biem.co – Adakah para orang tua pernah mengajari anak-anaknya nyingsring atawa membuang ingus?
Ah, saya tak tahu pasti. Namun pertanyaan itu tiba-tiba menggelitik saya ketika beberapa hari lalu—tepatnya pada Hari Raya Idulfitri 1436 H/2015 M—saya menyaksikan satu dua anak usia pra-sekolah dasar, tampak begitu sayang pada ingusnya sendiri. Saya katakan sayang sebab ingus yang tampak kuning-kehijauan itu telah menggantung di bawah lubang hidungnya, tapi disedotnya kembali berulang-ulang hingga menghilang dari tatapan orang-orang—lesap ke dalam rongga hidung. Dan seperti sudah bisa diduga, bahwa ingus itu kemudian meleleh lagi, ngalambey lagi, lagi, dan lagi.
Dalam suasana makan bersama sanak keluarga—yang hanya saban Lebaran dapat berkumpul secara relatif lengkap—, sembari menikmati opor, ketupat, gemblong, semur daging, dan segala sajian masakan dan/atau kue-kue khas lebaran lainnya, pemandangan semacam itu tentu saja agak menjijikan. Tapi, sementara orang ternyata lebih memilih berpura-pura tidak melihat ingus si anak itu sembari berupaya memalingkan muka; barangkali mereka khawatir ingus itu akan mengganggu selera makannya. Sementara orangtua si anak, alih-alih menyuruh si anak itu untuk membuang ingusnya secara mandiri, malah sekadar mengelap ingus yang telah ngalambey itu, yang ternyata tak menyelesaikan masalah per-ingus-an itu.
Lalu saya pun mengingat-ingat, adakah sewaktu saya kecil dulu ada yang mengajari saja cara membuang ingus dengan baik dan benar? Hanya saja, saya tak berhasil mengingat itu—atau mungkin memang tak pernah ada yang mengajari saya hal itu. Entahlah. Tapi yang pasti, ingatan saya itu tak membentur jidat penyair-penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan. Tidak! Tentu saja tidak. Sebab saya tak tahu apakah para penyair salon yang dituding Rendra itu pernah menjalani masa kanak-kanak dengan ingus yang terus meleleh?
Tetapi, sementara itu, ingatan saya terseret pada beberapa kawan masa kanak dulu yang sering sekali memamerkan ingusnya. Show ingus melulu. Kawan kecil saya itu—tak perlulah saya sebutkan namanya di sini—tampaknya selalu kena selesma, influenza, hingga saban hari tak pernah tidak beringus. Tapi ia tidak menyedot masuk ingusnya seperti anak-anak yang belakangan saya temui itu, sebab ia cenderung mengelap ingusnya dengan punggung tangan kanan dan menyeretnya ke pipi kanan, kadang-kadang hingga mendekati cuping kupingnya sendiri. Maka, pemandangan selanjutnya yang bisa kita nikmati hanyalah pipi kawan kecil saya itu tampak basah-lengket oleh ingusnya sendiri. Ahai, apakah Anda jijik? Agaknya saya pun sedikit geli. Bahkan di sekolah dasar, kawan kecil saya itu beroleh julukan si olol leho. (Dalam basa Sunda olol berarti menonjol dan leho sama dengan ingus). Jadi, satu-satunya kelebihan kawan kecil saya itu adalah unjuk kebolehan dalam hal per-ingus-an. Seingat saya, rasanya tak ada yang mampu menandingi rekornya dalam per-olol-leho-an itu.
Dan sembari menulis ini, pertanyaan menggelikan lainnya menyusul dalam kepala saya: adakah karya sastra kita pernah menampilkan si olol leho (atau si umbel hejo atau si tukang iler atau si belek atau si pengepul upil dan semacamnya itu) sebagai tokoh utama dalam cerpen, novel, dan/atau drama?
Aih…, mungkin Anda menganggap pertanyaan saya ini main-main, tidak serius, terlampau sepele, atau tak penting sama sekali. Atau secara ekstrem, Anda akan misuh-misuh bahwa persoalan ingus ini tak akan memengaruhi nilai rupiah, utang negara, revolusi, kritik sastra, mutu karya (sastra), meningkatkan penjualan kumpulan puisi atau kumpulan cerpen, atawa tak mungkin berkait-hubung dengan keimanan dan ketakwaan seseorang. Tapi baiklah, baiklah, “mari bicara”—kayak film iklan teh celup di televisi.
Konon, menurut kawan saya yang belajar di kedokteran, ingus ini diproduksi tubuh kita sebanyak satu liter per hari. Dan produksi ingus di dalam rongga hidung kita itu berfungsi untuk menyaring atau mencegah berbagai-bagai polutan agar tak masuk begitu saja ke dalam paru-paru. Dan ketika tubuh kita terserang virus selesma atau virus flu (dengan berbagai jenisnya itu), maka ingus akan mengalami produksi berlebih dan meronta keluar dari tempatnya semula. Nah, tentu saja semua ini sangat berkait dengan kesehatan kita, bukan?
Bahkan, konon lagi, serangan virus flu (The Great Influenza) yang terjadi berpuluh tahun silam, tepatnya pada Maret 1918 s.d. Juni 1920, diperkirakan telah menyerang 500 juta orang dan menewaskan sekitar 50 s.d. 100 juta orang di seluruh dunia—termasuk Hindia Belanda kala itu—dalam waktu enam bulan. Diperkirakan, yang meninggal akibat pandemi yang dianggap paling mematikan dalam sejarah kemanusiaan itu, di Hindia Belanda saja, telah menewaskan sekitar 1,5 juta jiwa. Wahai, soal per-ingus-an itu ternyata sampai juga menyeret kita pada virus mematikan.
