biem.co — Kamis sore itu, 4 Juni 2015, di kamar hotel yang tak membebaskannya merokok, ia menonton televisi. Seluruh kanal frekuensi ia jelajahi. Baginya, di televisi layar datar yang ditempelkan di dinding itu, terlalu banyak siaran dari beragam stasiun televisi dalam dan luar negeri. Dan ia tak mengerti mana tayangan yang bisa ia nikmati. Barangkali, karena ia bukan seorang penonton televisi yang bersetia pada satu-dua mata acara, dan nyaris jarang sekali bersentuhan dengan televisi, maka ia pun tak bisa menikmati televisi.
Setelah kanal frekuensi terakhir, setelah nomor 64 kembali ke nomor 0—nomor yang menayangkan segala kelebihan dan kenyamanan dan keamanan yang ditawarkan hotel tempatnya menginap itu—, jarinya masih saja menekan remot kontrol pada tombol Up itu. Tapi entah mengapa, tiba-tiba jarinya berhenti pada salah satu nomor yang menyimpan salah satu siaran dari lembaga penyiaran dalam negeri. “Tayangan dalam rangka menyambut bulan Ramadan, barangkali,” pikirnya. Sebab saat itu memang sudah pertengahan bulan Syaban—dalam hitungan kalender Hijriyah. Sejenak ia menyimak, lalu meletakkan remot kontrol di meja kayu di bawah televisi itu.
Dan semestanya pun serta-merta dikuasai televisi. Mungkin, ada sekitar lima menit ia menyimak tayangan itu: Seorang perempuan muda berkisah—ditampilkan dalam reka ulang yang diperankan aktor dan aktris lain—tentang perjalanannya pindah agama. Di ujung scane itu—menjelang film iklan susu kental yang disusul film iklan sirup yang juga kental—muncul dua orang pembawa acara (lelaki berjenggot dan perempuan berkerudung) yang mengomentari kisah perempuan muda tadi. Salah seorang pembawa acara itu menyebut nama perempuan itu dan memberikan keterangan bahwa si perempuan muda yang pindah agama itu telah mendapatkan hidayah, telah mualaf, dan sebagainya dan sebagainya.
Ia meraih remot kontrol dan menekan tombol merah: Off. Televisi pun lenyap. Dan di tembok itu tinggal hanya seonggok benda hitam tak berguna, tapi telah memengaruhi isi kepalanya. Lantas, secara tergesa ia pun membuat catatan ini:
“Saya tidak mengerti mengapa perpindahkan agama seseorang—terutama yang pindah ke agama Islam—mesti diberitakan sedemikian rupa, bahkan dibuat serupa reality show macam acara yang tadi saya tonton. Tapi, saya jarang mendapati berita perpindahan agama seseorang, dari agama Islam ke agama lain atau keyakinan atau kepercayaan lain. Apakah karena mayoritas penduduk negara ini beragama Islam, maka berita tentang seseorang yang pindah ke agama Islam mesti dirayakan atau disambut sedemikian rupa? Sementara berita tentang seseorang yang sebelumnya beragama Islam lalu pindah ke agama/keyakinan/kepercayaan lain tak perlu mendapat perhatian, tapi malah kerap dihujat dan dianggap sesat, kafir, dan sebagainya? Saya tidak mengerti, adakah kita betul-betul membutuhkan informasi tentang seseorang yang pindah agama? Apakah informasi semacam itu berguna bagi keimanan kita, bagi suatu agama, agar umat suatu agama itu tidak berpindah ke agama/keyakinan/kepercayaan lain? Saya tidak mengerti. Tapi, benarkah segala yang terjadi pada perempuan muda dalam tayangan tadi itu adalah berkah? Entahlah.”
Lihatlah, ia tak menggunakan kata “masuk” atau “keluar” dalam catatannya itu, sebagaimana lazimnya sebagian orang lain, melainkan menggunakan kata “pindah”. Barangkali, ia menganggap bahwa kata “masuk” dan “keluar” setara dengan oposisi “kami” dan “mereka”. Mungkin ia teringat sebuah sabda bahwa penggunaan “kami” dan “mereka” kerap menimbulkan kebencian di hati seseorang, si penyebut atau yang disebut, yang mengklaim sebagai bagian dari “kami” (di dalam)—yang selamat atau diselamatkan—, dan “mereka” (di luar)—yang sesat dan tak selamat. Mungkin, baginya, setiap berita dan/atau setiap cerita, mestinya tak menggunakan kata “masuk” dan “keluar” untuk mengatakan bahwa seseorang telah “pindah” agama. Atau mungkin, sebetunya ia lebih tidak ingin mendengar berita, cerita, tentang kepindahan agama seseorang atau sekelompok orang. Bukankah keyakinan tak mesti menjadi suatu pertunjukan? Dan bukankah keimanan setipis jaring laba-laba yang bergetar di mulut gua?
