Oleh Atih Ardiansyah
biem.co – Umat Islam yang masih beberapa gelintir orang mengemuka tiba-tiba. Pascahijrah, di mana sebelumnya mereka diperlakukan tidak manusiawi oleh orang-orang Quraisy, bertransformasi dan mengukirkan tinta emas di dinding sejarah. Adalah perang Badar, yang terjadi pada tahun kedua Hijriah, tepatnya pada bulan Ramadhan. Peperangan yang timpang secara jumlah, 113 melawan 1.000 tentara dan perlengkapan senjata yang juga tidak berimbang, mampu dimenangkan oleh umat Islam. Dari perang Badarlah, umat Islam memiliki kepercayaan diri luar biasa. Mereka semakin yakin bahwa agama yang mereka anut, yang dibawa oleh Muhammad, memang agama yang diridhai Allah.
Secara matematis manusia, jumlah 113 tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jumlah seribu. Terlebih, jumlah 113 ini dilengkapi dengan persenjataan yang sekadarnya, serta jam terbang bertempur yang minim. Sementara, kaum Quraisy selain unggul dari sisi jumlah, mereka juga menang dari segi peralatan perang yang lebih lengkap, serta jam terbang pertempuran yang cukup tinggi.
Akan tetapi, fakta di lapangan mengatakan lain. Logika dan matematika manusia runtuh seketika. Ketika pasukan berjumlah seribu orang itu lari tungang-langgang meninggalkan pertempuran dengan rasa malu dan luka mendalam. Mereka dikalahkan oleh pasukan yang hanya berjumlah 113 orang dengan persenjataan yang ala kadarnya.
Apa kiranya kunci sukses pasukan Islam dalam Perang Badar? Totalitas bertempur, dan kepasrahan tingkat tinggi kepada Allah. Hal inilah yang melahirkan kekuatan berlipat dalam pasukan Islam sehingga mampu menjungkalkan seribu pasukan. Keimanan dan keyakinan yang teguh kepada Allah, yang menyebabkan kemenangan ini menghampiri pasukan Islam.
Mari kita melangkah lebih jauh ke tahun ketiga Hijriah. Saat itu bulan Syawal, terjadi lagi peperangan dahsyat. Pasukan Quraisy datang dengan pasukan yang lebih hebat. Akan tetapi, pasukan Islam tidak lagi berjumlah 113. Jumlah mereka membanyak, dengan persenjataan yang lebih baik, dan jam terbang perang yang juga tidak sedikit.
Akan tetapi, kenyataan pahit dialami oleh pasukan Islam. Mereka poranda oleh pasukan Quraisy. Kekalahan telak dialami. Tokoh-tokoh syahid, di antaranya Hamzah. Gigi Rasulullah patah terkena lemparan batu. Rasulullah menyelamatkan diri—bersama sisa pasukan—ke atas bukit berbatu.
Apakah yang menyebabkan kekalahan pasukan Islam dalam perang Uhud ini? Di dalam shirah nabawiyah digambarkan, bahwa kekalahan pasukan Islam disebabkan oleh ketidakpatuhan pasukan pemanah yang ditempatkan di atas bukit. Mereka melanggar perintah Rasulullah untuk tetap bertahan apapun yang terjadi. Mereka silau dengan kemenangan yang hampir mendatangi. Mereka silau dengan harta rampasan perang yang ditinggalkan. Sehingga, akibat kelalaian itu, pasukan Khalid bin Walid dengan beringas memporandakan pasukan Islam. Kekalahan yang sangat menyakitkan.
Kekalahan, berikut kesalahannya digambarkan Allah dalam Al Quran: “Dan sesunguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (Ali imran 152).
Ramadhan, Representasi Badar dan Uhud
Ramadhan. Muslim di seluruh dunia menyambut dan meramaikan. Semua larut dalam lautan pahala. Semua berlayar dalam sampan ibadah dan amal kebajikan. Semuanya menjadi pemenang. Semuanya berhasil membelenggu setan. Pintu surga dibuka selebarnya, pintu neraka ditutup serapatnya.
Kemenangan umat Islam di bulan Ramadhan ini tidak jauh beda dengan kemenangan pada perang Badar. Pada perang Badar, umat Islam memenangi pertempuran, pada bulan Ramadhan umat Islam berperang—dan memenangkannya—melawan hawa nafsunya. Semua itu dilakukan atas dasar kepasrahan kepada Allah. Sama halnya dengan pada saat perang Badar.
Namun, mari kita tengok apa yang terjadi setelah Ramadhan berlalu dan tiba syawal serta bulan-bulan lainnya. Sehingga, ruh Ramadhan hilang begitu saja, dikalahkan oleh angin dunia. Tidakkah ini tidak jauh beda dengan kekalahan Uhud?
Pada perang Uhud, umat Islam kalah karena silau dengan harta rampasan perang hinga melanggar perintah Rasul. Itu artinya, keyakinan dan kepasrahan mereka kepada Allah luntur. Sama halnya dengan Ramadhan dan bulan-bulan lainya. Pada bulan Ramadhan, ruh keislaman sangat kuat, karena umat Islam memiliki keyakinan dan kepasrahan kepada Allah melalui berkah Ramadhan. Namun, ketika bulan selain Ramadhan lewat, angin dunia bertiup kencang hingga melenakan umat Islam. Hingga keyakinan dan kepasrahan kepada Allah pun luntur. Hingga kekalahan pun tertelan. Hilangnya bekas Ramadhan di bulan selain Ramadhan, adalah kekalahan. Episode perang Uhud yang terulang.
Ramadhan sebagai Sarana Latihan
Bukti kemenangan Ramadhan, bukanlah taatnya beribadah ketika Ramadhan. Tetapi, semakin baiknya kita di bulan-bulan setelah Ramadhan. Ramadhan adalah sarana latihan untuk bertempur pada bulan-bulan lain, yang merupakan medan tempur sebenarnya.
Di bulan Ramadhan, kita berlatih bagaimana menahan hawa nafsu, agar di bulan-bulan selanjutnya kita bisa mengontrol hawa nafsu kita. Di bulan Ramadhan kita dilatih untuk semakin peka dengan sesama melalui puasa, agar di bulan-bulan selanjutnya kita menjadi peka terhadap sesama.
Ramadhan sesunguhnya adalah sarana untuk kita membiasakan kebaikan, membiasakan ibadah, membiasakan hal-hal positif lainya. Agar di bulan-bulan selanjutnya, kita benar-benar sudah terbiasa dengan ibadah, dengan kebaikan, dan dengan kebiasaan-kebiasaan positif lainnya.
Sebuah pepatah mengatakan, “Awalnya kita yang membentuk kebiasaan, selanjutnya kebiasaanlah yang akan membentuk kita.” Di bulan Ramadhan kita membentuk kebiasaan positif, agar di bulan lain selain Ramadhan (11 bulan) kebiasaan positif selama Ramadhan membentuk kita. Hingga benar-benar menjadi kita.
“(yaitu) orang-orang yang menaati perintah Allah dan rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam perang Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.” (Ali Imran 172).
Atih Ardiansyah, hahasiswa Ilmu Komunikasi Politik Pasca Sarjana, Universitas Islam Bandung