalu mulutnya disuapi dengan uang. Seperti halnya korupsi yang tak perlu dijalankan dalam bisikan. Cukup bertemu di sebuah restoran lalu berpura-pura makan padahal sedang membuat kesepakatan.
“Santailah, sebutkan saja berapa.”
“Nanti diantar sopir saya saja.”
“Berapa lapis?”
“Kamu tahu sendirilah selera Pak Kepala.”
Begitupun dengan cinta, tampaknya cinta sudah tidak pernah lagi dibisikkan ke telinga orang yang dicintai. Apalagi para remaja yang sedang mabuk cinta. Para gadis lebih menginginkan perkataan cinta yang didengar banyak orang daripada sebuah bisikan dari hati seorang lelaki. Maka, jangan heran kalau Anda pernah mendengar ungkapan cinta di pengeras suara stasiun sementara Anda sedang menanti kereta yang tak kunjung disebut kapan datangnya. Anda pun jangan marah kalau sewaktu-waktu sedang menunggu azan Magrib untuk berbuka puasa tiba-tiba yang keluar dari pengeras suara masjid adalah ungkapan cinta seorang pemuda berandalan pada gadis berjilbab dengan kalimat: “Demi Allah dan demi Rasulullah, sesungguhnya aku mencintaimu, Kasiyah.”
Dan lelaki yang tidak memiliki keberanian seorang pemuda lebih memilih memegang tangan perempuan yang dicintainya sembari menatap matanya lalu mengucapkan cinta di tempat-tempat yang memungkinkan orang lain menjadi saksi. Tampaknya para perempuan memang tak mudah lagi memercayai laki-laki hingga butuh saksi. Malah kadang harus ditambah bukti hingga percintaan hampir seperti sebuah persidangan.
Hmm… masih adakah perempuan yang ingin mendengar cinta lewat bisikan? Siapakah gerangan? Sungguh, aku sangat ingin berbisik ke dalam telinganya.
Cisanggarung, 2007/Trengguli E9, 2015
Asef Saeful Anwar adalah penulis kumpulan cerpen berjudul Lamsijan Memutuskan Menjadi Gila.