Kamboja
Kupasrahkan cintaku pada kamboja di tengah makam
Yang tak pernah banyak bicara pada nisan-nisan tua
Saling diam tapi tak pernah bermusuhan
Selalu tabah terhadap marahnya hujan dan angin
Entah sekolah mana yang mengajarkannya
Tak pernah merasa terasing
Mengajarkan bahagia dengan caranya sendiri.
Medari, Februaari 2015
Menuju Al Hayawan
Berlayarlah perlahan
Segala fana segera muara
Perahumu akan tiba
Bukan di Venesia atau Shanghai
Tapi pada pelabuhan asing
Yang belum sempat tergambar pada peta-peta
Kendalimu terkunci
Tak sanggup kembali
Mengulang badai pun tak mungkin
Lalu apalagi yang perlu disesalkan?
Engkaulah kuasa atas perahu di tengah lautan
Tapi perkasamu kini sia-sia
Kali ini hanyalah keseimbangan
Jangan sampai goyah
Maka selesaikanlah
Karena karam bukan kemenangan para nahkoda.
Medari, Juni 2015
Penantian
Untukmu
Telah aku sediakan makam
Pada sanubari yang agung
Siapkah dirimu bersemayam?
Cobalah sesekali kau bayangkan
Adakah hal yang lebih menarik
Selain menanti datangnya kematian
Pesta megah
Dengan gaun terindah
Serba wewangian srimpi
Dihiasi taburan bunga-bunga
Apa lagi yang perlu kau ragukan?
Pernahkah kau bayangkan
Bagaimana caranya menjemput mati
Entah meminum segelas racun
Atau mungkin merobek kelamin sendiri
Jika perlu lakukanlah
Padaku tak ada bunuh diri yang dosa
Kemerdekaan untukmu seluruh
Tak kurang dan akan tetap utuh
Maka alangkah baiknya engkau sudahkan
Menerka-nerka hanya menjadikan kelelahan fana
Kaulah kuasa atas naskah takdir
Selesaikan dan segeralah
Jika akhirnya kau mati
Jasadmu kan ku tanam pada makam di sanubari
Kita mulai perjumpaan abadi
Dengan kesucian
Dengan kesederhanaan.
Lalu, sudikah kiranya kau mati hari ini?
Medari, Juni 2015
Sepucuk Surat
Untuk Rizqina
Perlahan kesepian itu mulai terasa
Kesepian yang dulu sengaja kau tanam
Di pekarangan sanubariku
Yang setiap harinya kau siram dengan canda tawa,
kau pupuk dengan kesabaran,
dan kau jaga dengan kecemasan disetiap malamnya
Kesepian ini begitu nyaman
Setelah kau bangun pagar disekelilingnya
Kau hias dengan kain-kain berlukis
Dan lilin ditiap sudut-sudut pagar itu
Hingga binatang buas pun takluk
Tiada berdaya tuk mendekat
Kesepian itu kini seperti berbunga
Tak seperti bunga-bunga biasanya
Kali ini tak berbentuk
Bahkan tak berwarna
Tapi aku bisa merasakannya
Harumnya semerbak di pekarangan itu
Akar-akarnya menjalar
Mengikuti aliran sungai dalam tubuhku
Bunga macam apa ini?
Aku tak bisa melihatnya
Ini terlalu sejuk
Apakah benar,
Ini bunga yang pernah kau janjikan itu?
Bunga yang selalu kau gambar
Disetiap doa-doa dan tangisan
Mungkinkah ini bunga cinta
Bunga cintamu
Yang mulai tumbuh dan mekar
Pada kesepian,
Di tengah pekarangan sanubariku?
Medari, Oktober 2014
Untuk Sahabat Dalam Kolom “Missing People”
Alm. Hedy Prasetyo
Pada akhirnya kepergian
Sehingga benar terungkap
Antara ada tiadanya cinta
Yang nyata abadi dalam sanubari
Seperti halnya kau
Izrail memilih cara yang paling aku benci
Yaitu merenggutmu tiba-tiba
Tanpa berkabar
Padaku, pada kawan-kawan pula
Aku masih ingat
Kepulanganmu tak lalu begitu saja
Layaknya jendral
Kau dikawal barisan Pleton Inti
Di belakangmu kerumunan sahabat
Sepanjang jalanan basah air mata
Dan daun-daun satu-persatu berguguran
Wahai sahabat
Sampai saat ini – setelah kepergianmu,
Meski sekedar pada kolom “Missing People”
Cinta ini masih saja ziarah
Dia tak kenal lelah
Bahkan abadi
Pada setiap musim
Pada setiap kalender.
Medari, Mei 2015
Barkah Ramadhan, kelahiran Kulon Progo ini adalah mahasiswa Sastra Indonesia FBS UNY Semester 4