CerpenInspirasi

Serial Ramadhan: 30 Hari Menafsir Kehidupan (Bagian 14)

Episode Kecerdasan Spiritual

 

Baca episode sebelumnya di sini!

 

 

SEJAK pukul 03.00 menjelang sahur, Sahid telah duduk di di depan meja ruang makan. Sorot matanya menandakan banyak tanda tanya yang ingin ditumpahkan kepada bapaknya. Keinginan ini terkumpul sejak usai shalat Zuhur kemarin setelah mendengarkan panjang lebar pandangan Adi tentang makna pintar dan benar.

 

Menjelang pukul 03.15, terdengar suara kunci pintu di buka dari kamar Adi. Wardah keluar dari kamar dan bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makanan sahur. Sementara dari dalam kamar terdengar suara Adi memulai lantunan ayat suci Al Quran.

 

Sahid dengan sabar menunggu bapaknya sambil membaca buku yang membahas tentang kecerdasan emosional, kecerdasan spritual, dan kecerdasan intelektual.

 

Setelah selesai satu hizib, Adi keluar dari kamar dan mengelus kepala Sahid sambil berkata, "Rajin sekali anak bapak ini membaca buku di meja makan," sanjung Adi.

 

"Sahid sebenarnya sedang menunggu Bapak keluar kamar," kata sahid sambil meraih tangan Adi yang ada di kepalanya. "Sahid ingin mendengar penjelasan tentang perbedaan pintar dan benar yang kemarin Bapak katakan," lanjutnya.

 

"Oooh, kamu kepikiran dan masih penasaran rupanya, Nak," ucap Adi.

 

"Iya, Pak, karena menurut Sahid, kita harus menjadi orang pintar dan menjadi orang benar," tukas Adi.

 

"Iyalah, Nak, idealnya setiap orang itu harus menjadi pintar sekaligus benar," jawab adi, sambil mengambil buku yang diletakkan Sahid dan membolak-balik halamannya.

 

"Namun, seperti isi buku yang kamu baca, ada macam macam kepintaran yang harus kita miliki, kepintaran intelektual atau akademik, kepintaran emosional, dan kepintaran atau kecerdasan spiritual," Adi melanjutkan penjelasannya.

 

"Maksud bapak kemarin, kita jangan hanya mengasah kepintaran akademik atau intelektual saja seperti yang Budiman katakan. Sehingga ia berniat masuk universitas hanya ingin menjadi pintar akademik semata," Adi dengan semangat bercerita juga tentang hasil penelitian tentang tingkat keberhasilan seseorang dengan kaitannya kecerdasan atau kepintaran yang dimiliki. Ternyata dari hasil tersebut diungkapkan bahwa kepintaran akademik atau intelektual hanya berperan 15% dalam mendukung suksesnya seseorang berkarier, sedangkan sisanya, 85% keberhasilan seseorang sangat tergantung kecerdasan emosional dan spiritual yang dimiliki.

 

"Jadi, berkaca dari hasil penelitian tersebut, apa yang dibutuhkan agar seseorang menjadi sukses dalam menjalani dunia kerjanya kelak dan mengarungi hidupnya?" tanya Adi.

 

"Ya, yang 85% itu, Pak, kecerdasan emosional dan spiritual," jawab Sahid dengan bangga karena bisa menjawab pertanyaan bapaknya dengan mudah.

 

 "Pintar anak bapak ini!" puji Adi.

 

"Anak ibu juga, ya, Pak," celetuk Wardah yang tiba-tiba muncul dari dapur mengantarkan tempe dan tahu goreng yang sudah matang dan ditata di meja makan.

 

"Cucu nenek Aminah, doong!" celetuk Bu Aminah yang baru keluar dari kamar.

 

Bagaikan seorang guru yang sedang menjelaskan di ruang kelas, Adi menerangkan bahwa unsur kecerdasan emosional dan spiritual adalah kejujuran, disiplin, komunikatif, supel, ramah, kerja keras, memegang prinsip, dan hal hal lain yang dlam dunia pendidikan modern dinamakan dengan softskill.

 

Kesemuanya softskill itu membutuhkan kematangan jiwa, termasuk pikiran dan hati yang dikendalikan oleh kecerdasan spiritual. Sehinggga manusia sadar bahwa hidup ini hanya semata-mata untuk menjalankan tugas spiritual sebagai hamba yang mengabdi kepada Sang Maha Pencipta.

 

Seseorang yang hanya mengutamakan kecerdasan intelektual belaka, hanya akan melahirkan orang pintar yang kering hatinya. Sehingga apa saja yang dihasilkan dari pikiran dan karyanya hanya untuk kepentingannya di dunia. Padahal kehidupan ini hanya sementara, itulah sebabnya disebut alam fana sebagai terminal untuk melanjutkan kepada kehidupan akhirat kelak.

 

Namun bagi seseorang yang mengimbangi kecerdasan intelektual dengan dua kecerdasan lainnya, maka dirinya akan menebar manfaat kepada sesama sesuai tuntunan ilahi bahwa sebaik baiknya manusia adalah manusia yang berguna bagi orang lain. Ia akan memiliki banyak sahabat, rajin bersilaturahmi, tidak sombong, dan selalu menghargai orang lain, karena perilakunya dikawal oleh nilai-nilai agama sebagai sumber dari kecerdasan spiritual yang dimiliki.

 

"Coba kamu perhatikan berita yang disajikan di media massa maupun media elektronik! Lebih banyak mana yang mewarnai kegaduhan informasi yang ada?" tanya Adi kepada Sahid di ujung penjelasan panjangnya.

 

"Lebih banyak kejadian yang dilakukan oleh orang-orang yang pintar seperti politisi dan pejabat," jawab Sahid sungguh sungguh.

 

"Nah! Itulah bukti kalau pintar intelektualnya saja maka yang timbul adalah keriuhan yang tiada henti," kata Adi, "padahal kalau para politisi dan pejabat yang memiliki kekuasaan itu juga pintar emosi dan spiritualnya maka tentunya bisa juga menciptakan kedamaian dan kesejukan bagi masyarakat melalui kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat."

 

Sahid mangut-mangut mendengar penjelasan bapaknya itu.

 

"Bayangkan, Nak, betapa besar pahala yang bisa mereka kumpulkan bila menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menyediakan kehidupan yang baik bagi masyarakatnya," ujar Adi pula.

 

Belum sempat menunggu komentar Sahid atas perkataan Adi, tiba-tiba Wardah keluar dari dapur. "Sudah… sudah, diskusinya berhenti dulu, tiga puluh menit lagi sudah mau azan Subuh, ayo makan sahur!" kata Wardah.

 

"Ini bapak sama anak, kok, seperti guru dan murid yang sedang membahas pelajaran saja?" ucap Bu Aminah sambil menarik kursi dan mendudukinya di samping Sahid dan berhadapan dengan Adi.

 

Wardah meletakan  sayur sop yang baru diangkatnya dari kompor, lalu mereka pun bersantap sahur guna meraih berkah sebagaimana yang dianjurkan Baginda Rasul Muhammad.

 


Penulis: Boyke Pribadi

Editor: Setiawan Chogah

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button