Ia beranjak ke kamar mandi, mengunci pintu, dan menyalakan sebatang rokok. Dalam kepalanya, barangkali, ia hanya ingin melupakan televisi.
***
Rabu siang itu, seminggu setelah ia mematikan televisi, di media massa dan terutama di media sosial, ia mememukan berita tentang pindah agama lagi. Kali ini menantu sang presiden yang menjadi sorotan. Ia menduga bahwa pembicaraan mengenainya tak akan jauh dengan kasus pindah agama yang ditemukannya di televisi tempo itu. Dan benar saja, di media sosial dapat ia temukan banyak orang yang memuji, tersyukur, dan menganggap bahwa menantu sang presiden itu telah mendapatkan hidayah, telah mualaf, dan sebagainya dan sebagainya.
Ia beranjak ke kamar mandi, mengunci pintu, dan menyalakan sebatang rokok. Dalam kepalanya kini, barangkali, ia hanya ingin melupakan media massa dan terutama media sosial.
Tapi lamat-lamat ia teringat pada dirinya sendiri. Bahwa dulu, di masa lalu, ia sempat berpikir untuk pindah agama. Hanya saja, ia mengurungkan pikirannya itu setelah membaca Lajja-nya Taslima Nasrin yang lantang berseru: Biarlah Agama berganti nama menjadi Kemanusiaan. Baginya, seruan itu atau keseluruhan novel itu, menyiratkan pernyataan bahwa semua agama/keyakinan/kepercayaan tanpa terkecuali (samawi maupun ardi, agama kenabian ataupun agama spiritual, agama langit maupun agama bumi), memiliki potensi yang sama untuk saling berbenturan antara satu dan yang lainnya. Maka mungkin, untuk sementara ia akan “menunda” atau memilih menjadi agnostik saja.
***
Seminggu berselang. Kamar hotel telah berganti kamar pribadi. Sementara media kembali ramai dengan kasus pindah agama yang lain, yang berkebalikan dengan dua kasus sebelumnya: seorang selebritas yang dibincangan dalam berita-berita itu pindah dari agama Islam ke agama Kristen. Dan seperti kita ketahui bersama—karena hal semacam ini sebetulnya terus saja berulang dalam kehidupan beragama di negeri kita—banyak yang menyayangkan putusan si selebritas itu, lalu menghujat, mencaci, bahkan menuding kafir, dan sebagainya. Ia tak mengerti, dan masih saja belum mengerti. Mengapa tema yang sama dan kerap berulang itu terus saja menghasilkan respons yang juga sama dan berulang? Adakah kita memang lebih gemar menjadi reaktif ketimbang reflektif?
Ia lelah, mungkin seperti Neruda yang juga sering lelah menjadi manusia. Lalu ia beranjak ke kamar mandi, mengunci pintu, dan (tidak) menyalakan sebatang rokok sebab ini hari kedua puasa. Tapi dalam kepalanya, barangkali, ia ingin melupakan agama: “Ya, tentu saja saya bukan Ki Wasyid yang mesti menebang pohon kepuh besar-rindang yang dipuja-dikeramatkan sebagian orang yang nelangsa itu, agar orang-orang di afdeling Cilegon kala itu berhenti menyembah pohon,” gumamnya sendirian. Tapi ia tahu, bahwa Ki Wasyid tak menghujat, mencaci, atau menuding kafir para penyembah pohon kepuh itu.
Sembari nongkrong di kakus itu, pertanyaan dalam kepalanya kembali berkelebat: Adakah kita betul-betul membutuhkan informasi tentang seseorang yang pindah agama? Apakah informasi semacam itu berguna bagi keimanan kita, bagi suatu umat beragama? [*]
Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Sementara kumpulan cerpen keduanya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar direncanakan terbit tahun ini.