Kembali ke pertanyaan di atas. Sepanjang pembacaan saya terhadap karya sastra kita—yang tentu saja relatif terbatas—tak ada saya menemukan tokoh utama semacam si olol leho kawan saya itu. Sementara untuk tokoh sampingan, meski bukan si olol leho atau si umbel hejo melainkan si tukang iler, ada saya temukan—paling tidak—dalam cerpen Joko Swiwi-nya Seno Gumira Ajidarma. Dalam cerpen itu, tokoh yang disebut sebagai Bapaknya Joko Swiwi itu digambarkan sebagai seorang yang “terus-menerus menetekan air liur”. Sebagai tokoh sampingan, tentu saja porsi tokoh Bapaknya Joko Swiwi ini terbatas. Dan penduduk di desa itu, desa tempat lahir Joko Swiwi itu, bahkan tak peduli pada asal-usul dan nama lelaki itu sehingga disebut saja Bapaknya Joko Swiwi. Sementara Joko Swiwi, sang tokoh utama, selain digambarkan sebagai sosok yang “tampan seni rupawan”, memiliki sayap “gilang-gemilang cahaya kencana” dan suka terbang cebluk-cebluk “merayakan tarian angkasa” dan merenungi diri di kesunyian atas sana, juga dicitrakan sebagai pemuda yang sopan, bukan tukang intap perempuan mandi, dan bukan lelaki kurang ajar. Oposisi biner yang sempurna antara Bapaknya Joko Swiwi yang bodoh, tidak jelas, “terus-menerus menetekan air liur”, dan Joko Swiwi yang “tampan seni rupawan gilang-gemilang cahaya kencana”. Namun demikian, cerpen Joko Swiwi itu agaknya adalah semacam refleksi atas wabah flu burung yang pernah melanda negeri berlambang burung (Garuda) ini.
Perihal flu burung itu, saya tidak tahu apakah para burung yang terkena flu itu juga mengeluarkan ingus sebelum akhirnya mati? Tapi kita tahu, bahwa ingus di rongga hidung kita bisa keluar bukan lantara flu atau selesma saja, melainkan juga ketika kita menangis.
Sementara itu, tentang pertanyaan saya di atas, seorang kawan—yang luput saya tanyakan apakah ia pernah menjalani hari-hari pada masa kanak-kanak dulu sebagai si umbel hejo—menimpali: “Barangkali,” katanya, “para penulis mutakhir kita memang terlampau pintar (bukan cerdas) sehingga hal-hal semacam ingus, upil, belek, iler, dianggap sepele dan kerap terlewati begitu saja. Padahal semua itu berkaitan langsung dengan kesehatan, lingkungan, dan mungkin ‘kearifan’. Penulis mutakhir kita cenderung mengabaikannya dan menulis yang seolah-olah mendesak dan penting; soal percintaan, urban, atau migrasi, misalnya.”
Kata saya: “Jangankan persoalan ingus yang kerap dianggap sepele-remeh-temeh itu, Bung. Perihal korupsi yang telah menggurita—dan sudah barang tentu bukan soal sepele-remeh-temeh—saja masih bisa dihitung dengan jari tangan kiri dalam karya sastra kita.”
Saya tersintak dengan pernyataan saya sendiri. Sungguh, berapa banyakkah novel atau cerpen atau drama yang menjadikan korupsi sebagai tema utama? Mari berhitung: novel Korupsi (1957) Pramoedya Ananta Toer, novel Ladang Perminus (1990) Ramadhan K.H., novel Orang-orang Proyek (2002) Ahmad Tohari. Selain itu? Tak ada! Tapi mungkin bolehlah ditambahkan karya sastra kita yang juga menyoal korupsi meski tidak menjadikannya sebagai tema utama, misalnya, Maut dan Cinta Mochtar Lubis, Senja di Jakarta Mochtar Lubis, Burung-burung Manyar Y.B. Mangunwijaya, dan drama W.S. Rendra Mastodon dan Burung Kondor, drama Arifin C. Noer Interogasi, dan drama N. Riartiarno Opera Kecoak. Masih adakah yang bisa ditambahkan dalam daftar ini? Weleh, masih kalah banyak dengan tema percintaan dan cinta-cintaan, bukan?
Di luar itu, sebenarnya saya agak berharap pada kawan saya, Encep Abdullah, yang beberapa waktu lalu menyodorkan draf kumpulan cerpennya—yang entah jadi atau tidak—akan dibubuhi judul Lelaki Ompol. Cerpen Lelaki Ompol Encep Abdullah itu, secara mencengangkan, menyuguhkan ompol bayi sebagai tema utama. Sebuah tema yang sejak mula saya ragukan akan digarap para penulis mutakhir kita sebagai karya sastra yang tak kalah serius. Setelah membaca cerpen-cerpennya dalam draf calon kumpulan cerpen itu, saya terpikir, tampaknya Encep Abdullah memiliki potensi untuk menggarap tema-tema seperti ingus, upil, belek, tahi kuping, tahi kaki jempol kaki, daki, koreng, tahi pari, dan semacamnya itu, dan menggarapnya menjadi cerita-cerita yang serius—dan tak mesti jenaka—sebanding dengan tema-tema mengenai nasionalisme, revolusi, atau kearifan adat tradisi. Mungkin saja….
Dan, ah, sudahlah! Saya mau nyingsring dulu, dan mau mencoba mengajari si anak itu cara nyingsring yang baik dan benar. Sebab saya masih belum menemu jawaban: adakah orangtua kita mengajari anak-anaknya cara nyingsirng atawa membuang ingus itu. Selamat nyingsring, dan semoga Anda tidak terkena selesma atau flu di musim pancaroba kali ini. [*]
Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011.